Tatapan Hangat

1717 Words
Malam ini, aku dapat tidur dengan nyenyak. Ida menepati janjinya, menemaniku hingga matahari muncul. Ia berkata akan menjagaku malam tadi dan aku harus tidur agar segar. Benar saja, semua itu berhasil membuatku merasa nyaman dan tenang. Walaupun sebelumnya, dia sama sekali tidak pernah singgah di rumahku untuk bermain, apalagi menginap. Hidupnya terlalu curam. Ia hanya bekerja dan bekerja sepanjang waktu. Selama berteman pun, kami cuma beberapa kali saja saling menyapa. Itu pun, sebatas kata hai ataupun halo. Namun malam ini, rasanya ia begitu akrab denganku. Kami mengobrol panjang lebar dan ia banyak memberikan nasihat agar aku tidak lalai pada diri sendiri, menjaga kesehatan, menikmati waktu dengan tersenyum, dan tetap bersenang-senang. Sebab, waktu tidak dapat diputar, apalagi dikembalikan. Jangan sampai menyesal karena telah menyia-nyiakannya. Selain itu, untuk hidupku, aku harus kuat karena selama ini eyang sudah menjagaku, makanya aku juga harus menjaga diri ini demi melihat beliau tersenyum di alam sana. Awalnya, aku bingung dengan semua ucapan yang keluar dari bibirnya. Ida seperti begitu memahami situasi dan kondisiku saat ini. Akhirnya, aku menceritakan banyak hal yang terjadi dan membuatku bingung, serta ketakutan. Saat itu, ia mengatakan bahwa aku harus segera mencari tahu jawabannya. Ia akan membantu, tapi tidak malam ini. Ia masih terlalu lemah. "Memangnya, bagaimana caramu untuk membantu?" tanyaku penasaran. "Ini bukan masalah biasa," sambungku sambil menatapnya. "Hitung saja, 40 hari setelah hari ini! Aku akan membantu dengan cara berbeda. Pasti bisa," jawabnya terlihat percaya diri. "Ada-ada saja." "Apa?" "Seperti acara kematian saja. Ada 40 harinya," timpalku sambil mengajaknya tersenyum. Ida ikut menarik kedua sisi bibirnya. Hanya saja, wajahnya tidak ikut cerah sepertiku saat itu. "Tidurlah! Sudah larut!" Sesaat setelah ia mengatakannya, aku terus memperhatikan wajah yang tampak pucat sejak tadi. Sayangnya, Ida tidak bersedia untuk menikmati secangkir teh hangat ataupun s**u. Setelah percakapan berakhir, kami berbaring di atas ranjang yang sama. Sembari menikmati rada lelah, yang bisa aku terima. *** Pagi hari, ketika berjalan ke arah ruang kelas. Aku merasa tubuh ini jauh lebih ringan daripada hari-hari sebelumnya. Saat mengintip ke arah kaca pembatas, aku dapat melihat tona di dalamnya. Mungkin ini semua karena aku cukup beristirahat semalam. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. 'Terima kasih, Ida.' Kataku tanpa suara. "Annora!" pekik Adam yang suaranya sudah begitu lekat di benakku. Lalu ia berlari cepat dan napasnya terdengar berantakan. "Hai!" "Kenapa harus berlari?" tanyaku sambil terus memperhatikan wajahnya. "Apa ada yang penting?" "Hah, biarkan aku bernapas sejenak!" pintanya sambil menunduk dan menyentuh kedua lutut dengan tangannya. "Baiklah ... ." Aku tetap berjalan dan meninggalkan laki-laki terpopuler di sekolah itu. "Astaga, anak ini. Tunggu!" pekiknya melengking di telingaku. "Teganya ... ." "Ha ha ha ha ha." Aku hanya menertawakannya, pasca mendengar omelan itu. Setelah beberapa menit, Adam berdiri dan menyusulku. Lalu, ketika sudah berdampingan, kami hanya saling bertatapan dan tersenyum. "Aku hanya ingin bertanya, kamu sudah belajar?" "Hm ... kirain apa'an?" ucapku yang terus melangkah. "Ada-ada saja." Aku kembali bergerak dan meninggalkan Adam yang masih terengah-engah. "Hei! Bagiku itu penting, tahu?" "Masak sih?" "Iya. Soalnya, aku ingin kita sekolah dan kembali bertemu di kampus yang sama." "Apa pentingnya?" tanyaku bergaya sedikit cuek pagi ini. Padahal aku begitu suka mendengar bahwa Adam betah berlama-lama denganku. "Lagipula, ujian akhirnya kan masih tahun depan. Kita baru akan kenaikan kelas aja." "Karena waktunya masih panjang dan lama, makanya aku memintamu untuk belajar mulai dari se-ka-ra-ng! Jadi ... ." Ucapannya terputus karena seseorang menyapa dari belakang. "Adam!" Almira jalan mendekat dan bergerak di sisi kiri Adam. Wajahnya selalu tampak memerah, jika bersama Adam dan aku dapat menyadarinya. "Al? Ada apa? Buru-buru banget." "Eeeemmh." Almira menghentikan ucapannya sesaat setelah menatapku. Paham akan mimik wajah dan gerakan matanya, aku pun memutuskan untuk meninggalkan Adam bersama teman yang tampak selalu cantik, dengan rambut pendeknya yang tertata rapi. "Kalian, mengobrol saja dulu ya! Aku ke kamar mandi sebentar. Dah ... ." "Nora, aku tungguin ya!?" "Tidak perlu, Terima kasih." "Tapi ... ." Adam masih berusaha untuk mempertahankan kebersamaan kami. Tetapi aku menjauh demi kenyamanan Almira. Lagipula, aku tidak enak hati padanya, sebab ia pernah menjadi korban eyang hari itu. "Almira, sepertinya dia menyukai Adam. Ya ampun, lagian mereka berdua memang lebih serasi," gumamku yang sudah menyandarkan punggung pada wastafel yang disusun berjajar. Di dalam kamar mandi, aku bertahan seorang diri. Apalagi aku tahu kalau Adam masih menunggu di luar sana. Dengan perasaan yang tidak nyaman, aku menatap kaca wastafel berukuran besar dan lama-kelamaan jadi tampak semakin mengecil di mataku. Aku menatap semakin penasaran, "Eh," gumamku. "Astaga, tidak!" Lalu bibirku terkunci dengan tubuh yang tak bisa digerakkan. Kedua mataku terbebelak menatap ke depan. Aku merasa seperti diikat dengan gaya kepompong di sekujur tubuhku. Tak lama, terdengar suara tetesan air keran yang berat dan lambat. Tetapi, suaranya begitu ketara. Padahal, sebelumnya tidak ada suara tersebut. 'Tidak!' ucapku di dalam hati. Ada sesuatu di belakangku, dengan tubuh besar menyerupai monyet yang ukurannya empat kali tubuhku. Bagian bawah matanya berwarna merah dengan bibir yang terus mengeluarkan air liur yang tampak kental. Sosok itu seperti binatang liar yang tengah menatap daging segar di hadapannya. Ia terlihat siap untuk menjadikanku santapan pagi yang menyenangkan. Tiba-tiba, sosok itu bergerak cepat ke arahku. Seperti angin, sulit sekali untuk melihatnya. Yang aku tahu, tangannya yang dihiasi kuku-kuku tajam penuh duri, berusaha untuk menggapai wajahku. Namun pada saat yang bersama, seorang wanita menahan tubuhnya dengan menjambak leher monster tersebut, menggunakan rambutnya nan panjang. Ketika keduanya saling menatap, wanita itu sama sekali tidak gentar. Ia malah mengeluarkan suara tawa yang khas dan aku tahu siapa dia. 'Tidak, aku tidak boleh menyebut namanya!' ucapku tanpa suara. Pertarungan sengit terjadi, aku menyaksikan beberapa gerakan brutal dari keduanya. Lalu mereka menghabiskan pertikaian di dalam kamar mandi yang sangat kecil. Anehnya, terdengar suara hempasan yang kuat dari ruang yang seolah sangat luas. Padahal, kamar mandi itu hanya berukuran sepetak. 'Aaak!" raung monster bertubuh kekar tersebut, kemudian disambut dengan suara hempasan beruntun. "Ihi hi hi hi hi hi hi hi." Disambut dengan suara tawa khas kesenangan yang maksimal. "Tidaaak!" pekikku yang tiba-tiba saja dapat mengeluarkan suara. Padahal, semula pita suaraku serasa dikunci. "Annora! Nora?" panggil Adam sambil mengetuk pintu. "Kenapa kamu lama sekali? Kamu baik-baik saja, kan?" 'Adam, tolong!' pintaku menjerit di dalam hati. Bukan tanpa alasan, suaraku seakan diserap oleh lubang misterius, hingga kembali berbelok dan menabrak tubuhku. Bahkan, gendang telinga ini seakan hancur. "Jawab atau aku akan mendobrak pintu ini!?" kata Adam sambil terus menggedor. Pada saat yang bersamaan, aku melihat rambut panjang yang melilit kasar ke leher makhluk berbulu tadi, sudah merayap dari arah bawah dan siap untuk menarik kakiku. Mungkin, ia juga ingin menghantam tubuhku. "Nora? Jangan membuatku khawatir!" Lalu suara Adam, menghilang. 'Tidak-tidak! Adam, tolooong!' pintaku tanpa suara. Setelah beberapa saat. Brak, pintu kamar mandi dibuka. Saat itu, Adam bersama seorang satpam yang membawa parang untuk mencungkil pintu, sembari mendorong. Pada saat yang bersamaan, aku dapat membuka mulutku. "Adam!?" panggilku dengan bibir bergetar. "Tolong!" Suaraku terdengar parau. Tiba-tiba saja seluruh tubuhku terasa lemas, tak bertulang. Adam dan satpam pun langsung membantu dan menggendongku ke UKS. "Ada apa lagi?" tanya salah seorang guru yang terdengar trauma. "Cepat bawa dia!" "Iya, Bu." "Baringkan di sini!" perintahnya dan saat itu aku merasa sesak napas. "Buatkan teh hangat ya!" pintanya kembali kepada Adam. Kemudian ia membuka kancing b*a milikku dari luar dan merenggangkan ikat pinggang. "Kamu nggak apa-apa kan, Annora?" Di dalam ketakutan, aku berusaha untuk menenangkan diri. Dalam satu kali anggukan, aku memberikan isyarat yang diterima baik oleh guru yang seharusnya masuk pada jam pertama di dalam kelasku. "Kalau sakit, sebaiknya kamu pulang saja! Hmmm," keluhnya tampak bingung. "Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa sejak kemarin, selalu ada tragedi yang terjadi?" "Maaf, Bu." "Ini bukan kesalahanmu, Nora. Mungkin memang ada yang kurang atau apa? Ibu juga tidak tahu." "Bu, ini tehnya." Adam memberikan segelas besar teh hangat kepada guru. "Kamu minum dulu ya, Nora!" Suapan pertama menggunakan sendok pun, diberikan kepadaku. Semua ini cukup menenangkan hati dan aku merasa nyaman. Setelah 15 menit, "Gimana?" tanya Adam yang terus memperhatikanku. "Lebih baik. Kenapa kamu masih di sini? Kembalilah ke dalam kelas!" pintaku yang merasa tidak enak hati. "Tidak apa-apa. Adam di sini saja! Kalau kamu ingin pulang, biar Adam yang mengantar!" "Terima kasih, Bu." "Sama-sama. Kalau begitu, Ibu ke kelas dulu ya? Sudah enakan, kan?" "Iya, Bu. Terima kasih." Setelah guru keluar dari ruang UKS, Adam duduk di kursi yang sama dengannya. Ia menatapku penuh khawatir dan aku sangat menyadarinya. "Apa yang terjadi?" tanya Adam tampak sangat penasaran, sekaligus perhatian. Aku menggeleng, "Tidak tahu," jawabku yang tidak ingin membebani pikirannya. Adam tersenyum, "Baiklah, kalau kamu belum bersedia untuk cerita." Aku hanya menunduk dan membuat Adam berpikir sendiri. Entah mengapa, rasanya malas saja, jika harus menceritakannya. Setelah 60 menit, "Sebaiknya kamu kembali ke dalam kelas! Aku bisa pulang sendiri kok." "Kamu nggak dengar kata bu Tantri tadi?" tanya Adam dengan wajah kaku. "Kenapa sih? Kamu seperti ingin menjauhiku?" "Kamu benar, Adam," jawabku singkat. Bukan tanpa alasan, aku tidak ingin ia ikut terseret ke dalam hidupku yang menyedihkan. Adam adalah sosok yang baik dan ia tidak boleh terluka karenaku. "Nora ... ." Adam terdengar kecewa. Aku menguatkan diri untuk duduk. Lalu merapikan pakaianku. Sadar bahwa busana dalam milikku tidak terkunci dan aku takut kembali ke kamar mandi, aku pun meminta Adam untuk pergi. Namun, lagi-lagi ia menolak. Saat ini, aku terpaksa jujur mengenai alasannya. Tetapi hal tidak terduga terjadi, Adam malah mengatakan sesuatu yang membuatku semakin lemas. "Biar aku bantu!" ucap Adam sambil duduk di belakang dan menguncinya dari luar pakaian. Seketika, kedua mataku terbelalak. Aku tidak percaya dengan semua ini. Gerakan jari jemari tangannya, berhasil menciptakan degup jantung yang tidak biasa. Anehnya lagi, tiba-tiba saja, rasa takut yang sejak tadi menghantuiku, menghilang. "Sudah. Ayo aku antar pulang!" "A-aku." "Atau mau aku gendong?" tawarnya dalam senyum. "Tidak!" "Jangan hanya memandang ukuran tubuhku yang mungil! Ototnya besi loh," ujarnya seraya memamerkan lengan miliknya yang bertelur. "Ototku terasah tau." "Nggak lihat." Aku memalingkan wajah. "Ha ha ha ha ha, aku juga nggak lihat." "Apa?" "Tidak. Ha ha ha ha ha." "Dasar usiiil!" Geram, aku memukul tangannya dan pura-pura marah. Padahal, aku begitu suka dengan ucapan dan tingkah konyolnya. "Jangan memintaku untuk pergi!" pintanya terlihat serius. "Aku ... ." "Itu sulit bagiku, paham?" Lalu Adam menarik pundakku dan memeluk erat. "Adam?" "Iya. Aku Adam." Di dalam pelukannya, aku merasa begitu nyaman. Ini seperti berada bersama eyang. Tidak ada lagi kegelisahan, apalagi ketakutan. "Terima kasih," ucapku sambil menitikkan air mata. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD