Petunjuk Pertama

1664 Words
Suara teriakan histeris, terdengar memenuhi rongga dan halaman sekolah. Tenaga siswa yang sudah kerasukan itu, tampaknya begitu kuat. Banyak diantara mereka yang kemayu, tetapi malah terlihat agresif dan begitu liar. Tampaknya, iblis sangat mudah menguasai jiwa mereka yang lemah. Sementara siswa-siswi lainnya yang tidak terkena kutukan iblis, berlari tunggang langgang akibat rasa takut yang besar. Semakin lama, suara teriakan histeris itu, berubah menjadi ketakutan dan rasa sakit. Aku dapat menterjemahkannya dengan baik, meskipun tidak berada di dalam kondisi yang sama dengan mereka. Ada satu hal yang membuat arah tatapanku hanya tertuju pada satu titik. Yaitu, diantara siswa siswi yang kesurupan, tampak ada tali atau benang berwarna hitam kemerahan. Mungkin, jika aku melepas atau memutus benda itu, mereka semua akan kembali sadar. Untuk itu, aku memberanikan diri bergerak ke arah yang berlawanan dengan teman-teman lainnya, guna menyelamatkan mereka yang jiwanya sudah disekap oleh sang iblis. "Adam, melepaskan tanganku!" pintaku seraya memutar pergelangan tangan yang begitu erat ia cengkram. Adam menghentikan langkah dan menatapku dengan kedua alis mata yang menukik tajam. "Jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu!" "Apa?" tanyaku terperangah. "Apa kamu melihatnya?" sambungku sangat heran karena Adam tampak paham akan situasinya. "Apa?" tanyanya kembali, terlihat lugu. "Nora, aku tidak mengerti maksudmu. Tapi yang jelas, ini adalah urusan orang dewasa dan kita tidak mungkin mampu untuk menyelesaikannya." Adam tampak keras siang ini, tidak seperti dia yang biasanya. "Daripada ikut campur dan malah tenggelam di dalam hal-hal mistis seperti ini, lebih baik kita mengurangi beban mereka dengan keluar dari tempat ini secepat mungkin. Paham?" Kali ini, Adam terdengar lebih banyak bicara daripada biasanya. Belum selesai ia menarik napas dalam, terdengar banyak suara cepat setengah berlari. Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata itu adalah irama langkah dari para siswa di sekolah ini yang berduyung-duyung bergerak ke arah luar pagar. Wajah mereka dipenuhi ketakutan yang besar. Wajar saja, selama ini tidak pernah ada kasus serupa di sekolah kami. Sehingga pengalaman hari ini, merupakan yang terburuk. "Benarkan apa yang aku katakan? Para guru pasti meminta murid-murid untuk pulang karena itu yang terbaik," sambung Adam yang tampak tidak ingin mencari masalah dengan hal misterius seperti ini. "Mengertilah, Nora!" "Tapi, Adam. Aku mengenali sosok yang menjadi penyebab tragedi siang ini," ucapku yakin sambil menarik tangan Adam dan bertahan di posisi semula. Adam menatapku dalam-dalam, lalu melepaskan tanganku. "Katakan itu kepada semua orang dan kamu akan dianggap gila." Pemuda berambut cepak tersebut menghela napas panjang. "Lebih baik kita pergi dari sini, sebelum terlambat. Percayalah!" Melihat keseriusan di matanya, aku merasa tidak mampu berkata apa-apa. Ditambah lagi, aku tidak ingin berdebat dengan satu-satunya teman bicara, saat ini. Aku pun memutuskan untuk mengikuti langkah Adam, dengan tangan yang kembali bertaut. Tampaknya, ia sama sekali tidak berniat untuk melepaskan genggaman tangannya dariku kali ini. "Aku akan mengantarkanmu pulang. Setelah itu, istirahatlah!" "Tidak, adam! Asal kamu tahu saja. Tidak ada ketenangan sedikit pun, di dalam rumah itu," ujarku tegang. Untuk urusan yang satu ini, aku membantah keinginannya. Bukan tanpa alasan, duniaku terasa hancur dan mengerikan, ketika berada sendirian di dalam rumah kuno tersebut. "Haaah ... ." Adam kembali menghela napas panjang dan menatapku dalam. "Baiklah, kalau begitu ke mana tempat yang kamu inginkan?" "Makam Eyang. Aku sangat ingin ke sana," jawabku setengah memelas. Adam menganggukkan kepalanya, "Aku akan mengantarkan kamu ke sana, tapi dengan satu syarat! "Apa?" "Kamu tidak boleh ikut campur dengan urusan orang lain!?" Aku menunduk sembari berpikir, "Baiklah, setuju." Setelah mendapatkan kesepakatan, aku dan Adam, langsung bergerak ke makam eyang. Selain untuk menabur bunga di atas tanah, aku juga ingin sekali bertemu dengan laki-laki yang mengaku sebagai sahabat eyang uti. Karena merasa Adam adalah sahabat terbaikku, saat ini aku tidak melarangnya untuk mengikuti langkah ini. Kami pun sama-sama berniat untuk menemuinya laki-laki asing, yang sebelumnya tidak aku kenali. Setibanya di tempat pemakaman umum, aku langsung mengeluarkan satu bungkus bunga yang memang sudah dipetik sejak tadi pagi, sebelum menuju ke sekolah. Sembari berdoa di dalam hati, aku menabur aneka bunga yang memiliki warna-warni keindahan dunia, bersama senyum yang dipaksakan. Lebih dari 40 menit, aku duduk menanti kehadiran kakek Ardan. Tapi belum juga ada tanda-tanda kehadirannya. Rasanya aneh sekali, sebab awalnya beliau tampak sungguh-sungguh ingin membantuku. Ketika tengah gusar, Adam terus memperhatikan gelagatku yang aneh, lalu ia mulai mempertanyakan mengenai tujuan kedatanganku yang sesungguhnya ke tempat ini. "Sebenarnya, siapa yang kamu tunggu Annora? "Oh, itu. Namanya kakek Ardan. Beliau adalah teman eyang uti. Katanya, jika aku ingin bertemu, aku hanya perlu datang ke tempat ini. Tapi, kenapa sampai detik ini belum juga dapat melihat wajahnya." "Kamu yakin kalau dia manusia?" tanya Adam mulai mengintrogasi. "Jangan-jangan ... ." "Yakinlah," sahutku cepat agar pikiran Adam itu, tidak membuatnya salah di dalam menilai. "Apa ini pertemuan rahasia?" tanyanya, tampak semakin ingin tahu. Sepertinya, ia berniat untuk mengorek banyak informasi dariku, demi mengetahui sesuatu. "Tidak juga, makanya aku bersedia mengajakmu. Hanya saja, kakek Ardan itu tampaknya, seperti sosok yang pendiam dan tertutup." "Benarkah?" Adam menatap curiga. "Iya. Jadi, beliau sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain. Wajahnya itu, sangat kaku, " beberku seolah begitu paham dengan sifat tabiat laki-laki paruh baya yang sebenarnya sangat asing bagiku. Padahal, aku juga baru beberapa saat saja bertemu dengan dirinya. Selain itu, kakek Ardan hanya mengatakan sepatah dua patah kata saja mengenai kondisi yang akan aku hadapi. Menurutku, beliau seperti memberikan teka teki yang malah mempersulit hidupku. "Nora, sebaiknya kita pulang saja! Kamu juga harus belajar, kan? Senin, kita akan melaksanakan ujian kenaikan kelas. Aku harap, kamu bisa mendapatkan nilai yang bagus seperti biasanya!" Aku tersenyum cukup gembira. Ternyata, ada juga yang bersedia memperhatikan diriku yang sudah merasakan hilang. Entah mengapa, rasanya, di dunia ini, aku hanya tinggal seorang diri. Setahun menyetujui permintaan Adam, aku mengikuti langkahnya untuk membelah jalanan dan meninggalkan tempat yang sebenarnya aku tuju. Sebab, aku tidak ingin lagi berdebat. Makanya, aku mengikuti perkataan Adam. Kami pun pulang ke rumah masing-masing dan tetap saling tersenyum ketika berpisah. *** Sesaat setelah Adam meninggalkanku seorang diri dan aku mulai masuk ke dalam teras rumah. Aku merasa, aura di rumah ini begitu suram. Ataukah mungkin karena jiwaku yang sudah menolak untuk berada di dalamnya. Namun dengan sangat terpaksa, aku harus tetap melangkahkan kaki dan terjerumus di dalamnya. Apa lagi eyang uti yang mengatakan bahwa rumah ini adalah tempat teraman bagiku. Malas menghantui, apalagi suasana di sekitar rumahku sangat berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Hanya dipenuhi pepohonan besar yang rindang. Mulai dari pohon pulai, mangga, dan beringin. Menurutku, semua ini menambah kesan angker dan seram sejak mulai masuk ke halaman rumah. Terkadang, aku berpikir untuk menebang semuanya agar cahaya lebih banyak masuk ke dalam rumahku, untuk memberikan terang. Setibanya di dalam kamar, aku memutuskan untuk membuang tubuh mungilku di atas tempat tidur. Rasanya lelah sekali. Mungkin semua ini karena jiwaku teremas sempurna hingga menimbulkan keresahan dan kelelahan. Tidak ingin makan siang, aku pun memutuskan untuk tidur sambil memeluk foto eyang yang tampak erat memelukku. Namun, baru beberapa menit memejamkan mata. Tubuhku tiba-tiba saja tersentak dan aku kembali dapat melihat kejadian ketika di perpustakaan sekolah tadi. Aku pun kembali terduduk dan bertanya di dalam hati. 'Bagaimana mungkin semua itu bisa terjadi? Aku begitu pucat dengan tatapan datar, seperti mayat hidup.' Tiba-tiba saja, jantungku memompa cepat. Takut berada di dalam kamar, aku memutuskan untuk duduk di kursi ruang tamu sambil membuka jendela. Entah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk berpikir dan menelaah semuanya. Hingga udara dingin penghujung sore membuat mataku mengantuk. Saat ini, aku pun memutuskan untuk menyandarkan kepala pada kursi panjang berwarna hijau keemasan. Lelah, aku memilih tidur di ruang tamu. Rasanya, tempat inilah yang terbaik. Sebab, jika aku merasa takut, dengan mudah dapat keluar dari pintu depan dan meninggalkan rumah ini. Ketika antara sadar dan tidak, 'Jangan menyebut namanya! Ia hanya akan hadir di dalam rumah ini, jika kamu mengulang namanya sebanyak tiga kali.' Terdengar suara yang begitu jelas di telingaku dan rasanya yakin sekali bahwa irama penuh kasih sayang tersebut, berasal dari eyang uti. "Eyang?" timpalku yang langsung mengambil posisi duduk dengan gerakan spontan karena merasa terkejut. "Magrib!?" ujarku menyadari waktu. Ternyata, aku tertidur ketika magrib. Yakin bahwa diri ini tidak sedang bermimpi, aku langsung berdiri dan memperhatikan setiap bagian rumah yang terus berputar-putar dengan sendirinya. 'Tidak! Jangan pisahkan kami!" pinta seseorang yang suaranya terdengar jelas di telingaku. Sumber suaranya berasal dari kamar eyang dan aku segera berlari ke arahnya. "Siapa?" tanyaku yang berusaha untuk mengintip ke dalam. "Di rumah ini, hanya tinggal aku seorang diri," gumamku dengan degup jantung yang cepat. "Kalau kamu tetap memilih, maka nyawamu tidak akan bisa dijaga. Tidak, bukan hanya dirimu, tetapi juga keturunanmu. Cam kan itu!" Eyang utu terdengar memperingatkan seseorang mengenai sesuatu yang mengerikan. 'Ibu, aku tidak bisa berpisah dengannya.' "Ibu? Wanita itu memanggil dengan kata ibu?" gumamku sambil terus memberanikan diri untuk mendekat. "Kenapa? Semua belum terlambat. Ibu akan membantumu." Eyang terus menangis dan meminta kepada putri satu-satunya di keluarga ini untuk mengikuti ucapannya. "Aku tengah mengandung anaknya, Bu. Aku hamil dan aku tidak mungkin berpisah dengan suamiku." "Astaga ... tidak mungkin. Kamu akan sengsara dan menderita, Nak. Begitu juga dengan keturunan kalian. Tidak mungkin." Lalu terdengar suara tangis yang makin terguguh-guguh dari eyang uti dan suaranya begitu menyayat hati. Seperti seseorang yang tengah menyesali keadaan. Sejak kepergian eyang, aku dapat merasakan, melihat, dan mendeteksi kehadiran gaib yang selama ini tidak pernah mampir di dalam kehidupanku. Aku menjadi bingung dan tidak mengerti. Sebenarnya, semua ini merupakan petunjuk atau celah untuk membuatku terjerumus di dalam lingkaran setann. Apalagi tidak ada tempat untuk bertanya dan mengadu. Ada pun jalannya adalah mencari kakek Ardan, menemui papa, atau menyusuri kembali buku aneh itu. Namun, jiwaku belum siap untuk menyaksikan hal-hal mengetikan dan terasa nyata. Tapi, jika menyerah sekarang, sudah bisa dipastikan bahwa masa mudaku akan berakhir dengan air mata dan ketakutan. 'Tuhan, jika memang ada jalan keselamatan untukku. Mohon, bantulah aku. Aku hanya ingin normal, hidup seperti teman-teman yang lainnya. Rasanya, ini ujian yang terlalu berat dan aku tidak sanggup lagi. Jangankan untuk beraktivitas, menarik udara saja sudah terasa perih. Jangankan untuk makan, menatap cahaya saja aku sudah tidak bisa. 'Lalu, bagaimana aku akan hidup?' bisikku pada diri sendiri. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD