Bab 11

1075 Words
“Truth or dare?” tanya Fazan kepada Alita. “Pasti truth lagi, deh,” jawab Zidan meledeknya. Alita yang sebal lantas memukul lengan Zidan. “Emang kenapa kalau truth? Gue kan orangnya nggak takut buat ngomong sejujurnya.” “Jadi truth? Apa yang bakal lo lakuin kalau Zidan selingkuh?” Fazan kembali bertanya. Seketika Alita melipat kedua lengannya di d**a dan menatap Zidan tajam. “Mungkin gue bakal nangis sampai kompleks di rumah gue banjir. Abis itu karena Sirin kesel rumahnya kebanjiran, dia bakal datang ke gue dan dia bakal ngebantuin gue buat balas dendam ke lo sama cewek selingkuhan lo. Sirin bakal mastiin kalau kalian berdua menderita.” “Bentar, deh, ini yang diselingkuhi lo apa Sirin, sih? Kenapa yang balas dendam Sirin?” Fazan menatap Alita kebingungan. “Balas dendam Sirin kan lebih kejam,” jawab Alita seraya terkekeh. Dibanding Alita, Sirin memang jauh lebih berani. Sirin selalu jadi yang terdepan untuk membantu Alita dalam hal apa pun. Dia adalah teman yang sangat bisa diandalkan. Dulu waktu Alita curhat kepada Sirin tentang Ruri, cowoknya pas kelas sepuluh dan kebetulan kakak kelasnya juga, yang main tangan, dengan berani Sirin melabrak pacar Alita itu. Sirin menghampiri kelas Ruri dan berteriak, “Berani-beraninya lo mukul cewek! Dasar banci!” kemudian Sirin menonjok Ruri tepat di hidung. Tentu saja Alita kaget dengan perbuatan Sirin tersebut, tapi dia juga merasa sangat lega karena dibela. Sejak saat itu Alita menganggap Sirin sebagai pahlawannya. Dia seperti Jessica Jones yang selalu ada untuk melindungi sahabatnya, Trish Walker. “Wah, kalau gitu ceritanya gue mana berani selingkuh.” Zidan angkat tangan, tanda menyerah. “Ooooh, jadi lo ada niat buat selingkuh?” tuduh Alita. Seketika Zidan tertawa. “Nggaklah. Gue kan cinta sama lo, Lit. Gue nggak sanggup buat cinta ke orang lain selain lo.” “Gombal!” balas Alita dengan pipi bersemu merah. “Ngapain juga gue di sini,” gumam Fazan melirik dua sejoli yang sudah sama-sama tersenyum konyol. Tiba-tiba pintu terbuka. Pandu muncul dengan membawa sebatang lilin di tangan kanannya. Dengan segera Alita menunjuk cowok itu dan berkata, “Truth or dare?” “Gue nggak main,” jawab Pandu santai. “Truth or dare?” Alita kembali bertanya dengan sedikit memaksa. “Truth.” “Pernah nggak lo nangis gara-gara cewek?” tanya Alita semangat. Lalu ia cepat-cepat menambahkan, “Cewek selain kelurga lo.” “Nggak pernah,” jawab Pandu seraya menggeleng. “Gue bukan Zidan.” “Zidan pernah nangis gara-gara cewek?” Alita tampak terkejut. “Bohong dia. Gue nggak pernah nangis gara-gara cewek,” sahut Zidan tak terima. “Lo nangis di hari ulang tahun lo pas Alita bilang putus. Padahal lo cuma dikerjain doang. Gue beneran pengen ketawa waktu lihat lo nangis,” kata Pandu terkekeh. “Ah, pas itu. Gue juga ingat.” Fazan ikut tertawa. “Lo nangisnya lebay banget sumpah.” “Lo berdua berisik!” Zidan menghujani Pandu dan Fazan dengan tatapan menusuk. “Ah, lo kok manis banget sih, Dan.” Alita menatap Zidan penuh cinta yang membuat pacarnya itu tersipu malu. “Untung kali ini ada lo, Pan. Kalau enggak, gue beneran muntah lihat kemesraan mereka berdua,” kata Fazan menatap Pandu dengan penuh syukur. “Truth or dare?” tanya Pandu menunjuk Alita. “Gue udah tadi. Gantian Fazan sekarang.” Alita melirik Fazan yang berada di sampingnya. Pandu mengangkat bahu tak peduli. “Truth or dare?” Alita menoleh ke arah pacarnya, meminta pertolongan. Tapi Zidan hanya terkekeh dan berkata, “Saatnya lo pilih dare.” Alita mendengus. “Oke. Dare.” “Bilang Bloody Mary tiga kali di depan cermin kamar mandi,” kata Pandu menyerahkan lilin yang dipegangnya kepada Alita. “Dan nggak boleh nyalain lampu.” Dengan enggan Alita menerima lilin tersebut. “Kenapa juga harus gue,” keluhnya seraya bangkit dari duduk. Alita keluar dari ruangan tersebut menuju kamar mandi yang berada di depan home theater room. Pandu, Zidan dan Fazan ikut keluar ruangan, menemani Alita sampai ke depan toilet. Sebelum memasuki toilet Pandu membantu Alita untuk menyalakan lilin yang dibawanya. Alita memasuki kamar mandi dengan jantung berdegup hebat. Meskipun ia yakin tak akan terjadi apa-apa dengannya, tapi tetap saja rasa takut itu ada. Bagaimana jika hantu Bloody Mary benar-benar menampakkan diri? Apa yang akan ia lakukan jika hal itu benar-benar terjadi? “Nggak bakal terjadi apa-apa,” guamam Alita mencoba meyakinkan diri sendiri. Sebelum Alita mematikan lampu kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk mengamati sekitar. Kamar mandi ini cukup luas dengan satu buah bathtub putih berada di seberang ruangan bersebelahan dengan kloset duduk. Sebuah cermin terpasang di atas westafel yang berada di dekat pintu. Ada beberapa pot berisi tanaman hijau sebagai dekorasi. Dua buah jendela terpasang tinggi di dinding seberang. Salah satu jendela itu terbuka. “Oke, baiklah.” Alita mematikan lampu yang membuat ruangan gelap gulita. Cahaya hanya berasal dari lilin yang dipegangnya dan dari lampu yang berada di luar, di atas jendela yang terbuka. Ia mulai berjalan ke depan cermin. Ia menarik napas panjang, mencoba memperbaiki letak lilin agar lelehannya tidak mengenai tangannya. Lalu dengan ragu-ragu Alita menatap cermin dan berkata, “Bloody Mary…, Bloody Mary…, Bloody Mary.” Alita menunggu beberapa detik. Ia menoleh ke kanan dan kiri, lalu kembali menatap cermin di hadapannya. Patulan wajahnya terlihat gelap di cermin karena kurangnya cahaya. Kemudian matanya beralih ke pantulan jendela yang menampilkan wajah putih pucat dengan darah di mata serta bibirnya. Rambutnya panjang terurai berantakan. Sosok itu menatap Alita tajam. Seketika Alita menoleh ke belakang, menatap langsung sosok itu. Ia berteriak ketakutan. Tangannya meraba kenop pintu dan segera membukanya. Alita melangkah keluar kamar mandi dengan jantung berdetak sangat cepat. Ia semakin ketakutan ketika mendapati lampu di luar mati. Karena ia bergerak terlalu cepat, lilin yang dibawanya pun padam. Lorong di sepanjang tempat itu gelap. “Harusnya nggak kayak gini,” gumam Alita dengan badan bergetar hebat. Kakinya mendadak lemas. Ia jadi kesusahan untuk berjalan. “Zidan!” panggilnya dengan suara tak cukup keras. “Zidan, Pandu, Fazan! Kalian di mana?” Alita semakin panik karena tak melihat keberadaan teman-temannya. Alita memaksakan diri untuk berjalan. Tapi sia-sia, ia masih dalam keadaan syok berat. Badannya hanya bisa menempel pada tembok di belakangnya, berharap Zidan segera muncul di hadapannya. “Harusnya nggak kayak gini,” gumamnya di tengah isak tangisnya. Tubuhnya merosot duduk. Dipeluknya kedua lutut yang ia tekuk. “Kalian di mana? Sumpah ini nggak lucu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD