Bab 10

1143 Words
Sirin menajamkan indra pendengarannya. Ia menunggu langkah kaki yang ia dengar tadi. Lalu, mendadak cahaya kembali memenuhi ruangan. Detik itu juga terdengar suara teriakan kaget dari sebelah Vega. Dan di sana, beridiri lah Pandu dengan tangan kanan mengusap rambutnya ke belakang, matanya melirik tajam ke arah Sirin. “Nggak ada yang lebih nakutin daripada lihat dandanan lo ketika lampu tiba-tiba nyala,” komentar Pandu tampak kesal sendiri karena kaget melihat dandanan Sirin yang benar-benar terlihat seperti hantu. “Lo juga ngagetin tahu! Mati lampu ngendap-ngendap masuk ke sini,” sembur Vega kesal. “Gue pikir lo setan!” “Kenapa malah nyalahin gue? Setannya kan ada di depan lo.” “Ha-ha lucu,” balas Sirin. “Lagian ini kan bagian dari rencana, ingat? Lampu tiba-tiba mati dan mereka berhenti buat nonton film biar bisa lanjut ke permainan Bloody Mary.” Pandu mengingatkan Sirin dan Vega. Memang benar. Lampu mati di tengah-tengah film diputar adalah perubahan yang tadi sempat Pandu jelaskan. Alasannya agar mereka tidak pulang terlalu malam. Juga, agar Alita dan Zidan dapat merayakan hari jadi mereka lebih lama. “Oke, jadi permainan sudah dimulai?” tanya Sirin seraya menggaruk rambut palsu yang dipakainya. Kepalanya mendadak menjadi gerah dan gatal karena memakai rambut palsu itu. “Jangan garuk-garuk! Mana ada hantu garukin kepala,” tukas Vega menarik tangan Sirin dari kepalanya. “Kepala gue gatel, Ga.” “Zidan sama Fazan lagi bujuk Alita buat main Truth or Dare. Dan gue ke sini buat mastiin bahwa lo udah siap.” Pandu menarik rambut palsu yang dipakai Sirin untuk membenarkannya. “Sempurna.” “Gue harap Zidan sama Alita tahu diri buat traktir gue makan setelah lihat usaha gue ini,” kata Sirin kembali mengamati pantulan wajahnya di cermin. Sirin jamin Alita pasti akan kaget dan ketakutan ketika melihat wajah Sirin saat ini. Sirin hanya berharap kalau Alita tidak sampai trauma ketika melihat Sirin di kemudian hari. “Kita,” ralat Vega. “Yap, kita. Nggak cuma lo udah yang susah payah,” balas Pandu menatap Sirin. Gadis itu hanya mengangkat kedua bahu tak peduli. “Dandannya udah selesai kan?” “Udah kok,” jawab Vega menatap hasil karyanya dengan senyum bangga. “Ya udah kalau gitu. Sirin, lo ikut gue ke belakang toilet yang bakal dipakai Alita.” Pandu menunjuk Sirin. “Oke,” kata Sirin seraya meletakkan cermin ke meja di sampingnya lalu berdiri. Ia mencoba mengangkat sedikit gaun yang dipakainya agar memudahkannya berjalan. Kemudian ia mengikuti Pandu keluar kamar. Pandu berjalan mendahului Sirin ke arah taman yang berada di sebelah ruang makan. Cowok itu sesekali menoleh ke arah Sirin dan menyuruhnya berjalan lebih cepat. “Lo nggak lihat gue pakai gaun panjang dan ribet banget?” gerutu Sirin sibuk menarik gaun bagian bawahnya agar tidak tersandung kakinya. Ada beberapa lapis kain dibalik gaun yang ia pakai, membuat gaun itu sedikit agak mengembang. Ia tak pernah menyangka jika mengenakan gaun pajang bisa seribet ini. Pandu membawa Sirin berbelok ke arah taman yang ada kolam ikannya. Cowok itu mengulurkan tangan ke arah Sirin. “Kita lewat pinggir kolam. Sini gue bantu,” katanya. “Hati-hati kecemplung. Bisa dimakan ikan nanti lo.” “Lo pelihara piranha?” tanya Sirin agak ngeri. “Ikan koi.” “Kirain,” balas Sirin dengan sebelah tangan menerima uluran tangan Pandu dan tangan sebelah memegang gaunnya, berjalan mengikuti Pandu. Mereka berdua merayap di dinding dengan berpijak ke batu-batu kali berukuran sedang. “Nggak ada jalan lain apa?” tanya Sirin menatap ikan-ikan peliharaan Pandu. “Ada. Lewat genteng, mau?” “Ha-ha. Lo pelawak tertidak lucu sejagad.” Pandu memutar bola matanya tak peduli. “Lo yang nanya.” Sirin menoleh ke arah semak-semak yang berada di pojokan. Di sana ada sebuah pohon yang cukup besar. Dari sana Sirin mendengar suara seperti orang berbisik. Ia mencoba menajamkan indra pendengarannya, tapi tak dapat menangkap suara tersebut dengan jelas. “Lo denger sesuatu nggak?” tanya Sirin sedikit berbisik. “Sesuatu apa?” Pandu balik bertanya seraya menoleh ke arah Sirin. “Gue tadi denger kayak orang bisik-bisik dari arah pohon itu.” Sirin menunjuk pohon tersebut degan dagunya. “Gue nggak denger apa-apa. Perasaan lo aja kali,” jawab Pandu tak peduli. Lalu ia melepaskan genggaman tangannya ketika sudah berada di seberang kolam. “Kita nanti belok ke sana.” Pandu menunjuk ujung jalan yang terdapat belokan ke arah kanan. Sirin hanya mengangguk. Pandu berjalan mendahuluinya ke arah yang ditunjuk cowok itu tadi. Karena merasa seperti diperhatikan, Sirin kembali menatap pohon besar itu. Tapi ia tak menemukan siapa-siapa di sana. Lalu kepalanya menoleh ke belakang, ke arah di mana ia datang. Dan di sana, di belokan yang tadi Sirin lewati, ia melihat seseorang bergaun putih seperti tengah mengintip ke arahnya. Sirin melihat rambut panjang yang menutupi wajah perempuan itu. Namun dengan cepat sosok itu seperti menyembunyikan diri di balik tembok. Itu tadi siapa? “Ayo.” Suara Pandu membuat Sirin kembali menatap ke depan. Pandu sudah hampir berbelok ke kanan. Sirin segera mengikuti. “Di rumah lo ada siapa aja, sih?” tanya Sirin mengekor di belakang Pandu. “Ada kita, beberapa pembantu gue, sopir, satpam, tukang kebun. Kenapa?” Pandu berhenti dan menoleh ke arah Sirin. “Kira-kira di antara mereka semua ada yang punya gaun putih dan rambut panjang nggak, sih?” “Ada,” jawab Pandu. “Siapa?” tanya Sirin penasaran. “Lo.” Pandu menempelkan telunjuknya tepat di hidung Sirin yang segera ditepis. “Kenapa sih, emangnya?” Sirin menggeleng. “Nggak kenapa-napa,” jawabnya. “Lo naik sini,” kata Pandu menunjuk meja yang agak tinggi yang berada di sebelah tembok. “Jendela atas udah gue buka. Lo bisa nongolin wajah di sana.” “Oke.” Sirin berjalan mendekati meja dan berusaha duduk di atasnya. Tapi meja itu agak terlalu tinggi sehingga ia kesulitan. “Nih, naik pakai ini,” kata Pandu seraya mengambil kotak kayu yang berada di dekatnya dan menaruhnya di sebelah meja. Sirin memakai kotak kayu itu sebagai pijakan. Kemudian ia naik ke atas meja. Ia melongokkan kepalanya ke jendela yang berada di atas. Dari sana ia melihat ke arah toilet yang sepi. Ada sebuah kaca di sebelah pintu, tepat di seberangnya. Alita akan melihat pantulan wajahnya dari kaca tersebut. “Gue tinggal ke dalem, ya?” Segera Sirin menoleh ke arah Pandu. “Lo ninggalin gue sendirian?” tanyanya dengan nada terkejut. “Lo minta ditemenin?” tanya Pandu dengan sebelah alis terangkat. Setelah apa yang Sirin lihat tadi sih, sebenarnya ia tak mau ditinggal sendirian. Tapi tentu saja ia gengsi mengatakannya. “Ya udah sana pergi,” kata Sirin mengusir Pandu. “Oke. Nanti gue balik lagi buat jemput lo.” Dengan begitu Pandu berjalan meninggalkan Sirin di tempat itu. “Sial, kenapa mendadak gue jadi agak merinding gini,” gumam Sirin seraya menatap lampu yang berada di atasnya dan mengusap lengan kanannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD