Bab 12

1231 Words
Sirin mengamati sekitar. Banyak benda yang sudah tak terpakai, terbengkalai di sini—kursi yang kakinya patah, meja yang hampir rubuh, tumpukan kaleng yang tertata rapi dalam wadah dan masih banyak lagi. Meskipun ini seperti tempat pembuangan barang, tapi tempat ini tak terlihat kumuh. Setelah Pandu meninggalkannya di tempat itu sendirin, Sirin berusaha untuk tetap tenang dan memasukkan segala sugesti positif ke dalam kepalanya. Ia membuang jauh-jauh pikiran buruk mengenai hantu dan segala macamnya. Apa yang ia lihat dan dengar tadi sepertinya hanya halusinasinya saja. Paling tidak ia menganggapnya begitu. Karena hantu yang nyata sekarang adalah dirinya. Lihat saja dandanannya saat ini, hantu pun sepertinya akan takut jika melihatnya. Sirin berdiri dan mengintip ke jendela. Alita belum juga masuk ke kamar mandi. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. “Kenapa lama banget, sih?” gerutunya sebal. Sirin kembali jongkok. Sembari menunggu kedatangan Alita, Sirin menyibukkan diri dengan berburu nyamuk di sekitarnya. Ia segera menepuk hewan penghisap darah itu ketika mendengar bunyinya yang cukup nyaring di telinganya. Udara malam ini cukup dingin. Sirin berharap tadi ia membawa jaketnya. Gaun yang dipakainya berbahan tipis di bagian lengannya. Membuat tangannya kedinginan. “Sampai kapan gue nunggu di sini?” ucapnya seraya kembali berdiri. Ia melongokkan kepalanya ke arah kamar mandi. Dilihatnya pintu kamar mandi terbuka. Sosok mungil yang sangat dikenalnya memasuki ruangan itu. “Akhinya,” gumam Sirin merasa lega. Sirin menundukkan kepala agar tak terlihat Alita di ruangan itu. Lampu kamar mandi telah mati. Samar-samar ia mendengar ucapan Alita yang menyebutkan Bloody Mary tiga kali. Lalu Alita diam. Dan di saat itulah Sirin menampakkan wajahnya di jendela. Ia menatap tajam pantulan wajah Alita di cermin. Alita segera berbalik dan menatap langsung wajah Sirin yang menakutkan. Detik itu juga Alita berteriak lalu keluar ruangan. Eskpresi kaget Alita sangat lucu. Sirin mencoba menahan tawanya dengan menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Berhasil!” katanya senang. “Sirin.” Mendengar namanya dipanggil membuat Sirin terlonjak kaget. Puncak kepalanya membentur jendela yang terbuka. Segera ia mengusap kepalanya yang berdenyut sakit. “Lo nggak apa-apa?” tanya Pandu yang sekarang sedang memandangnya dengan kernyitan di dahi. “Lo bikin kaget!” seru Sirin kesal. “Ayo ke dalem,” kata Pandu seraya mengulurkan tangan ke arah Sirin. “Sini gue bantu.” “Nggak perlu, gue bisa sendiri.” Mengabaikan uluran tangan Pandu, Sirin segera turun dari atas meja. Ia kembali mengangkat roknya agar tidak tersandung. “Terserah,” balas Pandu tak acuh. Pandu memimpin jalan seperti ketika mereka berangkat tadi. Dengan susah payah Sirin mengikuti. Roknya beberapa kali jatuh dari genggamannya yang membuatnya harus berhenti dan kembali menariknya ke atas, tidak terlalu tinggi, supaya memudahkannya untuk berjalan. “Ekspresi kaget Alita lucu banget. Harusnya tadi gue bawa kamera,” kata Sirin senang. “Mana ada hantu bawa kamera.” “Kan gue hantu jaman now,” balas Sirin menyambut uluran tangan Pandu yang akan membantunya menyeberangi pinggiran kolam. “Bloody Mary kan hantu jaman old,” kata Pandu tak mau kalah. “Bodo amat. Kan gue yang jadi hantunya.” “Ah, iya. Kan lo hantunya,” balas Pandu dengan senyum lebar yang tampak seperti sedang mengejek. Sirin berdecak sebal. “Ayo lari,” ajak Pandu ketika mereka sudah sampai di seberang. “Kayaknya Alita udah ada di depan kamar mandi. Kasihan dia pasti ketakutan setengah mati.” Mendengar perkataan Pandu itu membuat Sirin sedikit terkesan. Ternyata Pandu tidak secuek yang dipikirkannya. Dia peduli kepada Alita yang ketakutan. Mereka berdua kini sudah memasuki ruang makan. Vega, Zidan dan Fazan berdiri di sana. Mereka tengah berbicara dengan nada lirih. Dan ketika mlihat ke arah Sirin, ketiganya langsung terlonjak kaget. “Seserem itu kah gue?” tanya Sirin tak percaya. “Sumpah, gue pikir setan beneran. Sempet heran kenapa Pandu giring hantu ke dalam sini,” kata Fazan geleng-geleng kepala. “Ya udah, ayo nyamperin Alita. Dia udah beneran ketakutan. Nggak tega gue,” ucap Zidan seraya menyambar buket bunga mawar yang berada di atas meja makan. Lalu ia berjalan mendahului yang lain. Lampu yang tergantung di dinding bagian atas berkerlap kerlip ketika Zidan berjalan di lorong di mana Alita berada. Pacarnya itu langsung mendongak dan menangis sesenggukan ketika melihat kedatangan Zidan yang membawa buket bunga. Gadis itu langsung bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke arah Zidan. Namun langkahnya seketika berhenti ketika melihat sosok bergaun putih dengan rambut panjang berantakan yang berada di belakang Zidan. Matanya melebar karena kaget. “Ini gue, Sirin,” ucap sang hantu seraya melambaikan tangan. “Selamat hari jadi.” “Astaga, lo beneran ngagetin gue!” seru Alita dalam tangis bahagia. “Kejutan.” Zidan memberikan buket bunga yang digenggamnya kepada Alita. Lalu mereka berdua berpelukan. “Aw,” kata Sirin dan Vega bersamaan. *** Sirin melepaskan wig yang dipakainya. Menggaruk kepalanya yang terasa sangat gatal. “Beneran harus keramas nih, nanti sampai rumah. Gatel banget,” katanya seraya menatap pantulan wajahnya di cermin. “Dadah hantu Bloody Mary,” ucapnya lagi sambil membuka keran air di hadapannya. Dan dengan segera ia membasuh wajahnya dengan air yang mengalir itu. Alita dan Zidan saat ini sedang menikmati makan malam romantis di atap rumah Pandu. Temannya itu tampak sangat bahagia dengan kejutan yang Zidan persiapkan. Tentu saja kejutan makan malam, bukan kejutan hantu yang membuatnya kaget sampai menangis. Alita sempat kesal karena ditinggal sendirian dalam keadaan gelap gulita. Tapi ketakutannya itu terbayar sudah dengan sikap romantis yang Zidan tunjukkan. Sang pemilik rumah dan Fazan saat ini tengah asik menonton film komedi di home theater room, mengabaikan fakta bahwa ada temannya yang sedang asik pacaran merayakan hari jadi. Sirin sendiri lebih memilih sibuk untuk membersihkan make up yang menempel di wajahnya. Sebenarnya ia menunggu Vega untuk membantunya membersihkan riasan. Tapi adik kelasnya itu belum muncul juga sejak tadi izin untuk mengambil pembersih wajah dan sabun cuci muka. Sirin mengusap wajahnya yang masih basah dengan tangan, mencoba membersihkan sebisanya. Tapi riasan itu tidak benar-benar hilang. Sekarang wajahnya malah tampak seperti badut yang terguyur hujan sehingga make up-nya luntur. “Vega mana, sih?” gerutunya menatap pintu kamar mandi yang tak kunjung terbuka. Sirin mengembuskan napas dalam dan kembali menatap pantulan wajahnya. Tak sengaja pandangannya mengarah ke arah jendela yang terbuka. Di sana ia melihat sesosok kepala dengan rambut panjang berantakan. Seketika jantungnya berdegup sangat kencang. Perlahan ia berbalik, menatap wajah yang berada di jendela. Wajah itu tampak putih pucat. Darah segar mengalir di kedua mata, hidung dan bibir. Matanya menatap Sirin tanpa berkedip. Membuat Sirin kesusahan menelan ludah. Bahkan sekarang sekujur tubuhnya merinding ngeri. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Sirin melompat kaget. Vega yang baru saja masuk ikut terkejut ketika menatap Sirin. “Ngagetin lo,” kata Vega seraya kembali menutup pintu. Sirin berbalik, kembali menatap arah jendela. Tapi di sana kosong. Sosok yang ia lihat sudah tidak ada di sana. Namun hal itu tak membuat degup jantung Sirin melambat. Ia masih merasakan syok yang teramat sangat. “Lo kenapa? Wajah lo pucet banget. Lihat apa, sih?” Vega mengikuti arah pandang Sirin. “Nggak. Nggak lihat apa-apa,” balas Sirin dengan suara sedikit terbata-bata. “Ya udah sini gue bantuin bersihin muka lo.” Sirin hanya mengangguk. Ia membiarkan Vega membersihkan sisa riasan di wajahnya. Diam-diam Sirin melirik ke arah jendela. Tapi di sana tak ada apa-apa. Sosok yang dilihatnya tadi sudah hilang. Hanya halusinasi, ucap Sirin dalam hati, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang ia lihat tadi tidaklah nyata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD