Bab 16

1156 Words
“Gue bingung mau ngasih kado lo apa, Rin,” kata Tiara yang berjalan di sebelah Sirin. Tangannya menunjuk boneka panda berukuran lumayan besar. “Lo mau itu nggak?” “Lo kan tahu kalau gue nggak begitu suka sama boneka,” jawab Sirin. “Orang macam apa yang nggak suka boneka,” cibir Tiara yang membuat Sirin terkekeh. “Dompet gimana?” Tiara menunjuk dompet berwarna merah maroon dengan sebuah pita menghiasi pinggirannya. Sirin menggeleng. “Dompet itu terlalu Alita,” katanya yang membuat Tiara tertawa. “Bener. Kadoin buat gue aja, Ra,” sahut Alita memamerkan senyum lebarnya. “Nah kan.” Sirin ikut tertawa. “Gue minta maaf dulu deh, Rin. Kalau-kalau nanti lo nggak suka kado dari gue,” kata Tiara dengan nada bercanda. “Habis susah banget kayaknya nyari barang yang sesuai selera lo.” “Udah deh, jangan bahas soal ulang tahun atau kado. Masih lama ini,” balas Sirin. “Tiga hari lagi loh, Rin.” Alita mengingatkan. “Lo pengen kue rasa cokelat atau stroberi? Oh, gimana kalau kue bentuk karakter gitu?” “Terserah. Nggak ada kue atau kado juga nggak masalah.” Sirin tak suka dilibatkan dalam sesuatu yang berhubungan dengan perayaan ulang tahunnya. Ia ingin hari ulang tahunnya menjadi sesuatu yang spesial, yang ia nanti-nantikan tanpa tahu apa yang akan terjadi. Ia tak ingin tahu kue apa yang akan ia makan pada hari itu atau kado apa yang akan ia dapatkan. Ia ingin sebuah kejutan, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. “Lo nggak pengen ngadain pesta ulang tahun?” tanya Zidan yang berjalan di belakangnya. Sirin segera menggeleng. “Gue suka datang ke acara ulang tahun, tapi buat ngadain pesta buat diri sendiri kayaknya nggak, deh.” “Sirin bukan anak party, Dan,” kata Tiara yang membuat Sirin tersenyum tipis. “Ngomong-ngomong adek lo sama Fazan ke mana, sih?” tanya Alita menoleh ke arah Zidan. Setelah selesai makan, mereka semua sepakat untuk jalan-jalan di mal, cuci mata. Vega dan Fazan membubarkan diri untuk mencari sesuatu yang penting, itu kata Vega. “Fazan jadian sama Vega?” tanya Pandu yang sejak tadi diam, mendengarkan percakapan mereka. Sirin sempat heran dengan sikap diamnya Pandu. Tak biasanya cowok itu tak bersuara. Tapi mungkin topik ulang tahun Sirin tak menarik baginya sehingga ia memilih untuk diam. “Nggak tahu,” jawab Zidan. “Nggak usah nanyain hal kayak gitu ke gue. Aneh tau.” “Lebih aneh lagi kalau lo nggak tahu, Dan,” balas Sirin. “Fazan sohib lo, Vega adek lo. Seharusnya lo kepo dengan hubungan mereka. Kalau gue jadi lo, gue udah kepoin mereka habis-habisan.” “Setuju!” Tiara mengajak Sirin tos dan tertawa. “Jangan dikepoin. Nggak sopan tahu,” sahut Alita yang membuat Zidan mengangguk setuju. Lalu tiba-tiba mata Alita menangkap sesuatu yang membuat senyumnya mengembang. “Itu tasnya lucu banget!” ucapnya seraya menghampiri tas punggung velvet berwarna merah maroon. “Wah iya, itu tasnya bagus, Lit.” Tiara mengikuti Alita, tampak tertarik dengan tas tersebut. Sementara Alita dan Tiara sibuk melihat-lihat tas, Sirin mencari tempat duduk untuk beristirahat. Zidan dan Pandu yang tak begitu tertarik dengan tas itu pun mengikuti Sirin untuk duduk di sebelahnya. “Ngemal bareng Alita tuh capek,” keluh Zidan tanpa raut penyesalan. Cowok itu memamerkan senyum kecil, menatap Alita penuh sayang. “Gue tahu benar perasaan lo,” sahut Sirin menepuk punggung Zidan. Sirin memang sering diajak Alita ke mal dengan alasan suntuk ingin jalan-jalan, meskipun ujung-ujungnya mereka berdua terdampar di beberapa toko untuk membeli sesuatu. Alita memang punya hobi berbelanja. Hobi yang menurut Sirin sangat boros. Sirin bersyukur tidak tertular hobi Alita itu. “Zidan, sini, deh.” Alita melambai ke arah pacarnya dan memintanya untuk datang. “Saatnya jadi pacar yang baik,” kata Zidan kepada Sirin dan Pandu. Kemudian ia berdiri dan berjalan menghampiri Alita. Sirin mengamati Zidan dan Alita dengan senyum kecil terukir di bibirnya. Alita terlihat tengah meminta pendapat Zidan tentang tas yang tadi ditunjuknya. Zidan hanya mengangguk-anggukan kepala, setuju dengan apa pun yang Alita ucapkan. Tiara yang berada di sebelah Alita kontan menoleh ke arah Sirin dan geleng-geleng kepala. Hal ini membuat Sirin tertawa. “Lo nggak pengen beli tas juga?” Sirin menggeleng tanpa menoleh ke arah Pandu. “Lagi nggak butuh tas.” “Jadi lo tipe cewek yang beli sesuatu karena butuh, bukan karena pengen.” Pandu mengangguk-anggukkan kepala. “Nggak juga,” balas Sirin menoleh ke arah Pandu. “Tergantung barangnya apa. Misal gue lihat novel yang sekiranya bagus ya gue beli meskipun sebenernya nggak butuh-butuh amat.” “Lo suka baca novel?” Sirin mengangguk. “Siapa yang nggak suka baca coba?” Seketika Pandu menunjuk Zidan, Alita, Tiara dan yang terakhir dirinya. Memang, keempat orang itu bukanlah penggila buku seperti Sirin. “Gue berasa jadi makhluk aneh,” ucap Sirin yang membuat Pandu tertawa. “Gue tahu lo suka banget nonton film. Dan lo ternyata juga suka baca novel. Terus apa lo pernah nonton film dari novel yang pernah lo baca? Kayak Harry Potter, Maze Runner atau sejenisnya?” “Pernah. The Girl on the Train. Dan gue merasa buang-buang waktu nonton film itu karena gue udah baca novelnya. Maksud gue, gue udah tau jalan ceritanya, gue tahu apa yang bakal terjadi sama si tokoh dan siapa pembunuh sebenarnya. Berasa nggak seru,” jawab Sirin. “Dan sekarang gue lebih memilih salah satunya aja. Nonton atau baca bukunya saja.” “Karena kalau keduanya berarti spoiler diri sendiri,” kata Pandu yang membuat Sirin mengangguk. “Gue benci spoiler.” “Dan orang yang nge-spoiler,” tambah Pandu. “Gue korbannya.” “Korban apaan?” “Oh, lo nggak inget marah sampai bentak-bentak gue gara-gara spoiler yang sebenernya nggak spoiler?” “Kapan?” “Tahun lalu, waktu kita lagi di kantin sekolah. Lo minta rekomendasi film yang menurut gue bagus. Terus gue bilang Back to the Future bagus banget. Film jadul tapi bagus.” Sirin ingat dengan kejadian itu. Setelah Pandu memberi judul film yang dia rekomendasikan, cowok itu kebablasan menceritakan secara detail film itu. Hal itu membuat Sirin marah. Dengan kesal ia membentak Pandu karena bocoran cerita yang dia katakan. Sejak saat itu, Sirin berhenti tanya-tanya film kepada Pandu. “Gue kan minta rekomendasi judul film doang, bukannya nyuruh lo nyeritain detail alur cerita.” “Gue nggak spoiler apa-apa,” kata Pandu tak mau disalahkan. “Oh, ya?” Sirin menatap Pandu dengan kedua alis terangkat. “Marty melakukan perjalanan waktu ke jaman purba dengan mesin waktu yang berbentuk mobil. Di jaman purba nanti Marty ketemu sama dinosaurus dan berteman dengan manusia purba. Lalu dia juga dikejar-kejar tyrannosaurus. Endingnya dia mati dibunuh manusia purba yang jahat dan nggak bisa balik lagi ke masa depan.” Mengingat hari itu membuat Sirin kembali jengkel. Pandu yang mendengar Sirin mengatakan apa yang pernah ia ceritakan sontak tertawa terbahak-bahak. Ia tak menyangka jika Sirin mengingat cerita yang ia sampaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD