Bab 17

1133 Words
“Ada yang lucu?” tanya Sirin dengan nada sebal ketika melihat Pandu masih tidak berhenti tertawa. Dan tentu saja hal yang paling menyebalkannya adalah cowok itu tengah menertawakannya. “Lo beneran nggak nonton filmnya, ya?” Pandu masih menertawakan kepolosan Sirin. “Ya menurut lo gue bakal nonton film yang gue udah tahu ceritanya?” balas Sirin masih merasa sebal sendiri. “Bahkan lo nggak nyari tahu sinopsis film itu, ya? Astaga Sirin, itu gue ngarang doang. Biar lo kesel.” Pandu terkekeh sambil geleng-geleng kepala. “Jadi tokoh utamanya nggak mati dibunuh sama manusia purba yang jahat?” tanya Sirin tak percaya. “Jangan, nggak usah dijawab.” Sirin menggelengkan kepala, membuat Pandu kembali tertawa. “Gue beneran nggak spoiler apa-apa.” Sirin tak percaya jika dirinya percaya begitu saja cerita karangan Pandu. Astaga, kemarahannya dulu kepada Pandu ternyata sia-sia belaka. Ia bahkan tak mau menonton film tersebut gara-gara cerita Pandu. “Lo kalau marah beneran serem,” kata Pandu lagi geleng-geleng kepala. Cowok itu sepertinya tengah mengingat kembali kemurkaan Sirin. “Apa gara-gara gue marah sama lo waktu itu terus lo jadi jutek ke gue kayak sekarang?” tanya Sirin mendadak curiga jika sikap menyebalkan Pandu selama ini karena masalah tersebut. Pandu hanya terkekeh dan mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Lo cukup menyebalkan, Rin. Gara-gara spoiler lo sampai ngamuk ke gue. Lo bahkan nggak nyapa gue kalau ketemu.” “Ya namanya lagi marah,” balas Sirin malu-malu. “Lo marahnya setahun, Rin,” timpal Pandu. “Lagian lo juga kalau pas lagi ngumpul bareng suka ngomong jutek ke gue. Lo kalau ngomong suka nusuk tau.” “Ya lo marah ke gue sampai setahun,” kata Pandu lagi. “Gue lupa kalau pernah marah ke lo,” ucap Sirin seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Andai rambut depannya agak panjang, pasti rambut itu dapat diikat jadi satu ke belakang, tidak bersisa seperti sekarang. “Mana ada marah tapi lupa.” Sirin mengembuskan napas kasar. Ia melirik ke arah atas kanannya, lalu ke bawah, ke arah sepatunya. “Sori, gue marah-marah ke lo,” katanya tanpa berani menatap Pandu. Meskipun rasanya canggung dan gengsi untuk meminta maaf kepada Pandu, tapi Sirin rasa Sirin harus melakukannya. Karena toh dirinya juga yang salah. Bisa-bisanya marah dan ngamuk sama orang lain karena spoiler. Sirin harus belajar untuk bisa menahan emosinya agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. “Lo minta maaf ke siapa? Sepatu?” tanya Pandu geli yang membuat Sirin meliriknya kesal. “Nggak jadi minta maaf,” kata Sirin lagi. Bisa-bisanya Pandu masih menyebalkan seperti ini. Padahal kan, Sirin sudah membuang harga dirinya untuk sekadar meminta maaf kepada Pandu. “Ya udah, terserah,” balas Pandu sambil tertawa. “Oke, gue beneran minta maaf, Pandu.” Sirin memberanikan diri menatap mata Pandu. Namun tatapannya itu hanya bertahan selama tiga detik. Hal ini membuat Pandu kembali tertawa. “Gue pemaaf kok, Rin. Udah nggak perlu dipikirin lagi.” Pandu menepuk-nepuk pundak Sirin yang segera ditepis gadis itu. “Nggak usah tepuk-tepuk,” kata Sirin galak. “Loh marah lagi? Baru juga minta maaf, ini udah ngamuk lagi. Gue terluka loh, Rin,” kata Pandu pura-pura memasang wajah memelas. Sirin menatap Pandu dengan ekspresi bosan. “Sumpah ya, lo tuh nyebelin banget, Pan,” ucapnya. Pandu tertawa mendengar ucapan Sirin itu. “Bikin lo kesel tuh seru banget tahu, Rin,” balasnya. “Mana ada seru!” “Seru tahu.” Sirin menatap Pandu dengan sorot mata kesal. Hal ini membuat Pandu buru-buru memasang senyum lebar. “Canda, Sirin. Canda,” kata Pandu dengan nada membujuk. “Jangan ngambek dan marah sampai satu tahun kayak dulu lagi. Oke?” Sirin menghela napas dalam sambil geleng-geleng kepala mendengar sindiran dari Pandu itu. Memangnya apa yang bisa Sirin harapkan dari sosok Pandu ini? Pandu tidak lagi menyebalkan setelah Sirin meminta maaf? Tentu saja hal itu tidak akan terjadi. Pandu dan kata menyebalkan kan sudah satu paket. “Sirin!” panggil suara dari arah depan Sirin dan Pandu. Sirin menoleh ke sumber suara. Begitu pun Pandu. Mereka melihat Alita dan Tiara tengah melambaikan tangan ke arah Sirin, seolah mereka sudah memanggil Sirin sejak tadi. “Apa?” balas Sirin menatap kedua temannya itu. “Dipanggil dari tadi nggak nyahutin,” keluh Alita. “Sibuk pacaran sih, kalian berdua!” timpal Tiara yang membuat Zidan tertawa. “Siapa yang pacaran!” balas Sirin. “Sembarangan kalau ngomong,” sahut Pandu bersamaan dengan balasan Sirin. “Kami hanya ngobrol.” “Nggak ngobrol. Lo ngeledek gue dari tadi,” kata Sirin menoleh ke arah Pandu. “Kapan gue ngeledek?” “Lo dari tadi ngetawain gue.” “Karena lo lucu, Sirin,” balas Pandu tersenyum lebar ke arah Sirin dengan tampang meledek. “Tuh, ekspresi lo ngeledek banget!” kata Sirin menatap Pandu tak percaya. Pandu terkekeh melihat ekspresi wajah Sirin yang tampak lucu. “Tuh ngetawain lagi,” lanjut Sirin. “Udah deh, udah,” kata Alita yang membuat Sirin menoleh ke arahnya. “Sirin, ini bagus nggak?” tanyanya menunjuk tas punggung berwarna biru dongker yang tampak mungil. “Bagus,” jawab Sirin. “Lo mau beli itu?” “Lo suka?” tanya Alita lagi mengabaikan pertanyaan Sirin. Mendadak saja Sirin merasa kalau Alita hendak membelikan Sirin tas itu sebagai kado ulang tahunnya. “Biasa aja,” kata Sirin bingung harus menjawab apa. Dirinya merasa sungkan kalau tiba-tiba Alita benar-benar membelikan tas itu untuknya. “Kalau yang ini gimana?” tanya Tiara menunjuk tas slempang kecil berbentuk bulat. “Lucu kan?” Sirin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Padahal kan tadi Sirin sudah bilang untuk tidak membahas soal kado. Sirin jadi bingung sendiri harus menanggapinya bagaimana. “Iya…, lucu,” kata Sirin. “Kalau sama ini lucuan mana?” sahut Alita menunjunjuk tas yang tadi diperlihatkannya kepada Sirin. “Ya terserah kalian lah. Kan yang mau pakai kalian. Kenapa malah tanya gue, sih? Gue jadi bingung, deh,” balas Sirin. Alita dan Tiara tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. “Iya, sih,” kata keduanya bersamaan. Setelah itu, Alita, Tiara dan Zidan kembali sibuk dengan berbagai macam tas yang ada di sekitar mereka. Sirin menghela napas dalam. Rasanya Sirin ingin kabur dari ini. Sirin tidak kuat di sini lama-lama. “Mau pulang duluan nggak?” tanya Pandu kepada Sirin. “Pulang duluan?” balas Sirin menoleh ke arah Pandu yang duduk di sampingnya. “Iya. Capek gue lihatin orang belanja. Ayo kalau mau pulang duluan gue antarerin,” kata Pandu seraya bangkit dari duduk. “Sekalian mampir ke rumah gue kalau mau, ambil jaket lo.” Sirin menatap Pandu dengan tidak yakin. Tampaknya pulang bersama dengan Pandu itu pilihan yang terbaik saat ini daripada harus melihat Alita dan Tiara menyodorinya bermacam-macam barang seperti tadi. Sirin menganggukkan kepala seraya ikut bangkit berdiri. “Oke.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD