Bab 15

1076 Words
Sirin tak fokus menonton film yang kata teman-temannya seru. Ia bahkan tak begitu peduli siapa pembunuh dan siapa saja yang dibunuh dalam film tersebut. Di kepala Sirin hanya berisi tentang sosok yang kemarin menghantuinya. Dan hal ini membuat kepalanya seakan mau meledak. “Nggak nyesel gue nonton film itu,” kata Tiara dengan wajah puas. “Bagus parah.” “Film pilihan gue.” Zidan memegang kedua kerah kemejanya, menyombongkan diri. “Adegan kejar-kejarannya beneran menegangkan. Gue sampai nahan napas tau nggak,” ucap Vega seraya terkekeh. “Bener-bener. Gue juga ikutan tegang banget!” timpal Tiara. Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran yang berada di satu mal yang sama dengan tempat bioskop di mana mereka tadi menonton film. Makan-makan kali ini Zidan yang mentraktirnya. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasihnya kepada teman-temannya ini karena sudah membantunya memberi Alita kejutan. Mereka pantas mendapat makan-makan gratis. “Tumbenan lo pilih film bagus gini, Dan. Biasanya kalau lo yang pilih film pasti jelek terus,” kata Fazan seraya terkekeh. “Loh, gue jagonya tahu, kalau soal film-film gini,” sahut Zidan kembali menyombongkan diri. “Mau gue pukul, tapi kakak gue sendiri,” timpal Vega melirik sebal ke arah kakaknya yang membuat Fazan kembali terkekeh. “Lo nggak suka filmnya, Rin?” tanya Zidan menoleh ke arah Sirin yang duduk di meja terujung, mengabaikan sindirian adiknya tadi. “Dari tadi diem mulu. Padahal biasanya lo yang paling berisik ngomentarin jalan ceritanya.” “Suka,” jawab Sirin dengan senyum yang dipaksakan. “Wajah lo pucet banget, lo sakit?” Kini Alita menatap Sirin cemas. Segera Sirin menggeleng. “Nggak, kok. Gue nggak sakit. Gue baik-baik aja,” jawabnya. “Gue ke toilet bentar, ya,” tambahnya seraya bangkit dari duduk. “Mau gue antar nggak?” tanya Alita. “Nggak perlu. Lo di sini aja sama anak-anak. Jagain makanan gue. Gue ke toilet dulu.” Sirin berjalan meninggalkan meja di mana mereka tengah menunggu pesanan makanan mereka datang menuju ke toilet. Saat ini kedaan toilet sedang kosong, hanya ada Sirin di sana. Lalu Sirin menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia juga mengamati sekeliling, mencari keberadaan hantu yang kemarin ditemuinya. Tapi sosok itu tidak ada. Sirin menutup mata, menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Seumur hidupnya, Sirin tak pernah membayangkan dirinya akan dihantui oleh makhluk halus seperti sekarang. Ia merasa seperti hidup di film horror yang kerap kali ia tonton. Dan biasanya ada seseorang yang akan jadi korban. Sirin tak mau hal mengerikan seperti itu terjadi. Apa yang harus ia lakukan? Setelah membasuh wajahnya dengan air dingin, Sirin keluar dari toilet. Wajahnya tampak sedikit lebih segar. Namun perasaannya masih sama seperti tadi, kacau. Di depan toilet Sirin mendapati Pandu tengah menunggunya. Cowok itu bersandar pada tembok dengan tangan berada di saku jaket. “Lo nungguin gue?” tanya Sirin tak yakin. Pandu hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Lo kemarin beneran lihat hantu?” Sirin mengembuskan napas kasar. “Mungkin.” “Kenapa lo nggak cerita ke anak-anak yang lain?” “Menurut lo mereka bakal percaya kalau kemarin gue lihat penampakan? Yang ada malah gue diketawain,” jawab Sirin. “Gue sendiri juga sebenernya masih nggak yakin sama apa yang gue lihat, Pan.” “Maka dari itu lo bilang di rumah gue ada perampok yang nyamar jadi hantu?” Sirin mengangguk. “Ya habis nggak ada yang lebih masuk akal dari perampok yang nyamar jadi hantu. Gue selalu bayangin jika hantu cuma ada di film-film. Tapi kemarin gue beneran lihat sosok cewek bergaun putih, rambut hitam panjang. Terus tadi ada yang telepon gue dengan kontak nama Mary. Dan gue nggak ngerasa nyimpen kontak dengan nama itu.” “Mary? Dia bilang apa emang?” tanya Pandu terlihat sedikit penasaran. “Dia bilang ‘I am coming for you’. Dan suaranya beneran serem banget.” Pandu menaikan sebelah alis, tampak tak percaya dengan perkataan Sirin. “Menurut lo hantu punya ponsel?” “Ya mana gue tahu!” jawab Sirin kesal sendiri dengan pertanyaan bodoh yang Pandu lontarkan. Lalu ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana. “Ini kalau nggak percaya,” katannya seraya mencari log panggilan masuk dari kontak bernama Mary. Tapi ia tak dapat menemukan jejak panggilan masuk itu. Seolah telepon itu tidak pernah ada. Lalu ia mencari nama Mary di kontak teleponnya, dan nama itu pun juga tak ada. “Nggak ada.” Sirin menatap Pandu dengan mata melebar. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. “Siapa yang bicara sama gue di telepon?” “Hei, lo nggak apa-apa?” Pandu menatap Sirin cemas. “Gue berani bersumpah, tadi ada panggilan masuk atas nama Mary. Tapi sekarang nama itu kayak nggak pernah ada. Tadi si Mary ini ngehubungi gue. Gue beneran nggak bohong.” “Hei, tenang.” Pandu mengusap pelan punggung Sirin, mencoba menenangkannya. “Gue percaya. Oke?” Sirin mengangguk. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus tenang, tak boleh panik. “Ya ampun, Rin. Nggak usah nangis.” “Gue nggak nangis!” sahut Sirin melotot ke arah Pandu. Hal semacam ini belum cukup untuk membuatnya ketakutan sampai menangis. “Oke,” kata Pandu seraya terkekeh. “Apa mungkin sosok yang gue lihat kemarin itu si Bloody Mary? Maksud gue, beneran hantu Bloody Mary.” “Gue ragu dia bakal capek-capek datang ke sini cuma buat nakut-nakutin lo.” “Gue kemarin ngucapin nama dia tiga kali di depan cermin. Dan gue dandan kayak dia. Apa hal itu nggak cukup buat dia marah dan menghantui gue?” “Maksud lo Bloody Mary tersinggung dengan dandanan lo?” tanya Pandu terdengar geli. Dia berpikir itu adalah pernyataan paling konyol yang pernah didengarnya. “Kalau tersinggung, harusnya Vega yang dihantui karena dia yang dandanin lo. Mungkin dia nggak terima karena lo yang meranin jadi dia.” “Lo beneran nggak bisa diajakin ngomong serius!” kata Sirin kesal. Apa Pandu tidak tahu jika saat ini Sirin sedang kebingungan gara-gara sosok yang tengah menghantuinya? Bisa-bisanya dia bercanda seperti itu. Dalam hati Sirin berdoa agar Pandu melihat hantu itu. Agar cowok itu tahu bagaimana menakutkannya dihantui sesesok yang menyeramkan. “Lagian Alita nggak kenapa-napa kan? Dia juga ngucapin Bloody Mary tiga kali di depan cermin. Dia nggak dihantui apa-apa.” Tapi gue dihantui! Sirin membuang muka. Ia kesal dengan tanggapan Pandu yang seperti menyepelekan. Tapi bukankah Pandu memang seperti itu? “Sebaiknya lo tenangin diri dulu, deh. Jangan kebanyakan mikir yang aneh-aneh.” Sirin berdecak. Lalu ia berbalik dan berjalan meninggalkan Pandu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD