Bab 14

1317 Words
Semalam Sirin susah tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah putih pucat dengan mata hitam tajam terus membayanginya. Sosok itu tak bisa Sirin singkirkan dari ingatannya. Tak biasanya ia merasa setakut ini dengan sosok yang ia percayai tak dapat dilihatnya secara langsung. Apa benar yang ia lihat semalam adalah hantu? Sirin berguling ke samping, meraih ponsel yang berada di nakas. Lalu ia membuka beberapa pesan masuk dari dari teman-temannya. Salah satu pesan itu dari Alita. Dia mengajak Sirin untuk nonton dan makan-makan bareng anak-anak yang lain. Meskipun Sirin merasa badannya capek dan hanya ingin istirahat saja di rumah, tapi ia tetap mengiyakan ajakan Alita. Mumpung dapat gratisan. Setelah mandi dan berganti baju, Sirin turun ke bawah menuju ruang makan. Segera ia membuka kulkas, mengambil satu buah apel dan langsung menggigitnya. “Bi,” panggil Sirin ketika melihat pembantunya datang dari arah tempat jemuran yang berada di sebelah ruang makan. “Lihat jaketku, nggak? Jaket jins yang aku pakai kemarin pas pergi.” Bibi Rasi menggeleng. “Bibi nggak lihat.” “Oh.” Sirin mengangguk mengerti. Tadi Sirin berniat memakai jaket jins itu lagi untuk pergi siang ini bersama teman-temannya. Tapi ia tak dapat menemukan jaket itu di kamarnya. Sirin berpikir jika pembantunya itu mencuci jaket tersebut. Namun ternyata tidak. Bisa jadi ia meninggalkannya di rumah Pandu kemarin. Semalam ia lupa memakai jaket itu apa tidak ketika pulang. “Mama sama Papa mana, Bi?” “Bapak nganterin Ibu arisan di rumahnya Bu Darma,” jawab Bi Rasi. “Neng Sirin mau pergi?” “Iya. Mau keluar sama Alita, Bi.” “Nggak sarapan dulu? Bibi masakin nasi goreng, ya?” “Nggak usah, Bi. Nanti sekalian makan siang di luar aja.” Bibi Rasi mengangguk, lalu pamit untuk membersihkan halaman belakang. Sirin berjalan ke teras rumah. Menunggu kedatangan Alita yang katanya sebentar lagi akan tiba. Sambil menunggu Alita, Sirin mengirimkan pesan kepada Pandu guna menanyakan jaket jinsnya yang kemungkinan ketinggalan di rumahnya. Tapi sampai Alita tiba di depan rumah Sirin, Pandu tak juga membalasnya. “Hai,” sapa Sirin memasuki mobil Alita. “Hai. Muka lo capek banget, lo nggak apa-apa?” tanya Alita menatap Sirin dengan penuh perhatian. “Nggak apa-apa. Cuma kurang tidur aja,” jawab Sirin. “Emang semalem lo tidur jam berapa?” Jam lima pagi. Tapi tentu saja Sirin tak mengatakannya. Ia hanya menggeleng dan berkata bahwa ia lupa. Ia tak ingin membicarakan malam panjangnya yang penuh kekhawatiran. Sebenarnya ia tak lagi melihat penampakan sosok wanita berambut panjang itu semenjak sampai di rumah. Tapi tetap saja, rasanya sosok itu masih menghantuinya meskipun tak menampakkan diri. “Mau nonton apa nanti?” tanya Sirin. “Gue lupa judulnya. Pokoknya film soal mengungkap pembunuhan seorang turis gitu. Jadi si turis itu—” “Cukup,” potong Sirin. “Gue nggak mau diceritain. Nanti ujung-ujungnya kena spoiler.” Alita terkekeh. Dia tahu jika Sirin sangat membenci spoiler. *** “Lho, kenapa lo di sini?” tanya Sirin kepada Tiara, yang sedang duduk manis di sofa panjang tanpa sandaran yang berada di ruang tunggu bioskop. Vega duduk di sebelahnya. Sedangkan Zidan kini sudah berdiri dan menyapa Alita dengan seyum lebar. “Gue diajakin sama Zidan,” jawabnya santai. “Lo ngajakin dia?” Sirin menatap Zidan yang tengah berbicara dengan Alita. “Iya,” jawab Zidan mengangguk mantap. “Gue pikir ini makan-makan ucapan terima kasih atas usaha kami kemarin,” kata Sirin menatap Zidan dan Tiara bergantian. “Gue juga ikut dalam usaha kemarin tahu.” Tiara memamerkan senyum riang. “Emang lo ikut ngapain? Gue kemarin jadi hantu, tau.” “Dia bantuin gue buat beli buket bunga sama minjemin lampu kelap-kelip,” sahut Zidan cengar-cengir. “Benar sekali,” balas Tiara. “Harusnya lo kemarin ikut, Kak,” kata Vega ikut nimbrung. “Dandanan Kak Sirin keren banget.” Tentu saja Vega menyombongkan keahliannya merias wajah Sirin. Sirin hendak membalas perkataan Vega ketika ia merasakan ponsel di tasnya bergetar. Segera ia mengambil benda itu. Terlihat sebuah nama terpampang pada layar tersebut yang membuat kening Sirin mengernyit bingung. “Mary?” gumam Sirin membaca nama penelepon itu. Ragu-ragu Sirin mengangkat panggilan itu. Ia mendekatkan ponsel ke telinga. “Halo?” “Sirin…,” kata suara di seberang sana. Suara itu terdengar agak serak dan begitu lirih. Seketika bulu kudu Sirin berdiri. Jantungnya berdegup kencang. “I am coming for you.” Dengan segera Sirin menjauhkan ponsel itu dari telinga. Ia menatap benda itu dengan ekspresi ngeri. Wajahnya bahkan sedikit memucat. Itu tadi siapa? “Sirin?” panggil Tiara menyenggol lengannya. “Ya?” Sirin menatap wajah Tiara dengan tidak fokus. “Lo nggak apa-apa?” Segera Sirin menggeleng. “Nggak apa-apa.” Tiara tersenyum, membuat gigi gingsulnya terlihat. “Ya udah, siniin ponsel lo. Gue mau lihat foto-foto kemarin. Vega bilang foto-fotonya ada di lo semua. Gue penasaran, pengen lihat acara semalem.” “Salah siapa nggak ikut,” ledek Vega seraya menjulurkan lidah ke arah Tiara. Memang, kemarin malam mereka memakai ponsel Sirin untuk mengambil foto. Dan Sirin belum sempat mengirim foto-foto tersebut ke siapa pun. Kecuali satu foto yang ia unggah ke **, yang langsung Vega dan Alita ambil dan ikut unggah ke akun masing-masing. Sirin kembali menatap layar ponselnya yang gelap sebelum ia menyerahkan benda itu kepada Tiara. Dengan senyum cerah Tiara menerima ponsel itu dan segera berebut dengan Vega untuk melihat-lihat foto di galeri ponsel. Sirin melirik ke arah Alita yang tengah sibuk bercanda dengan Zidan di ujung sofa. Alita kini sudah duduk di pojok, di sebelah Vega. Sirin mengusap wajahnya dengan tangan bergetar. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Mencoba mengusir rasa panik yang tengah melingkupinya. Pertama suara bisik-bisik yang ia dengar di rumah Pandu. Lalu sosok wanita berambut panjang itu muncul menampakkan diri hanya di depan Sirin. Kemudian telepon misterius dari Mary yang Sirin tak kenal siapa. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang sedang mengerjainya? Atau jangan-jangan semua ini benar-benar kerjaan hantu? Kepala Sirin kini mulai berdenyut sakit. “Gue nggak tahu,” ucap suara di sebelahnya yang membuat Sirin terlonjak kaget. Ia memegangi dadanya, merasakan detakan jantungnya yang menggila. “Bisa nggak, nggak usah ngagetin!” sembur Sirin kesal menoleh ke arah Pandu yang kini sudah berdiri di sampingnya. Cowok yang mengenakan jaket baseball berwarna merah maroon itu hanya mengangkat sebelah alis dengan ekspresi bingung. “Nggak tahu apa?” tanya Sirin merujuk perkataan Pandu tadi. “Jaket lo. Gue nggak tahu jaket lo ada di rumah gue apa enggak. Emang lo taruh mana?” Ah, jaketnya. Sirin tadi memang mengirimi Pandu pesan menanyakan jaketnya yang mungkin ketinggalan di rumah Pandu. “Kamar yang kemarin buat dandan,” jawabnya sedikit tak yakin. “Lo ke rumah aja, deh. Cari sendiri. Kalau gue yang nyari dan nggak ketemu, bisa-bisa lo ngubur gue hidup-hidup.” Setelah apa yang Sirin lihat kemarin di rumah Pandu, cowok itu mengaharapkan Sirin untuk datang lagi ke sana? Tidak, terima kasih. Sirin masih ingin hidup tenang. “Pandu, kemarin beneran nggak ada perampok yang nyamar jadi hantu di rumah lo?” tanya Sirin penasaran. Ia hanya ingin memastikan yang dilihatnya kemarin. Ia berdoa bahwa rumah Pandu memang dirampok orang berkostum hantu. Sirin tahu bahwa itu adalah doa terjahat yang pernah ia panjatkan. Tapi bagaimana lagi, sekarang ia tengah ketakutan karena teror yang ia dapat. “Menurut lo kalau ada rampok di rumah gue, gue bakal nyantai gini? Ke mal nonton dan makan-makan? Nggak Rin, di rumah gue nggak ada rampok.” “Oh,” balas Sirin setengah hati. “Syukur, deh.” Jika tidak ada perampok yang menyamar jadi hantu, kemungkinan besar sosok yang dilihatnya kemarin adalah benar hantu. Tapi kenapa sosok itu hanya menampakkan diri di depannya saja? Apa gara-gara hantu itu merasa diejek karena dandanan Sirin kemarin? Atau jangan-jangan karena Sirin memanggilnya? Kemarin Sirin memanggil nama Bloody Mary tiga kali di depan cermin. Oh tidak. Seketika badan Sirin terasa lemas. Seolah energi di tubuhnya terserap habis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD