Bab 13

1255 Words
Setelah mengganti gaunnya dengan kaos bergambar zombie dan celana jins yang tadi ia kenakan, Sirin keluar kamar dan mencari teman-temannya. Ia berjalan menuju ke ruang tengah, di mana suara Fazan terdengar. “Gue yakin, lo pasti nangis sesenggukkan nonton film itu,” ucap Fazan seraya tertawa. “Maka dari itu gue nggak mau nonton,” Vega berkata seraya mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Bener-bener nggak bisa dipercaya. Lo belum nonton dan nggak mau nonton film Titanic,” kata Fazan lagi geleng-geleng kepala. Lalu cowok berkacamata itu menoleh ke arah Sirin yang baru saja duduk di sebelahnya. “Vega nggak pernah nonton Titanic, Rin. Bayangin coba.” “Gue juga nggak pernah nonton,” balas Sirin santai yang langsung membuat Fazan menatapnya tak percaya, seolah Sirin mengatakan bahwa dirinya tak pernah makan nasi. “Apa bagusnya nonton film yang kita udah tahu jalan ceritanya? Jack bertemu Rose di kapal Titanic, mereka jatuh cinta, kapal Titanic nabrak gunung es, Jack dan Rose nggak naik sekoci, mereka ngambang di lautan, Jack tenggelam, Rose selamat. The end.” Sirin menceritakan apa yang pernah ia dengar dari teman-temannya tentang cerita film Titanic. “Gue udah kena spoiler parah. Nggak mau nonton,” katanya lagi. “Lo berdua emang nggak seru.” Fazan menunjuk Sirin dan Vega, menatap mereka tak percaya. “Ngomong-ngomong, Pandu mana?” tanya Sirin mengamati sekitar mencari keberadaan sang tuan rumah. “Tadi dia bilang mau ngambil minum,” jawab Vega menoleh ke arah dapur. Sirin mengangguk. “Oh, ya, gaun sama wignya udah gue masukin ke dalam tas plastik yang ada di kamar,” ucapnya kepada Vega. “Oke. Nanti kalau mau pulang gue ambil.” “Menurut lo Alita sama Zidan kapan kelar pacarannya? Gue ngantuk pengen cepet pulang,” ucap Sirin seraya menguap. “Capek tahu jadi hantu.” Fazan tertawa. “Lo layak buat dapetin tidur nyenyak setelah kerja keras lo malam ini, Rin,” katanya menepuk pundak Sirin. Sirin menghela napas dalam. Mau tak mau ia kembali memikirkan sosok yang tadi sempat ia lihat. Sosok yang mirip dengan hantu. Atau malah itu tadi memang benar-benar hantu. “Gue harap gue bisa tidur nyenyak malam ini,” ucapnya lirih lebih kepada dirinya sendiri. Tak lama kemudian Pandu bergabung dengan mereka bertiga. Cowok itu membawa serta beberapa kaleng minuman soda untuk teman-temannya. “Ayo ke atap,” ajaknya. “Zidan mau nyalain kembang api. Dia nyuruh kita buat ikutan nonton.” Dengan semangat Fazan dan Vega berdiri. Mereka berdua memang menantikan kembang api yang akan dinyalakan malam ini. Sirin sendiri mengikuti keduanya berjalan menaiki tangga dengan lesu. Dia sudah tak punya semangat lagi untuk bersenang-senang. Dia hanya ingin pulang, tidur dan berharap melupakan sosok yang dilihatnya tadi. “Lo kenapa?” tanya Pandu yang berjalan di sampingnya. Sirin segera menggeleng dan tersenyum lebar. “Nggak kenapa-napa.” “Kalau lo ngantuk, lo bisa tidur di salah satu kamar tamu. Nanti pas Alita mau pulang biar dia bangunin lo,” kata Pandu. Sebelum Sirin sempat membalas, Pandu menambahkan, “Gue tadi denger lo bilang kalau lo ngantuk. Kata Alita lo bakal berubah jadi buas kalau lo ngantuk. Gue nggak mau ada pertumpahan darah di sini.” “Ha-ha. Lucu.” Sirin melirik Pandu dengan perasaan jengkel. “Tenang, gue nggak akan berubah jadi Hulk cuma gara-gara ngantuk.” “Syukur, deh.” Merasa mendengar sesuatu, Sirin berhenti dan berbalik. Meski sekilas, ia baru saja melihat seseorang mengintip dari balik tembok ruang makan. Seketika Sirin meremas tangan Pandu yang ada di sampingnya karena kaget. Jantungnya kembali berdegup kencang. “Kenapa?” tanya Pandu ikut berhenti dan menatap Sirin dengan kening berkerut. Sirin ingin mengatakan kepada Pandu bahwa ia baru saja melihat seseorang berambut panjang tengah mengintip dari balik tembok ruang makan. Tapi masalahnya sosok itu sudah tak ada. Dan Sirin tak yakin jika Pandu juga melihatnya. “Lo pernah denger soal perampokan dengan modus pura-pura jadi hantu nggak, sih?” tanya Sirin. “Ha?” “Apa yang bakal lo lakuin kalau hal itu terjadi di rumah lo?” “Lo ngomongin apa, sih?” Pandu terlihat kebingungan dengan arah pembicaraan Sirin. “Kayaknya nggak ada salahnya kita cek dapur dan ruang makan buat mastiin. Lo nggak mau kan rumah lo kerampokan?” Tanpa menunggu jawaban dari Pandu, Sirin menarik tangan cowok itu dan menyeretnya turun. “Kalian mau ke mana?” Suara Vega terdengar di belakang mereka. “Ke bawah bentar,” jawab Sirin tanpa menoleh. Masih dengan tangan Pandu digenggamannya, Sirin membimbingnya berjalan ke arah ruang makan berada. Suasana lantai bawah sangat sepi. Ia tak mendengar suara apa-apa yang malah membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Sirin masih tak yakin jika yang dilihatnya tadi adalah hantu. Ia pun ragu jika sosok itu adalah imajinasinya saja. Dan satu-satunya alasan yang masuk akal adalah sosok itu adalah manusia yang menyamar jadi hantu. Bisa jadi sosok jadi-jadian itu adalah perampok. “Hantu? Perampokan?” tanya Pandu masih kebingungan. Sirin mengangguk. “Iya. Kayak di film Scooby-Doo. Semua hantu di sana ternyata adalah manusia, penjahat.” “Maksud lo di rumah gue ada penjahat yang menyamar jadi hantu?” Pandu menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi geli. “Kayaknya lo kebanyakan nonton film deh, Rin.” “Ya habis dari tadi gue…, gue....” Sirin terdengar ragu. Sedangkan Pandu masih menunggunya untuk menyelesaikan kalimatnya. “Gue cuma pengen mastiin rumah lo aman dari perampok.” Sirin tak ingin membual tentang sosok yang menyerupai hantu yang dilihatnya tadi. Karena Pandu pasti tak akan mempercayainya. Sirin sendiri pun masih ragu jika sosok tadi memang benar-benar hantu. “Di rumah gue ada satpam buat jagain rumah dari maling, perampok dan sebagainya. Rumah ini aman, Rin,” kata Pandu yang membuat Sirin menggerutu dalam hati. “Lihat kan nggak ada apa-apa.” Pandu berhenti di tengah ruang makan dan menunjuk ke arah sekeliling dengan dagunya. “Sekarang lo bisa lepasin tangan gue.” Seketika itu juga Sirin sadar jika tangannya masih menggenggam erat tangan Pandu. Ia langsung menghempaskan tangan Pandu dan mencoba untuk tidak membuat kontak mata dengannya. Hal ini malah membuat Pandu terkekeh. “Gue tadi lihat sosok yang mirip hantu,” kata Sirin akhirnya. “Cewek pakai gaun putih, wajah pucat dengan darah di mana-mana. Rambutnya panjang berantakan. Mirip wajah gue.” “Lo sadar kalau wajah lo mirip hantu?” Pandu tampak terhibur dengan ucapan Sirin tadi. “Bukan wajah gue yang ini,” balas Sirin kesal seraya menunjuk mukanya sendiri. “Wajah gue yang pakai riasan hantu tadi.” Pandu tersenyum lebar, geleng-geleng kepala. Tampak geli dengan perkataan Sirin. “Jadi lo bilang kalau lo lihat hantu?” Sirin mendengus kesal. “Lupakan.” Diam-diam Sirin menyisir dapur dan ruang makan. Tempat ini benar-benar sepi. Tak ada siapa-siapa di sini. Kamar yang dipakainya berias juga tertutup rapat. Tapi ada perasaan janggal yang Sirin rasakan di ruangan ini. Terdengar letusan dari arah atas. Seketika Pandu dan Sirin menoleh ke arah langit di taman sebelah ruang makan. Langit malam dipenuhi cahaya dari kembang api. “Udah dinyalain,” ucap Pandu seraya berjalan keluar menuju taman. Sirin mengikuti Pandu untuk melihat kembang api itu. Mereka berdiri bersebelahan dengan kepala terangkat. Langit tampak begitu indah dengan percikan api berwarna-warni. “Wow.” Sirin terlihat terkagum-kagum dengan pemandangan yang ia lihat. “Iya. Wow,” sahut Pandu tanpa mengalihkan pandangannya dari kembang api yang barusan meledak di langit. Percikan bunga api berwarna merah menyebar di sana. Untuk sesaat Sirin lupa tentang sosok yang sejak tadi menghantuinya. Ia terlalu sibuk menikmati pemandangan yang tersaji. Kembang api adalah salah satu hal yang sangat ia sukai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD