Siapa yang menyangka pagi tenang bisa menjadi pagi menghebohkan di seluruh kantor penerbitan milik Dave. Tidak tanggung-tanggung, Lee Sun membawa baner besar bertuliskan ajakan pernikahan untuk Amelia.
Dan yang menjadi target, sekarang sedang fokus mengerjakan proyek milik Erik. Amelia tak peduli dengan kicauan semua orang di luar ruangan. Yang dipedulikan adalah ke profesionalnya dalam berkerja.
“Apakah kau yakin? Kau tak akan keluar menemuinya?” tanya Alrich untuk sekian kalinya.
“Aku sibuk. Pekerjaanku menumpuk sampai tak punya waktu.”
Masalah lee Sun biarlah Samuel yang mengurusnya. Meskipun ia tak begitu mengenal pria itu, tapi sepertinya bisa di percaya.
Benar saja, tak lama kemudian beberapa orang yang berpakaian hitam langsung membawa pergi Lee Sun. Dave yang sudah tak betah keluar dari ruangannya, sebab keributan itu membuat ketenangannya terganggu.
“Maafkan atas ketidak sopanan kami,” kata salah satu dari mereka. “Kami akan mengurusnya dengan baik.”
Dave hanya menatapnya dingin, Delon pun bersuara. “Di masa depan jika ini terulang kembali, maka pihak kami akan menuntutnya.”
“Saya berjanji tidak akan terulang lagi.” Pria itu pergi bersama beberapa anak buahnya.
“Bos... kau tak menyinggung orang kan?” tanya Delon dengan khawatir.
Dave mengerutkan dahinya karena tak menyangka bawahan orang itu bertindak atas Lee Sun. “Sepertinya identitas Lee Sun tidak sederhana.”
Bagaimana nanti dengan Amelia yang menjebak Lee Sun? Dave harus menyingkirkan semua bukti yang ada sebelum tercium oleh pria tersebut.
Sementara itu, Lee Sun yang di bawa oleh mobil besar menuju ke rumahnya. Pria itu membanting pintu cukup keras, sampai Zen yang sedang membaca koran tersentak kaget.
“Ada apa dengannya?” tanya Drew mengintip Lee Sun yang sedang merajuk di dalam kamar.
“Tuan Sam sudah bilang, Lee sun tak boleh mendekati lagi Amelia,” ujar Zen sambil menghela nafas panjang.
“Aku malas mengurusi bayi seperti dia. Kalau bukan permintaan tuan, mana sudi aku di suruh-suruh.” Drew balik badan, duduk di sofa dengan elegan.
“Kapan tuan akan kembali?” Zen menaruh korannya. “.... kita tak bisa berada di sisi Lee Sun terus menerus. i***t satu itu membuat susah.”
“Dia hanya pion. Kalau nona sudah kembali, pasti posisinya akan turun.” Drew melirik sekilas ke kamar Lee Sun. “Mau menikah dengan nona? diri sendiri saja tak bisa mengurus.”
***
Rosa duduk di kursi meja makan dalam waktu cukup lama. Semalam Ken tak kembali ke kamar, hal itu membuatnya gelisah. Takut terjadi sesuatu, ia pun terus menghubungi ponsel milik pria itu. Tapi sayang, ponselnya tak aktif.
Ketika hendak bangkit, bunyi pintu di buka terdengar jelas. Rosa langsung bangkit menyambut Ken. Tubuhnya membeku saat melihat pria itu bersama gadis asing. “Siapa dia? Kita harus segera menuju ke perusahaan.”
“Dia kekasih baruku,” jawab Ken santai.
“Ken!” panggil Rosa dengan nada cukup tinggi. Ken meminta gadis itu pulang, tak lupa ia juga dikecup olehnya.
Rosa menggigit bibirnya sendiri karena merasakan perasaan kurang nyaman. “Ganti pakaianmu. Kau terlihat seperti gelandangan.”
Kemeja dengan kancing terbuka dan rambut acak-acakan bukan ciri khas Ken. Bau alkohol tercium jelas oleh hidungnya. Bekas noda lipstik yang tercetak jelas di kerah berwarna putih itu terlihat kontras.
“Kenapa? Apakah kau cemburu?” cibir Ken sambil menyeringai.
“Omong kosong! Aku tunggu di lobi....” Rosa menyambar tasnya, bergegas meninggalkan Ken yang tersenyum kecut. Pria itu langsung mengusap pipi bekas di cium oleh gadis yang dibawa.
“Sial... aku benci ini.” Bergegaslah dia pergi ke kamar mandi untuk segera mengguyur seluruh tubuhnya yang sangat bau.
Selesai mandi, Ken langsung bersiap diri. Bibirnya melengkung saat melihat sarapan dan juga kopi di atas meja. “Ternyata, dia peduli denganku. Aku akan membuatmu merasa di neraka, hingga kau masih menyadari cintamu, Ros.”
Ken sengaja menyewa seorang gadis hanya untuk memanasi Rosa, karena ingin melihat reaksi gadis itu. Terlihat jelas ekspresi wajah Rosa yang tampak menahan sesuatu. Ken sudah mengenalnya sejak lama, pernah hidup satu atap. Jadi, ia tahu kebiasannya.
Ruangan Amelia
Wajah Amelia sangat cerah karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal mengirim ke Divisi Editor dan ia bisa bersantai. Terus terang, menulis kisah hidup seseorang sangat menantang. Untung saja para bawahannya sangat handal.
Amelia bangkit dari kursinya, “Al... aku punya pengumuman untuk semua orang.” Tidka mau menunda waktu, gadis itu pergi di ikuti oleh Alrich.
“Perhatian!” instruksi gadis itu sambil bertepuk tangan sebanyak satu kali.
Semua orang menatap Amelia yang sedang berdiri itu. memang auranya terlihat berbeda, begitu berwibawa.
“Aku akan mentraktir kalian. Kita minum dan makan sepuasnya!”
Mereka bertepuk tangan karena senang dengan loyalitas Amelia. Bukan hanya ramah, dia juga pekerja keras.
“May, kau atur tempat. Didi dan Vega akan merekap hasil pekerjaan. Nanti kita meeting bersama bos.”
“Baik, Nona.”
Setelah Amelia meninggalkan ruangan mereka bertiga, Vega langsung angkat bicara. “Tuan Al, apakah Nona Amelia beneran mau mentraktir kita?”
“Sepertinya iya. Bukankah kau sudah mendengarnya?” jawab Alrich dengan pelan. “Dimasa depan, aku pastikan kalian akan mendapatkan hal seperti ini lagi.”
Alrich melipat kedua tangannya. “Jangan menjelek-jelekan atasan kalian. Aku tahu kalian suka bergosip.”
Ketiganya mengangguk patuh, dan langsung kegirangan. Bahkan mereka antusias mencari tempat yang bagus untuk makan-makan.
“Apakah Nona Amelia suka karaoke?” tanya Vega ingin tahu.
“Aku tak pernah dekat dengan Nona Amelia. Dan juga, selama ini yang bekerja keras kan kita,” jawab Didi dengan kesal.
“Pelan kan suaramu.... Tuan Alrich sudah memperingati ku agar tidak menjelekkan Nona Amelia.” Vega berbicara dengan sangat pelan, takut jika di dengar oleh orang lain.
“Lagi pula, nona sudah berubah. Dia sendiri yang mencari bahan, dan kita tinggal menulisnya,” sambung May terus mencari tempat yang bagus untuk makan malam.”
“Kita lihat saja nanti. Semoga masih bertahan.” Didi bangkit dari kursinya menuju ke kamar mandi. Belum sempat masuk, langkahnya sudah dihadang oleh Amelia.
“Nona!” pekik Didi kaget.
“Apakah aku semenakutkan itu sampai kau terkejut?” tanya Amelia dengan pandangan tajam.
“Ti-tidak,” jawab Didi cepat.
“Dimasa lalu, jika aku menyinggung mu. Aku minta maaf.” Amelia tak ingin menjadi lebih buruk di mata bawahannya. “... aku ingin kita semua menjadi dekat.” Gadis itu menyentuh pundak Didi, lalu pergi meninggalkannya sendirian.
Jujur saja, sakit mendengar pembicaraan mereka. Sebisa mungkin ia harus segera mengembalikan imagenya di depan umum. “Hais... kalau bukan temperamen gadis ini buruk, aku tak akan susah seperti sekarang.”
Amelia masuk ruangan dengan kesal, kesal karena orang-orang masih membicarakan keburukannya. Padahal ia sudah berusaha memperbaiki kesan mereka. “Asalkan aku bisa profesional, pasti pandangan mereka terhadapku berubah.”
Sepertinya, gadis itu harus menerima pekerjaan kedua untuk membangun imagenya di depan semua orang. Sayang sekali, proyek kedua itu sangat sulit untuk di jangkau. “Sial! Aku sangat kesal.”
Bersambung