Bab 48

1255 Words
Amelia menunggu Alrich keluar kantor dengan wajah gelisah. Pasalnya ia tak ingin bertemu dengan Dave, apalagi melihat muka pria itu. Sangat malu jika harus berpapasan dengannya. Kegelisahan gadis itu benar-benar terjadi, Dave keluar kantor bersama Delon menuju ke parkiran. Karena masih mengingat kejadian ciuman itu, Amelia memilih bersembunyi dari pandangan Dave. Sebenarnya sangat sulit menghindari pria itu, mengingat keberadaannya sangat penting. “Huh... aku tak mau bertemu dengannya.” Amelia menghela nafas panjang, berharap Dave cepat hengkang dari tempat parkiran itu. “Apakah kau lama menungguku?” Alrich berdiri tepat di samping Amelia, sukses membuat gadis itu kaget. “Untung jantungku masih menempel pada tempatnya,” kata Amelia sambil mengelus dadanya sebanyak tiga kali. Tawa Alrich pecah, sontak Amelia langsung membungkam mulut pria itu. “Ssssttt... pelankan suaramu.” Mendengar ada suara gelak tawa, Dave memicingkan mata tahu tawa siapa itu. “Delon, coba periksa bagian sana.” “Bos... waktuku sangat berharga. Aku tak mau membuang waktu,” keluhnya merasa sedikit kesal. “Apakah gaji mu mau aku potong?” Lihat wajah garang Dave yang mulai nampak, membuat Delon tidka berdaya. “Baik... aku pergi.” Delon melangkahkan kakinya dengan gonta, berjalan menuju ke sumber tawa itu. Dia celingak-celinguk mencari keberadaan manusia yang sembunyi. “Aku yakin ada di sini. Pendengaran ku tak pernah salah sama sekali.” Amelia dan Alrich pindah tempat ke samping kanan mobil milik orang lain. “Kenapa harus sembunyi?” tanya pria itu penasaran. “Diamlah... aku tak ingin bertemu mereka.” Amelia terus mengintai Delon yang masih mencari keberadaannya. “Bos... tak ada orang!” teriak Delon cukup keras. “Kembali!” jawab Dave sambil masuk mobil. Pria itu yakin bahwa suara tawa itu adalah milik Alrich. Kemungkinan besar Amelia juga ikut bersama nya. Setelah tempat itu aman dari Dave dan Delon, baru Amelia bernafas lega. “Mereka sudah pergi.” Gadis itu merebut berkas yang ada di tangan Alrich. “Kita ke rumah Tuan Wilson sekarang.” Tidak baik menunda waktu dalam melakukan pekerjaan. Apalagi Erik sudah bilang bahwa dia menyetujui wawancara itu. “Apakah kau sudah mengirim pesan padanya?” Amelia mengangguk, “Aku rasa, Tuan Wilson sudah menunggu kita.” Keduanya bergegas masuk ke dalam mobil. Mobil Dave yang ternyata masih berada tak jauh dari kantor pun mengikutinya. “Bos... aku tak mau jadi penguntit,” ucap Delon sambil melirik Dave yang duduk di depan bersama. Tumben pria itu mau duduk di depan, biasanya dia duduk di jok belakang. “Fokus menyetir... aku ingin lihat kemana mereka pergi.” Pulang kantor seharusnya pergi ke rumah, tapi di lihat dari arah kendaraan mereka, bukan rumah tujuannya melainkan tempat lain. “Bos... kau terlalu berlebihan. Mungkin mereka kerja.” “Tidak mungkin!” seru Dave tak percaya. “... kau harus terus mengikuti mereka. Jangan sampai kehilangan jejak.” Delon akhirnya diam, menuruti keinginan Dave. Ternyata setelah mengikuti mereka. Mobil Alrich masuk ke rumah Tuan Wilson. Dave bernafas lega karena mengira mereka makan malam bersama dengan romantis. “Bos... kau sudah puas kan? Kita pulang sekarang.” Delon sudah capek seharian menjadi kambing hitam karena amarah Dave yang tak terbendung. “Kita pulang,” ajak Dave tersenyum karena senang. “... menurutmu, apakah aku tampan?” Delon melirik sekilas, lalu fokus mengemudi. “Bos... apakah kau mabuk?” sindirnya terus terang. “Tutup mulutmu? Aku tanya, kenapa kau tak menjawab?” teriak pria itu dengan kesal. “Karena aneh. Kau tak pernah tanya mengenai hal ini padaku?” Sejak kapan sang bos menjadi narsis? Delon semakin tak mengerti dnegan tingkahnya yang berubah dari hari ke hari. Jawabannya hanya satu, karena Amelia. Gadis itu memang sangat berbeda setelah mengalami insiden kecelakaan. “Hanya tanya saja,” jawab Dave asal, takut ketahuan kalau sebenarnya ia memang mencari pendapat dari orang lain. “Tidak akan ada yang menolak pesona mu, Bos. Jangan terlalu di pikirkan.” Masalahnya Amelia berbeda, semakin Dave tidak memikirkan gadis itu, maka bayangannya selalu saja terlintas di otaknya. Dari mata, hidung, bibir, dan segala ekspresi senang, sedih, kesal, kecewa dan suram terlihat jelas. Dave pikir, ia sudah gila karena terus membayangkan Amelia tiada henti. Ingin rasanya memiliki tubuh gadis itu sendirian, agar tak direbut oleh pria lain. Pasalnya banyak lalat yang mengerubunginya. Rumah Erik Wilson Kedatangan Amelia dan Alrich di sambut ramah oleh para pelayan Erik. Namun sayangnya, Erik hanya butuh Amelia saja untuk bertatap muka satu sama lain. Awalnya Alrich enggan, tapi karena profesional, pria itu pun memilih pergi menuju ke halaman rumah. “Bagaimana aku memanggilmu, Tuan Wilson atau Erik.” Amelia merasa canggung kalau hanya mereka berdua berada di satu ruangan, apalagi kamar yang merupakan tempat privasi. “Erik. Kau boleh memanggilku Erik.” Mata Erik menatap Amelia dari atas sampai bawah. Gadis cantik dan imut itu memang terlihat berbeda. “Bisakah aku menceritakan kisah mu, selama merintis karir menjadi atlit lari?” Erik tersenyum melihat keseriusan Amelia dalam bekerja karena itu terlihat menggemaskan di matanya. “Kau terlalu tegang, Mel. Santai saja.” Aku ingin cepat selesai agar bisa keluar dari tempat ini. Amelia sangat tidka nyaman berada di ruangan itu. “Lebih baik aku memfoto mu terlebih dahulu.” Gadis itu mengeluarkan kamera mini miliknya, bersiap mengabadikan momen Erik. Setelah beberapa jepretan, Amelia terlihat sangat puas. Erik yang terus memandanginya pun tersenyum, “Kau tahu, banyak penerbit lain ingin bertemu denganku.” Gadis itu mendongak, “Lalu... kenapa kau mau menerimaku?” “Karena mereka hanya ingin kepuasan.” Erik memutar kursi rodanya, berjalan menuju ke laci tak jauh dari tempatnya duduk. “Banyak sekali kenangan saat aku mengikuti turnamen di berbagai daerah.” Amelia pun menghampiri Erik karena melihatnya membuka album yang merupakan kenangan selama menjadi atlit. Sungguh kegembiraan tiada tara yang dirasakan Erik saat itu. Namun semua hanya sementara saja. Mereka berdua pun berbincang banyak dan Amelia sudah tak merasa canggung lagi. Pemuda luar biasa seperti Erik adalah generasi penerus bangsa. Dia tak menyerah dengan kondisinya, dan memilih menjadi pelatih atlit untuk juniornya. Meskipun awalnya terpuruk, tapi karena sifat positifnya yang kuat, dia tak akan menyerah dengan mudah untuk mewujudkan mimpinya lewat orang lain, menjadi atlit internasional. “Kau sangat luar bisa,” puji Amelia dengan sungguh-sungguh sambil merapikan semua barang-barangnya. “Senang bisa bertemu denganmu, Mel. Aku menunggu bukunya rilis.” Mereka berdua saling berjabat tangan satu sama lain. Setelah itu, Erik mengantarnya keluar untuk melihat berbagai penghargaan yang di dapatnya. Ternyata Alrich sudah lebih dulu berada di sana, di pandu oleh pelayan. “Apakah sudah selesai?” tanyanya sedikit khawatir. “Kau terlalu posesif, Tuan,” sindir Erik terus terang. “Hanya saja waktu sudah larut, Tuan Wilson.” Dimata Erik, terlihat jelas kalau Alrich terbakar cemburu. Pria muda itu tahu gelagat orang yang sedang jatuh cinta. “Antar kan tamu. Aku akan istirahat.” “Erik... ! Terimakasih.” Amelia melambaikan tangannya, begitu juga Erik. Melihat mereka cepat akrab, rasa cemburu Alrich sudah tak bisa di bendung lagi. “Berhenti melambaikan tangan karena memalukan.” Wajah Alrich begitu masam dan gelap. “Iya, aku tahu.” Amelia masuk ke dalam mobil dengan wajah berseri-seri membuat Alrich setengah kesal. “Apakah aku sangat bahagia bertemu dengan Erik?” “Tentu saja. Dia bahkan memberikan berkas padaku,” jawab Amelia sambil mengeluarkan perekam suara miliknya. “Kami berbincang cukup banyak.” Tahukah Amelia kalau Alrich sudah berkoar-koar di dalam hati, tanpa sadar menginjak pedal gasnya. “Alrich...! Apakah kau ingin aku mati muda!” Mobil itu melaju cukup cepat membuat Amelia ketakutan setengah mati. “Kau gila....!” teriaknya di iringi suara deru mobil yang sangat kencang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD