Bab 22

1237 Words
Selama berjalan, para karyawan yang berpapasan dengan Amelia terlihat tidak menyukainya. Gadis itu sedikit menyesal memberikan video tersebut kepada Dave. Tapi jika dia melakukan sesuatu dengan gegabah, tentu nama perusahaan juga ikut turun. Jelas itu kasus internal, dan pihak luar tak boleh mengetahuinya. Amelia bukan gadis bodoh yang berjalan tanpa pikir panjang. Segala hal yang akan menjadi pijakan selalu dipikirkan baik-baik. “Aku tergoda dengan rekaman itu.” Amelia balik arah lagi sedikit melebarkan kakinya untuk segera menemui Dave. Dia langsung masuk begitu saja ke ruangan pria itu. “Aku akan mempublikasikan video itu!” teriaknya cukup keras. Bola matanya melotot saat mengetahui bahwa tidak ada Dave di dalam ruangan itu. “Hah... dia pergi kemana?” Sia-sia sudah Amelia berjalan dengan buru-buru, ternyata orangnya tak ada di tempat. “Hais... seharusnya aku tak memberikannya.” Tiba-tiba, beberapa notifikasi terdengar di ponsel milik Amelia. Dia pun bergegas membuka ponselnya dan mendapati video itu telah tersebar di beranda resmi perusahaan. “Gila!” Meskipun wajah si pelaku diburamkan, tapi tetap saja kelihatan siapa dalang dibalik penyebaran video tak senonoh itu. “Kenapa aku mengumpatnya?” Amelia hanya tidak menyangka Dave akan melakukan hal itu, menyebarkan bukti tersebut. “haruskah aku senang? Atau aku berterimakasih.” Gadis itu tersenyum sambil menggigit bibirnya sendiri. “No... jangan terperdaya.” Amelia langsung pergi tak ingin berlama-lama di ruangan milik Dave. Tidak lama setelah gadis itu pergi, Dave keluar pintu berwarna coklat. “Aku tak bisa diam kau diperlakukan seperti itu. Jadi, selama kau bisa berguna untukku, aku akan melindungi mu.” Misinya adalah mendekati Amelia dan menyingkirkan Rosa perlahan. Dia sudah memutuskan jalan mana yang akan dipilih. Ia yakin kalau Amelia bukanlah gadis bodoh, terbukti video yang dikirimnya. Ternyata, gadis itu sudah antisipasi dimasa depan. *** Dengan berita video orang yang telah melakukan penyebaran video, seluruh kantor dibuat gempar lagi untuk kedua kalinya. Amelia hanya diam melihat semua orang saling kasak-kusuk. Tidak heran haters begitu menakutkan, ternyata kekuatan mereka bisa meruntuhkan mental orang. “Apa yang kau pikirkan, Mel?” tanya Alrich. Sebenarnya dari tadi dia ingin tanya mengenai perihal pembersihan namanya, tapi niatnya di urungkan. “Terkadang aku ingin memaafkan kelakukan mereka.” Mereka yang di maksud adalah orang yang menyebarkan video itu. “Kau seperti biasanya, terlalu baik, Mel,” kata Alrich sambil menyodorkan jus alpukat tepat di depan Amelia. Lantas, bagaimana dengan Rosa dan Tessa. Mereka berdua sekarang berada di dalam satu ruangan. “Apa kau gila?” teriak Rosa untuk ke dua kalinya. “Kau membuat segalanya hancur lebur tak tersisa.” “Mereka belum mengetahui dalang dibaliknya, Nona. Kau tenang saja.” Meskipun Tessa khawatir, dia tetap berpikir positif. “Tapi ada orang lain yang tahu kalau itu kau?” Rosa melempar beberapa kertas tepat di wajah Tessa. “Jika ketahuan, jangan membawa namaku!” Tangan Tessa mengepal kuat, ingin memaki tapi statusnya sebagai bawahan. Apalagi sekarang dia punya projek besar. “Berikan projek Lee Sun kepadaku, biarkan aku yang menanganinya,” kata Rosa sambil memijat keningnya yang sakit. “Tapi, Nona,” tolak Tessa dengan cepat. Projek itu adalah karirnya di masa depan, tentu dia harus mendapatkannya. “Kau sudah tak punya harapan lagi! Projek itu sangat penting, sedangkan kau dalam skandal!” Rosa kesal dengan Tessa yang sulit di atur. “Aku tak bisa melakukannya! Projek itu juga penting bagiku!” “Jangan bodoh, Tes!” Mereka berdua adu mulut sampai terdengar ke luar ruangan. Para staf bagian editor pun saling membicarakan pertengkaran mereka. “Aku yakin sebentar lagi Tessa akan di tendang seperti Lea,” kata salah satu di antara mereka. “Lama-lama aku gila kerja di bawah Nona Rosa. Selalu saja menang sendiri,” sambung gadis lainnya. Delon yang melihat mereka yang saling menggerombol tersenyum semirik sangat tipis. Tak ada yang menyadari selain dirinya sendiri. Ken yang melihat pria itu mengerutkan kening. “Apakah Rosa baik-baik saja?” Sejujurnya, Ken sangat khawatir dengan Rosa. Walau bagaimanapun mereka adalah sepasang kekasih meskipun di masa lalu dan saling mencintai. Mungkin sekarang rasa itu telah hilang di mata Rosa, tapi tidak dengan Ken. “Sepertinya, Dave sangat peduli dengan Amelia. Aku bisa menggunakan kesempatan itu untuk menjalankan rencana ku.” Hati setiap manusia akan berubah seiring berjalannya waktu. Di masa depan, takdir seperti apa yang terukir tak ada orang yang tahu. Meskipun kita sebagai manusia melakukan sesuatu, pada akhirnya Tuhan yang selalu memutuskannya. Amelia yang berjalan bersama Alrich melihat Ken yang sedang berdiri dengan pandangan kosong. “Al, kenapa wakil bos ada di sana?” Alrich mendesah, “Apakah aku harus menjelaskannya?” “Tentu saja. Aku kan hilang ingatan.” Amelia menggosok hidungnya yang tak gatal yang merupakan kebiasaan ketika berpikir. “Jangan bilang kalau ada sesuatu di antara mereka.” “Benar sekali...” Alrich menjentikkan jarinya. “Dulu Rosa adalah kekasih Ken. Dan sekarang Rosa menjadi tunangan Dave.” Amelia melipat tangannya dengan santai. “Jangan bilang kalau Ken masih ada rasa dengan Rosa?” persisi seperti n****+ yang di bacanya. Pemeran utama di sukai banyak pria. Tapi kalau di lihat, Rosa bukanlah pemeran utama, melainkan antagonis yang sangat jahat. Tiba-tiba saja, Amelia merasakan pusing yang luar biasa. Rasa sakit itu sama persis dengan rasa yang di alami semalam. Alrich yang melihat gadis itu kurang nyaman langsung bertanya. “Apakah kau baik-baik saja?” “Pusing, Al,” jawab Amelia singkat. Kenapa rasa sakit itu terus saja menggerogoti kepalanya? Tak mungkin dirinya punya penyakit lain? “Kita ke ruang kesehatan... aku akan memanggil Kevin untuk datang.” Alrich menuntun Amelia menuju ke ruang kesehatan. Kondisi gadis itu membuatnya cemas. “Aku sudah bilang padamu untuk istirahat dulu sampai pulih.” Amelia diam karena sakit yang di deranya. Suara Alrich tak jelas sama sekali. Sumpah, dia tak ingin pingsan seperti tadi malam. Karena melihat Amelia yang kesakitan. Alrich langsung menggendongnya ala bridal style. Dia tak peduli jika menjadi pusat perhatian semua orang. “Tidurlah di sini... aku akan menghubungi Kevin.” Amelia hanya mengangguk saja karena penglihatannya benar-benar mengabur. Apa iya dia akan buta, kenapa mendadak menjadi gelap tak bisa melihat apapun, artinya gadis itu pingsan. Tidak lama kemudian, Kevin datang dengan terburu-buru menemui Alrich. “Untung saja aku rumah sakit tak jauh dari kantor ini.” Pria itu melangkahkan kaki selebar mungkin, hingga tak sengaja menabrak Ken. “Maaf... aku buru-buru.” Kevin langsung bergegas pergi menuju ke tempat Alrich tanpa menyadari siapa yang ditabrak. “Akhirnya sampai juga.” Kevin membuka pintu dengan kasar dan terkejut melihat Alrich yang mondar-mandir tak jelas. “Kenapa kau lama sekali?” tanya Alrich dengan tubuh gemetar. “Sepuluh menit. Hanya sepuluh menit.” Meskipun masih ngos-ngosan, pria itu segera melakukan tindakan medis. “Tadi malam dia juga seperti ini? Apakah Dave tak memberitahumu?” “Aku tak mendengar kabar darinya.” Alrich mengepalkan tangan kuat tak menyangka kalau Dave bertindak tanpa sepengetahuannya. “Kita harus memeriksa kepalanya lagi,” kata Kevin sambil menyuntikkan penghilang rasa sakit. “Bukankah kau bilang dia baik-baik saja?” Alrich terus menyeka keringat Amelia. “Untuk memastikan saja. Kita harus antisipasi,” jelas Kevin. Pria itu khawatir jika Amelia mengalami penyakit di kepalanya. Maka dari itu perlu tindakan medis lebih lanjut lagi. “Aku akan memanggil ambulan segera.” Kevin menepuk pelan bahu Alrich. “Jangan cemas, aku akan melakukan yang terbaik.” Ken yang mendengar pembicaraan mereka langsung meninggalkan tempat itu. ternyata Amelia memiliki penyakit serius, itu asumsinya Ken. “Haruskah aku terus menjalankan rencana ku?” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD