Bab 23

1178 Words
Ambulan telah meninggalkan perusahaan milik Dave itu pergi dengan tergesa-gesa. Sang pemilik gedung yang masih sibuk dengan semua pekerjaannya ketinggalan berita. Pria itu masih fokus di dalam ruang kerja, sampai akhirnya Delon masuk tanpa permisi. Dave tak menoleh sama sekali dan terus mempelajari dokumen miliknya. Sementara Delon masih mengatur laju nafasnya yang menggila. “Dia... Amelia!” katanya terengah-engah. Kegiatan sang bos langsung berhenti seketika. “Ada apa dengannya?” Pria itu masih tenang. Toh siapa yang akan berurusan dengan Amelia setelah ini. “Di bawa ke rumah sakit oleh Alrich.” “Apa?” teriak Dave langsung berdiri. Pria itu menyahut jasnya begitu saja. “Kau tak bisa pergi,” cegah Delon sambil merentangkan kedua tangannya. “Aku harus melihatnya!” “Hais... masih ada waktu. Kau harus mengurusi Lee Sun. Dia terus menghubungiku masalah editor.” “Atur pertemuan dengan Tessa.” Wajah Dave tampak tak tenang, segera menepis kedua tangan Delon. “Bos!” panggil Delon tak di tanggapi oleh Dave. Pria itu malah keluar sambil berlari. Hasilnya pintu terbanting cukup keras membuatnya mengelus d**a. “Dasar... memang dia susah sekali di atur. Seharusnya aku tak memberitahunya mengenai masalah Amelia.” Delon jadi serba salah, mau menghubungi manager Lee Sun takut kena marah. Dan sekarang, harus mengurusi Tessa. Mau tak mau, pria itu pergi untuk menemui Tessa. Sampai di ruangan editing, ia langsung menemui gadis itu. “Meeting sekarang, Tes. Kau yang mewakili bos karena dia sibuk,” kata Delon singkat. “Kita pergi sekarang.” Tessa segera menyiapkan segala keperluannya, tapi Rosa lebih dulu sudah berpakaian rapi serta membawa beberapa berkas. “Aku siap,” kata Rosa penuh percaya diri. Delon pusing jika harus berurusan dengan mereka berdua. Sebenarnya dia tak ingin terlibat sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga bawahan. “Aku butuh Tessa, bukan kau, Nona,” ucap Delon dengan ciri khasnya. “Tessa tak akan mampu mengatasi Lee Sun. Aku yang bisa di andalkan.” Wajah Tessa sudah buruk, ketika majikan yang dilayaninya mulai menggigit. Gadis itu hanya diam, tak berkata apapun. “Baiklah... kalian berdua ikut aku saja. Lagi pula, si bos ada urusan.” Rosa berpikir sejenak, apakah Dave pergi karena Amelia. Tidak mungkin, karena gadis itu bukanlah seseorang yang spesial di matanya. “Kenapa bengong? Ayo bergegas ke ruang meeting,” ajak Delon. Entah apa yang terjadi nanti, pria itu tak tahu. Yang jelas dia sudah membawa tameng, dan Rosa akan mengatasinya. Rumah Sakit Setelah dilakukan pemerikasaan ke seluruh tubuhnya, Amelia telah dibawa ke ruang VVIP. Di ruangan itu ada Kevin dan Alrich yang telah membahas tentang kondisi Amelia. “Tidak mungkin....” kata Kevin sambil menaruh semua berkas itu di atas meja. Alrich langsung membaca berkas itu. “Semuanya baik-baik saja. Jadi, apa yang salah?” Alrich meneliti semua dokumen kesehatan milik Amelia. “Aku sendiri juga bingung. Tubuhnya dalam kondisi baik, tapi dia tak kunjung bangun juga.” Kevin menatap sang perawat yang terus menyeka keringat Amelia yang mengucur deras tanpa henti. Di dalam alam bawah sadar Amelia, Lian sedang berada di dalam kegelapan. Ketakutan akan penglihatan yang tidak membaik membuatnya berdiam diri dalam tubuh gemetar. Tiba-tiba ada cahaya ke emasan datang. Seekor kupu-kupu emas menghampirinya, sontak perlahan cahaya itu menyebar dan ruangan tidak menjadi gelap lagi. “Apakah kau senang?” tanya kupu-kupu yang bisa bicara itu. Lian terkejut setengah mati, ingin bersuara tapi tak bisa. “Ragamu butuh penyesuaian, dan setelah ini kau akan baik-baik saja.” Kupu-kupu itu mengintarinya sebanyak dua kali, seketika Lian bisa bicara. “Siapa kau?” tanya Lian penasaran. “Jangan tanya. Karena kau memiliki keajaiban untuk merubah semuanya.” Suara itu tampak lembut, membuat siapa saja yang mendengarnya pasti terkesima. Apakah aku sudah mati? Serius. “Kau masih hidup.” Amelia langsung menutup mulutnya tak percaya karena hewan itu mendengar isi hatinya. “Tugasmu adalah membuat perubahan, setelah perubahan itu berhasil, kau bisa kembali lagi.” Amelia langsung membuka matanya setelah perkataan terakhir dari kupu-kupu aneh itu. sang perawat yang sedang berada di sampingnya langsung memanggil Kevin. “Apakah kau baik-baik saja?” tanya Alrich dan Kevin bersamaan. Amelia hendak bangun, tapi di cegah oleh kedua pria itu. “Jangan berlebihan... aku baik-baik saja.” Gadis itu melirik ke arah gelas yang berisi minuman. Sang perawat pun peka segera memberikan gelas tersebut kepada Amelia. “Kondisi tubuhmu masih lemah, jadi kau harus istirahat dulu,” kata Kevin sambil meraih gelas yang kosong. “Apa yang d katakan Kevin benar, Mel. Kau harus istirahat secukup mungkin,” tambah Alrich . Pria itu duduk si sisi kanan. “Aku cemas.” Dia meraih tangan Amelia. “Di masa depan, jika kau merasa sakit jujurlah padaku.” Alrich begitu perhatian dan tulus. Sayang sekali Amelia tak menyukainya sama sekali. Melihat kasih sayang Alrich membuat gadis itu luluh. Sekilas ia melihat bayangan Ramon ada pada pria itu. “Aku pergi dulu. Jika ada apa-apa, panggil aku.” Alrich melirik sekilas begitu juga dengan Amelia. Gadis itu menghela nafas kasar, “Kenapa kau membawaku ke rumah sakit?” “Aku khawatir padamu,” jawab Alrich. “Kau sangat pucat dan juga bertubuh dingin.” “Aku tak apa-apa.” Amelia hendak turun dari ranjang, tapi di cegah oleh Alrich. “Istirahatlah... jangan keras kepala, Mel.” Amelia melipat kedua tangannya. “Aku baik-baik saja. Kau lihat sendiri kan...”Gadis itu memutar tubuhnya tiga ratus enam puluh derajat sebanyak dua kali. “Aku tidak berbohong.” Jujur saja memang menyakitkan saat sakit kepala menyerangnya, tapi sekarang ia sudah baik-baik saja. Alrich tak perlu bertindak berlebihan. “Kupas buah untukku,” pinta Amelia sambil membuang muka. Walau bagaimanapun, Alrich adalah orang pertama yang peduli dengannya. “Dengan senang hati, Putri.” Wajah berbinar Alrich itu membuat Amelia senyum-senyum sendiri. Gadis itu duduk manis, menunggu pria tersebut selesai mengupas buah apel yang ada di atas nakas. Keduanya tak menyadari ada seseorang dibalik pintu keluar ruangan. Dia adalah Dave yang sedang berdiri di depan pintu. Ingin masuk, tapi niatnya di urungkan sebab tak ingin mengganggu. Kevin yang melihat Dave langsung menghampirinya. “Mau menjenguk Amelia,” kata pria itu dengan pelan. “Tidak,” elak Dave cukup cepat. Pria itu lantas pergi begitu saja. “Tak baik kalau kau kembali tanpa melihat keadaanya!” teriak Kevin. Langkah kaki Dave langsung berhenti seketika. “Ikut aku,” ajak Kevin. Mereka berdua berjalan menuju ke ruangan Kevin yang tak jauh dari tempat Amelia. “Bagaimana kondisimu?” tanya Kevin sambil membuka pintu ruangannya. “Baik. Lebih baik dari sebelumnya.” Kevin menghela nafas cukup panjang. “Kau tahu, buta wajah sulit di sembuhkan. Selama ini kau selalu mengenali orang dengan cara yang berbeda.” Dave sangat bekerja keras untuk bisa membedakan setiap orang, mulai dari cara berjalan, logat bicara dan kebiasaannya. Setiap kali pria itu berinteraksi dengan orang baru, Delon selalu memberi wejangan terlebih dulu kepadanya mengenai kebiasaan orang tersebut. Haruskah aku bilang kalau wajah Amelia yang mulai terlihat di mataku? Dave dilema antara memberitahu kevin mengenai kondisinya dengan jujur atau tidak. Dia juga masih belum memastikannya lagi mengenai gadis itu, bisa jadi hanya kebetulan belaka. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD