Bab 53

1247 Words
Dave mengguyur seluruh tubuhnya dengan air shower yang hangat. Bayangan ciuman semalam masih terlihat jelas dibenaknya. Bibir lembut rasa anggur memenuhi indera pengecap pria itu. “Seharusnya aku menikmati lebih lagi.” Ia terlena, karena ciumannya dengan Amelia yang begitu candu. Dave tersenyum nyengir, meraih handuk kimono yang tak jauh darinya. Tidak ingin mengganggu tidur Amelia, pria itu membuka pintu kamar mandi dengan pelan. Dave melihat Amelia yang masih tertidur pulas. Matanya melirik ke arah jam weker yang terus berputar. Sudah siang, gadis itu tak kunjung bangun. Beruntung hari libur, jadi ia akan membiarkan sedikit lama lagi. Amelia pindah posisi menjadi miring ke kenan. Dave pun menghampirinya, baring di sampingnya. Terbesit niat untuk menjahili gadis itu. “Aku ingin lihat, bagaimana reaksiku nanti.” Dave membuka dua kancing kemeja Amelia. Mata pria itu terus melotot, seperti hendak keluar dari sarangnya. Sesuatu dibalik keinginan duniawi mulai timbul. Buru-buru ia menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikirannya. Pria itu tersenyum puas melihat hasil kerja kerasnya. Untuk menyakinkan Amelia nanti, ia segera menanggalkan kimono nya, memakai celana di atas lutut. “Aksi di mulai...” gumamnya sambil tersenyum. Dave ikut memakai selimut milik Amelia, memeluk erat tubuhnya, dan mencium kening dengan sayang. “Mel...,” panggil Dave, mengelus rambut Amelia. “Emmm...” Gadis itu masih mengantuk, makanya menjawab apa adanya. “Bangun..., matahari sudah tinggi.” “Aku lelah. Jangan menggangguku.” Dahi Amelia berkerut karena merasa ada yang janggal. Bukannya ia tinggal sendirian? lalu siapa pria yang ada di sampingnya. Gadis itu pun mulai membuka mata perlahan. Bayangan seorang pria benaran ada, dan ia langsung terperanjat bangun. “Kenapa kau ada di sini?” tanyanya sambil menarik selimut. Ketika menarik selimut, Dave telanjang d**a, sontak ia menutup matanya. “Kau telanjang... dasar tak tahu malu!” Kemarin ia mabuk, dan tak sadar melakukan hal apa saja. Tidak mungkin dirinya ena-ena dengan Dave. Tidak mungkin... bajuku masih lengkap. Amelia membuka selimutnya dengan pelan, tak bisa berkata apa-apa karena bajunya berantakan. Tak hanya itu, dua kancingnya lepas. Tangan gadis itu pun gemetar. Dave yang menyaksikan reaksi Amelia mulai tak tega. Akan tetapi di luar dugaan, gadis itu malah tertawa renyah. Apakah dia gila karena hal ini? Walau bagaimana pun, aku yang salah. Dave hendak jujur, tapi Amelia malah bangkit dengan tenang. “Tipuan seperti ini tak akan mempan bagiku.” Anehnya ia merasa kalau adegan tersebut pernah di tulisnya. Sia-sia Dave menghawatirkan Amelia, ternyata dia lebih pintar darinya. “Pergi ke kamar mandi? Basuh mukamu yang lusuh itu.” ia menyibakkan selimut, secepat kilat gadis itu menutup mata dengan dunia telapak tangannya. “Lebih baik aku pulang!” Amelia lari terbirit-b***t karena merasa kalau berada di sekitar Dave sangat terancam. Bagaimana Amelia tahu kalau itu bukan rumahnya? Jelaslah, gaya hitam putih tak berwarna, layaknya suram seperti di pemakaman. Gaya itu sangat cocok di miliki oleh Dave yang sangat dibencinya. Saat keluar dari rumah Dave, Alrich berdiri di depan pintu rumahnya. Amelia masuk ke dalam rumah Dave kembali. Untung saja belum di tutup pintunya. Jika di tutup, pasti ia akan ketahuan jika tidak pulang. “Gawat.... gawat.” Amelia menggigit bibirnya karena frustasi. Gadis itu mondar-mandir tak jelas. Dave yang melihatnya sangat risih. “Kenapa tak jadi pulang, masih betah di sini?” Amelia langsung menerjang mulut Dave dengan tangannya. “Jangan bicara keras-keras. Alrich ada di luar.” Mereka berdua terlihat seperti pasangan yang selingkuh, menghindari kekasih yang lain. Dave melepas tangan Amelia dari mulutnya. “Malah bagus kalau dia tahu.” “Aku tak ingin dia tahu... aku mohon...,” pinta Amelia sambil menyatukan kedua tangannya. Itu aneh di mata Dave, seolah gadis tersebut memang sengaja melindungi Alrich. “Apakah kau mulai menyukainya?” tanya Dave dengan raut dingin, sedingin kutup es utara. Amelia mengaitkan seluruh jemarinya, tersenyum malu-malu. Jujur, ia bingung karena beberapa waktu lalu Alrich telah menyatakan perasaan kepadanya. Inginnya sih menjadi teman, tapi karena kebersamaan jadi timbul sedikit rasa suka. “A-aku tak tahu,” jawabnya malu-malu. Dave yang jarang kesal pun terlihat menahan sesuatu di dalam hatinya, seperti cuka yang masam. Mungkin karena cemburu, tapi tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Pria itu pun menyeret Amelia masuk ke dalam kamarnya dengan kasar. “Apa yang kau lakukan?” tunjuk gadis itu dengan tatapan tajam. Ia berusaha kabur, tapi Dave mendorongnya sehingga tersungkur ke lantai. “Kau tak boleh keluar dari kamar ini!” Blam Pintu di kunci dari luar, sementara Amelia berusaha bangkit, memukul pintu itu beberapa kali. “Apa kau gila?jelaskan aku! Ini namanya pemaksaan!” Amelia terus saja berteriak cukup keras sampai kahirnya kelelahan. Lantas, apa yang dilakukan Dave? Pria itu masih dikelilingi aura gelap di sekitarnya. Rasa kesal yang tak tahu sebab, terus saja merusak suasana hatinya. “Aku tak akan membiarkan itu terjadi.” Dave mengepalkan tangannya cukup kuat, tak peduli sampai darah segar menetes. Tidak ada rasa sakit sama sekali, karena hatinya sudah sakit. Sakit karena apa, ia sediri juga tak tahu. Kalau Dave sedang bingung, Amelia yang kelelahan merebahkan dirinya di atas ranjang. Sungguh ia sangat menyesal terlibat denga pria itu. “Kalua aku keluar perusahaan, siapa yang mau menampungku?” Prestasi Amelia dikantornya sangat buruk, pasti tak ada yang mau menerimanya. “Aku harus mengambil proyek itu sebelum keluar dari perusahaan.” Jika Amelia ingin menjauh dari Dave, maka yang harus dilakukan adalah bertahan untuk rencana. Resiko apapun aku dipilihnya. Gadis itu mengambil ponsel yang ada di tas, mencari tahu tentang penulis yang ada di proyek kedua. “Lokasi tempat tinggalnya tak jauh dari sini.” Amelia harus mencari cara agar bisa keluar dari rumah Dave. “Apa aku pingsan saja? Tapi kalau pura-pura, pasti Dave tahu.” Gadis itu masih berpikir, tapi karena berpikir terlalu keras perutnya menjadi sangat sakit. “Uh... kenapa perutku sakit sekali.” Amelia meremas perutnya sendiri karena tak nyaman. “Aku bahkan belum makan apa pun.” Ia berguling-guling di atas ranjang, karena merasakan sakit luar biasa. “Dave...!” teriaknya memanggil nama pria itu, berharap dia datang. Saat hendak bangkit, gadis itu melihat darah yang tercetak jelas karena seprei berwarna putih. “Ah... sial!” erangnya frustasi. “Kenapa sekarang?” Amelia tak tahu kalau menstruasi yang di alami bisa sesakit ini, biasanya tidak. “... aku benar-benar di kutuk.” Gadis itu meringkuk kembali, menahan rasa sakit yang dideranya. “Dave....!” panggilnya lagi. Dave yang mendengar teriakan tak biasa dari Amelia langsung bergegas masuk ke dalam kamar. Melihatnya menhan sakit, ia langsung panik. “Apa yang terjadi?” “Dia datang...,” jawab Amelia dengan wajah menahan malu. “... perutku sakit sekali.” Tanpa sadar, Amelia memegang tangan Dave. “Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Dave tak tahu caranya menangani seorang gadis karena tak pernah pacaran. “Bodoh... antar aku ke rumah.” Amelia sudah tak tahan lagi, rasanya ingin pingsan. Sementara Dave bergegas menggendong gadis itu, tapi saat hendak balik arah. Matanya melotot melihat darah segar di atas ranjang. “Kau....” “Apa... periode ku datang, aku tidak keguguran.” Dengan otak Dave, Amelia tahu kalau pria itu mengira bahwa ia mengalami keguguran karena pikirannya yang sempit. “Maafkan aku.” Ada kalanya Dave malu dengan situasi yang terjadi sampai tak tahu lagi harus berbuat apa. Sementara Amelia yang tadinya meringis kesakitan, tak bisa menahan tawanya. “Jangan tertawa...” “Karena kau lucu.” Diam-diam Dave tersenyum tipis, suasana hatinya pun mulai berubah. Ia menggendong Amelia keluar rumah menuju ke rumah gadis itu. Ternyata Alrich sudah tak ada di sana, tentu saja Amelia sangat lega. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD