Bab 54

1112 Words
Rosa mengemasi seluruh pakaian ke dalam koper. Hari ini, ia akan kembali ke kantor untuk urusan penting, tapi itu hanya alibi. Karena gadis itu mendengar kabar bahwa Amelia dan Dave semakin dekat. Kabar itu di dengar dari ayahnya. Snag ayah tak Ingin Rosa menunda waktu dengan hal yang tidak penting dan lebih fokus terhadap ambisinya. Ken yang melihat Rosa mengemasi seluruh pakaiannya tak terima. “Kenapa kau pergi sebelum menyelesaikan pekerjaan?” “Karena aku tak mau membuang waktu,” jawabnya dingin, seperti dulu ketika mereka putus. “Kau selalu saja seperti ini. Sejak ayahmu ikut campur, kau seperti bonekah yang tak berperasaan.” “Tau apa kau? Kau tak seperti diriku,” tunjuk Rosa dengan nada berteriak. “Berhenti ikut campur, kau bukan siap-siapa bagiku.” Rosa menyeret kopernya menjauh, keluar ruangan. Tapi Ken langsung menarik lengan gadis itu. “Aku tak akan membiarkanmu pergi.” “Lepaskan aku!” Dengan sekuat tenang, Rosa menampar Ken sampai terdengar keras. Ia mengepalkan tangannya dnegan kuat. “Itu balasan karena kau ikut campur.” Rosa pergi, meninggalkan Ken untuk sekian kalinya, hanya karena obsesi dan ambisi. Hati pria mana yang tak sakit, jika gadis yang dicintai memilih pria lain. Semua pasti merasakan kesakitan itu. Ken yang menatap Rosa dnegan pandangan kosong tak mengerti, kenapa gadis itu bisa berubah? Beberapa kali disakiti, siapa yang betah? Rasa sakitnya ini membuatnya tak bisa berpikir jernih. “Aku akan mendapatkan mu, setelah itu aku akan mencampakkan mu.” Cinta bisa berubah menjadi benci, begitu juga sebaliknya karena hati manusia tak ada yang bisa menebaknya. Hanya sang pemilik hati yang tahu. Sedangkan Rosa, gadis itu masuk ke dalam mobil, dikawal oleh dua orang pria. Ia tak punya pilihan, karena setiap langkahnya sudah di tentukan. Meskipun hatinya sakit, gadis tersebut tak peduli sama sekali. “Apakah ayah sudah kembali?” “Tuan sedang mengurus sesuatu. Kami di minta untuk mengantar nona sampai ke tempat tujuan.” Rosa menatap ke jalan raya, melihat lalu lintas kendaraan yang sedang lewat berlawanan. Jalur satu arah itu membuat mobil yang ditumpangi melaju cukup kencang. Sesekali, gadis itu menghela nafas panjang karena hidupnya. Bahkan perjalanan pun tak bisa aku nikmati dengan santai. “Anda harus segera mungkin menyakinkan pernikahan itu, Nona,” kata pengawal yang ada di samping Rosa. “Aku akan berusaha. Jangan khawatir.” Rosa tahu bahwa di masa depan tak akan bisa hidup dengan bebas. Untuk itu, ia akan mempersiapkan diri. Rumah Amelia Setelah Dave mengantar Amelia, pria itu langsung kembali ke rumahnya. Tentu saja ia senang karena bisa lepas dari bos dingin menyebalkan. “Tuhan memang berpihak padaku. Di saat yang tepat, aku datang bulan. Itu bisa menjadi alasan untuk keluar rumah Dave tanpa susah payah.” Amelia memasukkan seluruh barang-barangnya di dalam tas. Misi pekerjaan kedua akan dilakukan saat ini. Ia seorang diri saja sudah cukup. Dengan memakai pakaian santai, seperti bocah remaja, Amelia keluar rumah penuh percaya diri. “Tak ada satu orang yang mengawasi ku.” Ken tak ada, Alrich juga tak tahu entak kemana. Sementara Dave pasti sedang melakukan kegiatan pribadi. Mana ada muka dia? Setelah melihat darahnya tertempel di atas ranjang. Pasti dia sibuk mencuci selimut dan seprei. Benar saja, Dave sedang memasukkan selimut dan seprei yang kotor ke dalam mesin cuci. Karena pembantu hari libur tak datang, ia jadi melakukan pekerjaan rumah sendirian. “Kenapa dia selalu saja menyusahkan ku?” Menyusahkan, tapi juga merindukannya. Entah kenapa sedetik kemudian ekspresi wajah Dave berubah menjadi senyum-senyum tak jelas. Well, bisa dipastikan dia sedang jatuh cinta. “Hah... apa yang kau pikirkan?” Dave menghempaskan dirinya ke sofa, bersandar sambil menutup mata. Bayangan itu datang lagi, bayangan tentang ciuman mereka berdua. “Kenapa aku bisa se-m***m itu?” Dave mengipasi tubuhnya dengan telapak tangan. Perasan udara cukup dingin, tapi kenapa tubuhnya panas? Karena tak tahan di dalam ruangan. Pria itu kembali melakukan aktivitasnya, yaitu mengecek cuciannya. Pria mematikan mesin cuci, menghubungi Delon agara ke rumahnya. Untuk apa? Untuk pekerjaan lembur membersihkan rumahnya. Delon yang baru saja menutup panggilan itu terlihat jengkel dan kesal. “Hari liburku jadi terganggu.” Padahal dia masih belum puas servis gadis semalam. “Aku akan pergi,” katanya-sambil mengecup kening gadis itu. Jangan salah ya... meskipun tingkahnya melambai-lambai bak perempuan, itu hanya akting. Sejauh ini, Delon pria perkasa, jelas pengalamannya lebih banyak dari Dave yang seperti kura-kura dalam tempurung. Ibarat ejekan, pria biksu tak terjamah wanita. Delon bergegas menuju ke rumah Dave sesegar mungkin. Tanpa sengaja, ia melihat Amelia yang memakai pakaian seperti remaja. Gadis itu jelas terlihat lebih muda dari umurnya. “Apakah ada emas yang runtuh dai langit? Mataku tak salah bukan?” Delon keluar mobil, hendak mengikuti Amelia pergi. Tapi karena Dave menghubunginya lagi, ia pun memilih segera masuk ke apartemen. Belum sempat masuk lift, Dave sudah keluar lift duluan. “Untung kau ada di sini. Urus cucian ku, dan juga bersihkan seluruh rumah.” “Bos...,” panggil Delon “Apa? Aku sibuk... aku harus ke kantor mengurus sesuatu.” Apa aku diam saja ya? Dari pada pekerjaan bos terganggu. “Kenapa hanya diam? Kau membuang waktuku.” Dave melangkahkan kakinya kembali. “Ingat... sampai bersih.” Karena tak ingin menyembunyikan sesuatu, Delon langsung berteriak. “Amelia keluar, aku tadi melihatnya!” Langkah kaki Dave langsung terhenti, “Bodoh! Kenapa kau tak bilang dari tadi?" Ia segera bergegas keluar apartemen, mencari keberadaan Amelia. Sayang sekali, gadis itu sudah jauh berjalan. Tidak kehilangan akal, Dave segera menghubungi gadis itu. Tapi, apa yang di dapat adalah sebuah penolakan. “Amelia!” geramnya tertahan. Suara petir di siang bolong terdengar jelas sampai Amelia yang asik berjalan langsung merunduk. “Wah... sangat mengagetkan... aku sampai tak bisa berkata apa-apa. Pasti itu kutukan.” Amelia mengelus dadanya yang berdebar kencang karena petir itu. “Hais... kenapa aku lemah sekali.” Gadis itu pun melajukan langkahnya hingga sampai di persimpangan. Langkahnya mantap belok ke kiri, sampai di rumah nomor tiga lima. Rumah sederhana dengan segala kehangatan. Kali ini, Amelia yakin kalau penulis itu seperti dirinya. Saat hendak memencet bel rumah, seseorang mencegahnya. “Jangan mengganggu orang yang ada di dalam.” Amelia menoleh, tersenyum lembut menyambut orang itu. “Memangnya kenapa? Aku ada urusan penting.” “Nona..., ini demi kebaikanmu. Rumah ini berhantu,” bisik nya sambil merinding. Wanita paruh baya itu pun langsung meninggalkan Amelia yang masih berdiri di depan bel. “Di siang bolong seperti ini, mana ada hantu? Jelas dia berbohong. Dasar aneh.” Amelia merasakan hawa dingin yang menerpa tengkuk lehernya. Perkataan wanita tadi terus saja terngiang. “Tak mungkin.” Gadis itu segera mengganti pemikiran negatif dengan positif. Ketika hendak memencet bel kembali, ada tangan yang menyentuh pundaknya. “Arrrrggggghhhh!” teriaknya refleks dengan sangat kencang Bersambung

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD