Bab 4

1106 Words
Keesokan harinya Lian bangun dalam kondisi segar bugar. Biasanya tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga lantaran mimpi buruk yang selama ini menghantuinya. Iya, mimpi kejadian kecelakaan yang menimpa Ramon. Entah kenapa dia merasa sedikit jauh lebih baik. Hari ini, Lian akan melakukan aktivitas barunya untuk memulai hidup baru. Benar apa kata July, bahwa dirinya harus melupakan masa lalu agar terus hidup. Namun sulit baginya ketika bayang-bayang Ramon selalu menghiasai di setiap kenangan dalam sudut rumah yang di tempatnya. “Ramon,” panggilnya penuh dnegan kerinduan. Perasaannya tak bisa di bohongi kalau dia benar-benar merindukan pria itu. “Apakah aku bisa hidup tanpamu?” Wajah sendu itu terlihat jelas dan di tambah dengan tetesan air mata yang terus menetes. Tiba-tiba July membuka pintu kamarnya dengan cepat. Lian pun langsung mengusap air matanya dengan kasar. Melihat temannya sedang bersedih kembali, July langsung mendekat. “Mandilah..., aku sudah menyiapkan sarapan mu.” Gadis itu mengangguk patuh, bangkit untuk berjalan menuju kamar mandi. July menggunakan kesempatan itu untuk memunguti segala hal yang bersangkutan dengan Ramon. “Aku harap kau setuju dengan keputusanku, Ram. Aku tak mau hidup Lian hancur begitu saja.” Gadis itu terus memasukkan semua barang-barang milik Ramon. setelah selesai dia bergegas keluar ruangan membawa semua barang-barang itu menuju ke gudang. “Kau hanya kenangan. Lebih baik di simpan saja.” July pergi meninggalkan gudang itu bergegas menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Lian yang sedang menikmati makanannya. “Dari mana saja kau?” tanya Lian curiga. “Membuang semua barang-barang Ramon.” Sendok Lian langsung jatuh kelantai karena tubuhnya bergetar. Gadis itu langsung menunduk-menangis terisak. July pun memeluknya dnegan erat. “Ini waktunya kau bangkit dari keterpurukan. Buktikan kalau kau bukan pembunuh Ramon. Bungkam mulut para heters itu, Lian.” Gadis itu terisak mendengar perkataan July. Hidupnya yang sekarang dihantui rasa bersalah. Setiap hujatan yang muncul di media sosial membuatnya depresi, takut akan publik yang terus menyerangnya. “A-apakah aku bisa melewatinya?” “Lianku adalah gadis kuat. Kau tangguh dan bisa melewati semuanya.” July tak berbohong mengenai sifat Lian. “Habiskan sarapan mu. Aku akan ke kantor. Jangan lupa untuk memulainya hari ini.” July bangkit meninggalkan Lian yang terus memandangi punggungnya yang mulai menghilang. Gadis itu mengusap kedua matanya dengan pelan. Perlahan dia memejamkan matanya, mengingat kembali kebersamaan dengan Ramon sangatlah indah. Cinta pria itu untuknya begitu tulus hingga membuat hatinya luluh seketika. “Aku sangat mencintaimu.” Lian kembali terisak mengingat pria itu. untuk sekian kalinya, air matanya tumpah begitu saja. Setelah di rasa baik, dia bangkit dari meja makan menuju ke ruang kerjanya. Perlahan Lian membuka pintu, berhenti sejenak ketika melihat seluruh ruangan. Kenangan mereka satu persatu muncul di benaknya sangat jelas. Dan itu menyiksa dirinya. Beginilah rasanya ditinggal? Kenapa bisa sesakit ini? Dia tak pernah kembali lagi, Ramon sudah pergi untuk selamanya kepangkuan Tuhan. “Jika waktu bisa berputar kembali, aku tak akan membiarkannya datang menjemput ku.” Lian mulai melangkahkan kakinya. Tangan gadis itu menyentuh meja sampai ke komputer yang selalu saja menemaninya selama bekerja. Komputer itu adalah hadiah dari Ramon. “Aku ingin mengikuti jejak mu.” Gadis itu duduk memeluk komputer itu dnegan erat seperti memeluk tubuh Ramon. sejauh dia meminta pria itu kembali, Tuhan tak akan mengabulkannya. Segera mungkin kesepuluh jarinya di taruh di atas keyboard. Sudah berapa lama, dia tak menyentuh keyboard itu? Terhitung sejak kematian Ramon. Lian mulai menyalakan komputer itu dengan tenang. Layar yang menyambut dirinya adalah foto mereka berdua. “Aku ingin pindah.” Sejauh dia lari, tetap saja bayang-bayang pria itu selalu hadir. Dengan pelan, jari lentiknya mengarahkan mouse ke sebuah berkas. Setelah terbuka, tampak tulisan yang masih dalam tahap pengerjaan. Lian mengambil nafas panjang, mulai aktivitasnya kembali menulis dengan sangat baik seperti sedia kala. Seelah selesai menulis beberapa paragraf, Lian tersenyum menatap layar untuk membaca tulisan itu. Bola matanya melotot saat mengetahui bahwa yang ditulis adalah rentetan kejadian kecelakaan yang di alami Ramon. “Tidak mungkin!” serunya tak percaya. Lian langsung menghapus tulisannya itu sambil memeluk tubuhnya sendiri. “Aku akan menulis ulang.” Sekali lagi, Lian menulis kata demi kata sehingga terhubung menjadi beberapa kalimat. Gadis itu mengentikan ke sepuluh jarinya dan lagi-lagi terkejut atas hasil tulisan yang ada di layar komputer. “Kenapa bisa seperti ini?” monolognya sendiri sambil memeluk tubuhnya. Dia merasa tak punya bakat lagi di dunia literasi yang selama ini membesarkan namanya. Tak ingin menyerah, Lian kembali menulis lagi. Sampai dia menghapusnya lagi. Kejadian itu berulang beberapa kali sampai tak sadar waktu, matahari sudah tenggelam. July yang baru saja dari kantor mampir terlebih dahulu ke rumah Lian. Ketika masuk ke dalam rumah, gadis itu sangat senang melihat Lian yang giat bekerja. Akan tetapi, raut wajahnya kembali murung melihat kondisi temannya yang acak-acakan. “Apa yang terjadi padamu, Li?” tanya July sambil menggeret kursinya hingga mereka berhadapan satu sama lain. Lihatlah Lian, wajahnya pucat pasi dengan kedua mata merah seperti zombi. Terlihat jelas tubuhnya bergetar hebat. “Aku gila,” ranco Lian beberapa kali sambil terus menggigiti jarinya dengan gelisah. “Aku gila.” July langsung memeluk gadis itu. “Siapa yang menyebutmu gila? Apakah orang lain yang mengataimu? Kau tak gila, Lian. Kau normal.” “Aku benar-benar gila, Jul.” Lian melepas pelukan July. “Lihat tulisanku... kau bisa membacanya.” July menatap layar monitor untuk membaca tulisan milik Lian. “Ini adegan yang bagus. Aku suka sekali.” “Tidak! Itu bukan adegan! Itu kutukan! Kutukan karena aku yang membunuh Ramon!” “Tenangkan dirimu, Li.” July menghapus semua tulisan itu. “Menulis lah... biar aku yang melihatnya.” Lian mengangguk, segera melakukan perintah dari July. Awal menulis tak ada masalah, tapi semakin July lihat, mengarah ke kematian. Ia pun menyentuh tangan Lian. “Hapus lagi, buat ulang.” Lian mengangguk pelan, menghapus semua tulisannya. Setelah beberapa kalimat tertulis dengan baik, kalimat selanjutnya mengarah pada adegan sebelumnya, yaitu gambaran jelas mengenai kematian Ramon. Kedua tangan Lian bergetar hebat, meneteskan air mata tanpa peringatan. Dia terisak cukup keras. Bagaimana pun, karirnya sudah benar-benar hancur, tak bisa diperbaiki lagi. Apakah semua yang terjadi padanya adalah karma? “Kau harus periksa, Li.” July mematikan komputer itu. “Besok, aku akan mengantarmu ke dokter psikolog terkenal.” “Aku takut...” Lian tak tahu harus bagaimana lagi menjalani hidupnya. “Kau bukan gadis lemah, kau adalah Lian yang ceria dan kuat.” July menghapus air mata Lian dnegan lembut. “Ingat, tak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Kau harus berjuang.” Apa yang dikatakan July benar adanya. Ia harus bangkit dan menunjukkan pada dunia, bahwa drinya tidak bersalah atas kejadian yang menimpa Ramon. Gadis itu memutuskan untuk mengikuti saran temannya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD