04 - Merasa Asing

1041 Words
Saat Ivy memindahkan hasil masakannya ke ruang makan, hal itu bertepatan dengan kedatangan Kenan yang langsung menghampiri dan memeluk wanita yang sedang hamil tersebut. “Gimana? Udah mendingan? Padahal seharusnya kamu nggak usah masak. Aku bawain makanan nih buat kita bertiga,” ucap Kenan sambil menunjukkan sesuatu yang ia bawa. Ivy tersenyum tipis. Belum sempat ia menyahuti ucapan Kenan, sebuah suara sudah lebih dulu mengintrupsinya. “Kenan!” Ivy hanya bisa menghela napas panjang. Binar di matanya perlahan memudar saat ia merasakan sosok lelaki miliknya itu ditarik paksa hingga berpelukan dengan perempuan lain. Tisa. Wanita itu datang-datang langsung menarik Kenan dari Ivy dan memeluknya. Kenan yang terkejut pun tak banyak bereaksi. Dia tak sedikit pun menghindari dari pelukan Tisa. Bahkan, beberapa saat setelahnya, Ivy bisa melihat bahwa Kenan membalas pelukan Tisa di depan matanya. “Kamu apa kabar? Kapan sampai sini? Kok nggak ngabarin?” tanya Kenan. Dari nada bicara pria itu, tersirat kerinduan yang amat mendalam, yang berhasil membuat hari Ivy bergetar tak karuan. ‘Apakah ini normal? Apa aku salah bila aku merasa cemburu?’ batin Ivy. Ia tidak berani berbuat banyak, terlebih mengingat keberadaan Oma Ratu di sekitar mereka. “Baik, Ken. Aku baru datang pagi ini. Dan tadi Oma jemput aku di rumah, ngajak aku makan di sini sekalian minta aku masakin. Kangen sama masakan aku katanya,” terang Tisa dengan nada riang. Perlahan, pelukan keduanya mulai mengendur. Keduanya bertatapan cukup lama, sebelum akhirnya Kenan menoleh ke arah Ivy dan menarik lembut tangan istrinya tersebut. “Sayang, kenalin, ini Tisa, sahabat aku dari aku kecil. Dan Tisa, kenalin, ini Ivy, istri aku,” ucap Kenan memperkenalkan dua perempuan cantik di dekatnya itu. “Tadi udah kenalan kok, Ken. Iya kan, Kak Ivy?” balas Tisa. Raut wajah perempuan itu memang tampak ramah dan membuat siapa saja suka menatapnya. “Tisa udah masakin makanan kesukaan kamu loh, Ken. Yuk buruan kita makan bareng! Sengaja Oma langsung minta dia ke sini. Udah kangen banget sama masakan dia soalnya. Untung Tisa-nya mau,” ujar Oma Ratu. Oma Ratu menghampiri tiga anak muda itu, lalu mengambil lengan Kenan, menggiringnya ke sebuah kursi yang biasa Kenan duduki saat makan. Ivy pun menyusul. Namun, saat Ivy hendak duduk di tempat biasanya, ia sudah didahului oleh Tisa yang langsung menyiapkan makanan untuk Kenan. “Ini kamu semua yang masak? Banyak amat. Aku juga bawa ini padahal. Tapi masakan kamu emang nggak perlu diraguin lagi sih kalau soal rasa. Lulusan Le Cordon Bleu,” puji Kenan pada Tisa yang masih sibuk menyiapkan ini itu untuknya. Ivy tercekat. Ia seolah sudah tak memiliki ruang untuk mengambil perhatian suaminya lagi. Akhirnya, ia memilih untuk duduk di samping Tisa karena tak mau membuat keributan. Ia mengambil nasi dan sayur sop buatannya beserta ikan yang sempat ia goreng tadi. “Nggak semua. Aku cuma masak ini aja. Itu sop sama ikannya, Kak Ivy yang masak. Mau aku ambilin ikannya sekalian?” tawar Tisa. Ia sepertinya tidak masalah jika Kenan memakan masakan Ivy juga. Kalau dilihat-lihat, sebenarnya perempuan itu bukan orang jahat. Seharusnya Ivy tidak perlu merasa terancam karena keberadaan Tisa, kan? “Nanti aja! Satu-satu makannya, Ken, Sa. Nanti kalau yang itu sudah habis, baru deh kalau mau nambah ya nambah. Lagian piring Kenan udah penuh sama masakan Tisa gitu kok. Mau tambah ikan mau ditaruh di mana? Lagian kan itu yang ada di piring Kenan juga sudah lengkap, proteinnya juga udah ada. Kalau yang menyajikan emang ada basic ilmunya mah pasti udah sesuailah,” sambung Oma Ratu sambil menatap Tisa penuh bangga. Ivy masih terdiam. Padahal ia sampai memaksakan dirinya yang belum benar-benar fit untuk memasak. Namun pada akhirnya, untuk menawarkan hasil masakannya untuk Kenan pun ia tidak bisa. Ia merasa, seolah keberadaannya tak terlihat di sini. Dan satu hal besar yang membuat rasa kecewa Ivy itu semakin menjadi adalah, saat Kenan tak melawan ucapan Oma. Lelaki itu tak lagi melirik ikan goreng buatan Ivy, dan langsung menikmati hasil masakan Tisa dengan khidmat. ‘Lulusan Le Cordon Bleu, ya? Sudahlah, Vy, wajar lah kalau Kenan akan lebih suka sama masakan Tisa. Kalian beda kelas,’ batin Ivy menahan rasa kecewa. Ivy memaksakan diri untuk terlihat abai dengan sekitar. Ia menunduk, fokus pada makanan di hadapannya dan berusaha menikmatinya tanpa memikirkan kesedihannya. ‘Ah … sepertinya hamil muda benar-benar membuat aku jadi lebih sensitif.’ “Enak, kan?” tanya Tisa pada Kenan. “Enak. Semuanya pas. Bahkan lebih enak dari yang terakhir kamu masakin buat aku. Sepertinya kemampuan memasakmu sudah meningkat lagi,” puji Kenan. “Ya jelas dong. Tisa ini kan memang sejak dulu terdidik dengan baik. Tahu apa yang harus diprioritaskan. Dia dari awal memang niat buat ahli masak, ya pasti akan dia tekuni. Toh bagus juga, kan, masak itu salah satu hal paling penting loh buat perempuan. Laki-laki mana coba, yang nggak senang punya istri pintar dan rajin masak kayak Tisa?” sambung Oma. Ivy sadar, Oma sedang menyindirnya yang akhir-akhir ini jarang memasak karena kesibukan dan kesehatannya. “Oma jangan terlalu muji gitu dong! Nanti Tisa-” Ucapan Tisa terpotong saat mendengar sesuatu yang aneh dari sebelahnya. Di samping Tisa, Ivy tampak membungkam mulutnya dengan gerak-gerik yang tak biasa. Wanita itu merasa mual dan hampir muntah. Ivy sendiri tidak tahu kenapa, karena rasa mual itu muncul begitu saja. “Jorok sekali, sih?! Ini meja makan. Kami semua sedang makan. Kamu sengaja mau bikin selera makan kami hilang?” omel Oma Ratu. Ivy tidak punya waktu untuk menanggapi ucapan Oma Ratu. Ia segera bangkit dan setengah berlari menuju kamar mandi yang ada di lantai satu - tepatnya dekat dengan dapur. “Arrgh! Dasar! Lihat wanita itu, Ken! Maksudnya apa coba kayak gitu di depan orang-orang yang lagi makan? Kayak nggak pernah diajarin sopan santun aja.” Meski sudah berada cukup jauh dari ruang makan, Ivy masih bisa mendengar suara melengking Oma tersebut. Rasanya ia seperti akan menangis kala memuntahkan isi perutnya. Saat membasuh mulutnya, tangisnya benar-benar pecah. Ia membungkam bibirnya, berusaha meredam suaranya agar tak sampai terdengar oleh orang-orang di luar sana. Namun, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka. Kenan datang dengan raut wajah khawatir dan langsung meraih jemari Ivy dan menggenggamnya. “Kita ke rumah sakit aja, ya!” ajaknya lembut. Ivy menggeleng lemah. Kemudian, ia berhambur ke dalam pelukan Kenan. Tangisnya pecah tanpa mampu ia bendung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD