Pagi ini, Ivy merasa tidak enak badan. Ia berkali-kali keluar-masuk toilet untuk menumpahkan isi perutnya. Wajahnya mulai tampak pucat. Tubuhnya juga tampak lesu.
“Kalau sakit, nggak usah dipaksain kerja! Kamu istirahat aja di rumah. Nanti siang aku pulang lagi buat lihat keadaan kamu sehabis meeting,” kata Kenan, sambil memijat kening sang istri yang kini sedang rebahan.
“Aku nggak apa-apa, Ken. Paling tidur sepuluh atau lima belas menit juga sembuh,” balas Ivy.
“Ssstt … nggak usah ngeyel! Kamu itu jelas sakit, Vy, harus istirahat!” tegas Kenan.
Ivy tersenyum. Padahal, ia benar-benar tidak sakit. Ivy tahu, apa yang ia alami kini adalah efek dari hadirnya buah cintanya dengan Kenan di rahimnya.
“Malah ketawa?” heran Kenan. Padahal lelaki itu panik bukan main saat melihat Ivy yang tampak tidak baik-baik saja. Andai pagi ini dia tidak ada rapat penting, ia pasti akan meliburkan diri untuk merawat Ivy dan membawanya berobat.
Mata Ivy membulat. Ia memaksakan dirinya untuk duduk sehingga membuat Kenan terkejut dan berusaha menahannya. “Vy …”
“Ken, sarapan kamu sama Oma?” bingung Ivy. Ia baru ingat jika ia memiliki kewajiban untuk menyiapkan sarapan untuk suami dan neneknya. Ivy ngeri-ngeri sedap membayangkan bagaimana ekspresi Oma Ratu saat ini. Pasti Beliau sangat marah pada Ivy yang terlambat menyiapkan sarapan - bahkan parahnya lagi masih berbaring di atas tempat tidur.
“Aku sudah pesan makanan, kamu nggak usah pusing! Udah, buruan tiduran lagi!” ucap Kenan.
Ivy menatap Kenan ragu. “Jam segini memang sudah ada yang buka? Udah bisa pesen online?”
“Lah buktinya aku bisa, walau cuma sedapatnya,” jawab Kenan enteng. “Sekarang kamu tiduran lagi, gih! Aku mau ke bawah buat sarapan. Nanti aku antar sarapan kamu ke sini, sekalian aku bilangin Oma dulu kalau kamu lagi nggak sehat biar Oma nggak ganggu istirahat kamu.”
Ivy mendecak sebal. “Aku masih bisa jalan ke ruang makan.”
“Enggak, Vy, udah deh nurut! Ke ruang makan itu harus baik-turun tangga. Yang ada nanti kamu pingsan di jalan kan bahaya,” larang Kenan.
Menurut Ivy, Kenan cukup berlebihan, meski di sisi lain Ivy juga merasa apa yang Kenan lakukan tergolong manis. Tak mau berdebat karena kepalanya yang masih terasa pening, akhirnya Ivy mengalah. Ia membiarkan Kenan melakukan apa yang diinginkan lelaki itu. Kenan pun keluar dari kamar mereka, meninggalkan Ivy sendiri yang kemudian semakin lama merasa semakin mengantuk.
Namun, baru saja Ivy hendak terjun ke alam mimpinya, pintu kamarnya sudah kembali terbuka, menampakkan Kenan yang datang sambil membawakan makanan untuknya.
“Bubur ayam?” kaget Ivy. Kenan mengangguk. “Memang apa lagi yang bisa aku temukan jam segini? Tadi sih ada nasi uduk, tapi karena kamu lagi nggak enak badan, aku pesenin bubur aja buat kamu, biar penyerapan nutrisinya juga lebih cepat dan kamu bisa cepat mendingan.”
Ivy menghela napas panjang. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya makan makanan lembek dan bersantan itu saat perutnya sedang tidak nyaman seperti ini, hingga akhirnya ia pun mencobanya.
“Gimana?” tanya Kenan.
Ivy mengangguk. Setidaknya tidak seburuk yang ia bayangkan. Setidaknya, ia tidak langsung muntah setelah memakannya.
“Sekarang habiskan! Akan aku tunggu biar aku bisa bawa sekalian alat makanmu turun,” ucap Kenan lembut, tetapi mengintimidasi.
***
Sudah tiga jam sejak Kenan meninggalkan Ivy di kamar sendiri, dan selama itu, Ivy banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Ia memang selalu merasa lelah dan mengantuk sehingga ia berusaha untuk memaksimalkan waktu tidurnya, dengan harapan akan lebih kembali seperti semula esok harinya.
Namun, saat Ivy tertidur, ia mendengar suara Oma Ratu yang seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Suara dua orang di bawah sana itu terdengar jelas, dan tanpa sengaja mengusik tidur lelap Ivy. Ia berusaha untuk abai. Namun, nyatanya ia tetap terjaga dan sulit kembali untuk tidur.
“Apa aku coba lihat aja, ya? Kayaknya itu bener suara Oma, kan?” pikir Ivy. Perlahan, wanita yang tengah hamil muda itu pun bangkit. Ia mengambil jedai yang ada di samping tempat tidurnya, lalu memakainya untuk merapikan rambutnya yang kusut akibat tidak keramas saat mandi tadi pagi.
Ivy mengernyit saat mencium aroma masakan dari arah dapur. Ia pun bergegas berjalan di sana. Dan ternyata, di sana ada Oma Ratu bersama seorang perempuan cantik dengan rambut dikucir rapi.
“Oh, kamu pasti Kak Ivy, ya?” tanya perempuan cantik itu setelah menyadari keberadaan Ivy. Ia menghampiri Ivy, lalu mengulurkan tangannya. “Kenalin, aku Tisa, teman masa kecil Kenan. Dulu kami sempat tetanggaan, dan kebetulan keluarga kami juga cukup dekat, jadi sampai sekarang aku masih dekat sama keluarga ini. Salam kenal, ya.”
Ivy tersenyum dan menjabat tangan Tisa. Ia merasa seperti tidak asing dengan nama tersebut. Namun, ia tidak ingat pernah mendengar atau membacanya dari mana. Mengingat Tisa bilang dia memang sudah lama dekat dengan Kenan dan keluarganya, sepertinya wajar saja jika Ivy pernah mendengar nama tersebut.
“Iya, salam kenal. Aku Ivy,” balas Ivy.
“Cantik, kan? Cucu mantu pilihan Oma nih,” celetuk Oma tiba-tiba.
Ivy yang terkejut sontak mencari keberadaan Oma dan menatapnya penuh tanya. Cucu mantu pilihan Oma? Jelas sebutan itu tak mungkin Oma layangkan untuk dirinya, kan?
Oma berjalan menghampiri dua perempuan muda yang masih saling berhadapan itu. “Iya, ini Tisa, cucu mantu pilihan Oma. Dia cocok kan sama Kenan? Udah cantik, masih muda, berpendidikan, dari keluarga yang setara dengan Kenan, dan yang terpenting etikanya bagus.”
“Oma …” Tisa setengah merengek mendengar ucapan Oma. “Oma jangan bilang seperti itu dong. Biar bagaimana pun Kak Ivy kan istri Kenan sekarang. Tisa juga baru kenalan sama Kak Ivy. Nggak enak, Oma.”
Oma menggenggam jemari Tisa sambil tersenyum hangat. “Kan Oma cuma mengatakan yang sebenarnya, Tisa. Udah yuk kita lanjut masak lagi!”
Oma mengajak Tisa kembali bergelut dengan berbagai bahan di dapur. Sedangkan Ivy, mengamati dari tempatnya dengan perasaan yang tak menentu. Ia tahu Oma Ratu tidak menyukainya. Namun, ia tidak menyangka jika Oma akan sampai membawa perempuan pilihannya untuk menjadi istri Kenan dulu.
“Ada yang bisa aku bantu?” Ivy berusaha membaur. Ia mendekat ke arah Tisa, menawarkan bantuan.
“Nggak usah. Kan katanya kamu lagi sakit. Tidur aja sana!” Ivy cukup terkejut mendengar ucapan Oma Ratu. Sejak kapan Oma sepeduli itu dengannya? “Lagi pula di sini sduah ada Tisa. Tisa bisa ngelakuin apa aja yang biasa dilakuin ibu rumah tangga kok. Jadi kamu tidur aja sana!”
Baiklah, Ivy mengerti sekarang. Oma terkesan seperti ingin menunjukkan pada Ivy, jika Tisa bisa melakukan apa yang biasanya Ivy lakukan. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa keberadaan Ivy sudah tidak diperlukan lagi selagi ada Tisa di sini.
“Aku sudah mendingan, Oma. Nggak apa aku bantu-bantu sedikit. Lagi pula, Kenan bilang dia mau pulang sebelum jam makan siang. Jadi biar sekalian Ivy siapin makanan buat Kenan,” balas Ivy.
“Itu juga Tisa bisa. Iya, kan, Tisa?” balas Oma sambil menatap Tisa penuh bangga.
“Iya, Oma. Nggak apa-apa kalau Kak Ivy mau istirahat dulu. Biar aku yang masakin buat Kenan,” sahut Tisa dengan senyum cerah di wajahnya.
Ivy menggeleng. “Enggak. Soal makanan buat Kenan, biar aku aja. Biar bagaimana pun juga aku kan istrinya.”
Ivy langsung mengambil alih beberapa sayur di hadapan Tisa, lalu memotongnya. Ia tak mempedulikan lagi selentingan-selentingan tajam Oma yang ditujukan pada dirinya. Yang terpenting sekarang, ia harus memasak untuk suaminya. Mungkin terkesan berlebihan, tetapi, Ivy tidak ingin membiarkan perempuan yang berpotensi menjadi orang ketiga dalam hubungannya dengan Kenan memiliki kesempatan untuk menggantikan tugasnya.