“Masih nggak mau cerita?” Ivy mendongak, menatap sosok suaminya yang masih berdiri tegap di hadapannya pasca menyodorkan segelas air hangat untuknya.
Beberapa saat yang lalu, Kenan mengajak Ivy ke rumah sakit. Namun, wanita itu menolak dan memilih untuk segera kembali ke kamar. Kenan bahkan sempat meninggikan suaranya pada Oma, saat Oma hendak menahan langkahnya membawa Ivy ke kamar mereka yang berada di lantai dua. Belum lagi, saat Kenan kembali ke dapur untuk mengambilkan air untuk Ivy, Oma pun lagi-lagi menegurnya.
Ivy memaksakan senyumnya. Saat ini, dirinya sedang duduk bersandar di atas kasur. “Aku udah baik-baik aja, kok.” Sebab Ivy sadar, mual yang ia rasakan tadi, kemungkinan efek dari kehamilan mudanya.
“Serius nggak apa-apa? Atau aku panggilin dokter buat-”
“Nggak usah, Ken. Aku udah nggak apa-apa, kok. Kamu kalau mau balik ke ruang makan dan menemani Oma dan Tisa makan, silakan! Kayaknya aku mau istirahat lagi dulu. Soal tadi, tolong sampaikan permintaan maafku ke Oma dan Tisa, ya!”
Kenan menghela napas panjang. Ia mendudukkan dirinya di samping Ivy, membuat Ivy secara otomatis bergeser sedikit ke tengah. Kenan menggenggam jemari lentik berkuku pendek bersih milik istrinya itu.
“Maafin Oma, ya! Nanti biar aku bicara sama Oma, biar nggak mojokin kamu terus. Aku juga nggak tega lihat kamu terus diperlakukan seperti itu sama Oma. Tapi aku juga nggak bisa berbuat banyak. Oma sudah tua, sudah sering sakit-sakitan. Aku nggak mau jadi alasan kondisi Oma drop. Biar bagaimana pun, Oma yang dari dulu jagain aku pas Mama dan Papa sibuk. Kamu ngerti, kan?”
Ivy tersenyum hangat sambil menganggukkan kepalanya. “Selama ini aku sudah terbiasa hidup sendiri, dan itu nggak enak banget. Aku nggak keberatan sama keberadaan Oma. Dan aku harap, kesabaranku menghadapi Oma bisa menjadi bakti dari aku yang nggak pernah sempat bahagiain orangtuaku. Jadi nggak apa-apa. Kamu juga nggak harus bicara keras sama Oma, Ken. Aku yang nggak enak.”
Kenan menarik Ivy ke dalam dekapannya. “Maaf. Tapi aku janji akan segera cari jalan keluar biar kamu bisa lebih leluasa tinggal di rumah ini. Aku juga akan desak Mama dan Papa buat bantu cari jalan tengahnya.”
“It’s oke, aku baik-baik aja, kok,” balas Ivy yang sadar akan kekhawatiran Kenan yang berlebih padanya. Ivy tidak mau membuat Kenan sekhawatir ini. Hanya saja, ia memang masih berniat untuk menyimpan tentang kehamilannya - berharap menemukan momen yang lebih baik untuk memberi tahukannya pada Kenan.
‘Maaf, ya, Ken. Satu hari lagi. Aku janji besok akan memberikan kejutan indah ini buat kamu. Maaf aku bikin semua jadi terasa lebih rumit seperti ini,’ batin Ivy.
“Ken, kamu nggak mau balik ke bawah? Habis ini kamu harus balik ke kantor lagi, kan?” tanya Ivy, karena menurutnya sudah terlalu lama Kenan menungguinya di sini.
“Nggak ada yang lebih penting dibanding kesehatan kamu,” balas Kenan.
“Tapi aku-”
“Ssstt … pokoknya aku mau jagain kamu. Lagian jam kerjaku sisa beberapa jam aja, kan? Nanti biar aku kabarin orang kantor. Kalau ada yang mendesak, bisa aku kerjakan di rumah nanti,” potong Kenan.
Ivy tersenyum. Ia bersyukur memiliki suami seperti Kenan yang sangat mencintainya. Ivy bisa merasakan dalam dan tulusnya cinta Kenan untuknya. Selama Ivy hidup, hanya Kenan lah yang bisa memberikan kasih sebesar itu pada Ivy.
***
“Ken …”
Kenan menoleh saat mendengar namanya dipanggil oleh suara yang begitu familiar baginya. Kenan mengulas senyum tipis, sebelum kembali melanjutkan kegiatannya.
Wanita yang tadi memanggil nama Kenan pun mendekat, berdiri di samping pria itu sambil memperhatikan apa yang sedang Kenan kerjakan. “Kamu nggak balik ke kantor?”
“Enggak. Oh iya, gimana Paris?” Kenan membalas untuk sekadar berbasa-basi. Pikirannya sedang terlampau kacau hingga ia tak terpikirkan hal lain yang lebih baik dibanding pertanyaan klise itu.
“Semua masih sama. Terakhir kamu nyamperin aku kan baru tahun lalu, Ken. Nggak banyak yang berubah,” jawab wanita itu sambil tersenyum. “Oh iya, soal Oma, Beliau sudah sedikit lebih tenang sekarang. Tapi saran aku, kamu jangan lagi bicara dengan nada seperti tadi ke Oma, ya, Ken! Tahu sendiri, kan, Oma itu sensitif hatinya.”
Kenan menghela napas panjang. Ia mengangguk saja. Lagi pula, ia pun merasa tak enak hati karena sempat menaikkan nada bicaranya pada sang oma.
“Tadi aku cuma lagi kalut aja, ngelihat Ivy yang tiba-tiba muntah-muntah. Apalagi pas dengar ucapan Oma yang bikin Ivy nangis. Jujur, aku jadi bingung harus melakukan apa,” balas Kenan.
Wanita itu - Tisa - mengusap punggung Kenan. “Aku ngerti kok. Untuk hal yang tadi, memang Oma yang sedikit berlebihan. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku juga sudah melakukan hal yang sama. By the way, gimana keadaan Kak Ivy?”
“She’s oke, she said. Tapi aku nggak bisa percaya sepenuhnya sama dia. Aku lihat sendiri dengan mata kepalaku kalau dia tadi muntah-muntah. Dan nggak ada orang yang baik-baik aja tapi dia muntah-muntah, kan? Cuma dia nggak mau ngaku,” jelas Kenan. Awalnya ia sempat berniat untuk mendesak Ivy bicara. Namun, mengingat kejadian kurang mengingatkan oleh Oma tadi, ia mengurungkan niatnya - tak mau membuat Ivy merasa semakin tertekan.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, Kenan sampai tidak sadar bahwa wanita yang merupakan sahabat masa kecilnya itu langsung mengubah raut wajahnya. Ada suatu hal yang tampak ingin ia sampaikan, tapi akhirnya Tisa memilih untuk bungkam.
‘Apa mungkin istri Kenan - ah, tidak tidak! Aku tidak boleh juga mendahului medis. Tapi aku harap, apa yang aku pikirkan ini salah. Bisa aja dia memang sedang sakit, kan?’ batin Tisa meragu.
“Tisa, kamu kan sudah tahu seperti apa Oma sejak lama. Menurut kamu, gimana reaksi Oma kalau aku akan memperkerjakan asisten rumah tangga di sini?” tanya Kenan. “Keadaan Ivy sedang kurang baik. Lagi pula dia juga punya kerjaan yang aku pikir itu bikin dia nggak bisa full ngurus rumah. Jadi …”
“Jelas Oma pasti nggak akan setuju. Kamu tahu Oma, kan? Oma tipe orang yang nggak mudah percaya sama orang lain. Apalagi soal masak dan bebersih. Aku pikir kejadian belasan tahun lalu yang jadi salah satu alasan terbesarnya,” potong Tisa. Ia mengerti ke arah mana perbincangan yang akan Kenan bawa.
Dan, begitu pun dengan Kenan yang langsung mengerti dengan apa yang Tisa maksud tentang kejadian yang membuat Oma trauma.
Belasan tahun lalu, saat Kenan dan Tisa masih kecil dan tinggal bertetangga, saat itu orangtua Kenan menitipkan Kenan pada Oma. Di rumah yang besar itu, Oma memperkerjakan sekitar lima asisten rumah tangga dan beberapa petugas lainnya.
Namun, siapa sangka jika di antara mereka ternyata merupakan sindikat perampokan yang akhirnya berhasil menggasak beberapa harta benda milik wanita tua tersebut? Belum lagi, pegawai bagian dapur yang bertugas memasak juga membubuhkan obat tidur ke dalam makanan mereka, sebelum mereka memulai aksinya.
Dan gara-gara obat tidur itu, Kenan yang saat itu masih kecil mengalami overdosis dan nyaris meninggal. Andai saat itu Tisa kecil terlambat datang, kemungkinan besar Kenan yang saat itu masih berusia sembilan tahun pasti sudah meregang nyawa pada tragedi tersebut. Dan itulah yang menjadi trauma terbesar Oma Ratu hingga kini.
Kenan menyugar rambutnya saat merasakan udara di sekitarnya menjadi gerah. Pikirannya sudah buntu. Memperkerjakan asisten rumah tangga merupakan satu-satunya jalan keluarnya saat ini. Namun, mengingat trauma Oma Ratu, apa Kenan bisa merealisasikan maksudnya tersebut?
“Oma nggak akan setuju sama ide kamu itu ya, Kenan! Oma nggak mau mati. Oma juga masih trauma, nggak mau kehilangan kamu lagi.”
Kenan dan Tisa sontak menoleh ke arah datangnya sumber suara. Oma Ratu datang menghampiri keduanya sambil menatap cucu kesayangannya itu nyalang.
“Oma … Kenan janji semua akan baik-baik saja. Kenan akan menyaring semua kandidat dan memastikan kalau mereka semua bukan orang jahat. Biar bagaimana pun Ivy sedang dalam masa butuh istirahat, Oma,” terang Kenan, berusaha membuat Oma mengerti.
Namun …
“Kalau kamu memang butuh bantuan buat masak dan menemani Oma karena Ivy yang nggak becus urus semuanya, suruh aja Tisa tinggal di sini! Oma nggak bisa percaya sama orang lain. Tapi kalau Tisa, Oma percaya semua akan baik-baik aja kalau dia di sini. Tisa ini penyelamat nyawa kamu, Kenan. Bagi Oma, Tisa adalah jimat yang sangat berharga untuk keluarga kita,” tegas Oma.