06 - Pertengkaran Kecil

1322 Words
Ivy membulatkan matanya, menatap kaget ke arah Kenan yang sedang berbicara dengannya. “Keputusan sebesar itu dan kamu nggak minta pendapat aku dulu?” Kenan duduk di samping Ivy, menggenggam jemari wanita itu. Ia baru saja memberi tahu Ivy tentang keputusannya membiarkan Tisa tinggal di rumah mereka. “Seenggaknya Tisa bisa bantu masak dan temani Oma. Soal bebersih, aku bisa pakai jasa berbayar. Oma benar-benar nggak mau dibantu apalagi dimasakin sama orang luar. Dan aku juga nggak bisa biarin kamu kecapekan di saat-saat kayak gini,” jelas Kenan. Ivy mengusap wajahnya frustrasi. Ia tahu maksud baik Kenan. Namun, membiarkan seorang perempuan dewasa yang tidak ada hubungan darah dengan mereka untuk tinggal satu atap, bukankah itu bukan hal yang bagus? “Soal masak, aku masih kuat, kok. Hari ini kan aku emang lagi sakit aja. Besok aku udah bisa masak kayak biasa. Soal tukang bersih-bersih, terserah kamu. Tapi-” “Ada alasan khusus kenapa kamu nggak setuju Tisa tinggal di sini? Lagi pula, dia di sini juga tinggal sendiri. Jadi menurutku, akan lebih aman juga buat dia tinggal bareng kita, kan?” potong Kenan. Ivy terdiam. Bagaimana cara Ivy harus menyampaikan tentang keresahannya tentang Tisa? Ia merasa tidak berhak, jika mengingat Tisa yang sudah jauh lebih dulu masuk ke hidup Kenan dibanding dirinya. Namun, ucapan Oma hari ini benar-benar mengganggu pikirannya. ‘Aku tahu Tisa perempuan yang baik. Tapi bagaimana kalau nantinya Kenan akan termakan ucapan Oma dan mulai membuka hatinya untuk Tisa? Biar bagaimana pun, bukankah pertemanan antara pria dan wanita tanpa salah satu ada yang jatuh cinta itu nyaris mustahil? Apalagi, sepertinya Tisa juga masih sendiri, kan?’ batin Ivy. “Vy …” panggil Kenan, membuat Ivy kembali tersadar dari lamunannya. Ivy memaksakan senyumnya sembari menggeleng. “Ya udah gimana baiknya menurut kamu aja. Aku nggak mau kalau aku menentang ini, yang ada bakalan bikin Oma makin kesal sama aku. Masalah pas di meja makan tadi siang aja aku belum sempat meminta maaf lagi ke Oma.” “Udahlah, soal yang tadi siang kamu nggak perlu minta maaf ke Oma. Biar Oma lama-lama lupa sendiri. Lagi pula bukan keinginan kamu juga kan tiba-tiba mau muntah begitu?” ujar Kenan, sambil mengusap punggung Ivy, berusaha membuat wanita itu merasa lebih tenang. Ivy mengulas senyum. Ia ucapkan terima kasih pada sosok suaminya itu, sebelum akhirnya Kenan bergabung dengannya di bawah selimut dan tidur saling berpelukan. ‘Aku harap semua akan baik-baik saja. Semoga ketakutanku tentang kehadiran Tisa tidak akan pernah terjadi,’ batin Ivy, sebelum benar-benar memejamkan matanya. Pagi harinya, Ivy kembali diserang rasa mual yang luar biasa - atau yang sering disebut morning sickness. Ia beberapa kali mondar-mandir ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Dan saat ia hendak keluar dari kamar, Kenan menahan lengannya. “Kamu mau apa? Kan masih sakit. Istirahat aja, sayang!” ujar Kenan lembut. “Aku harus siapin sarapan buat kamu sama Oma. Dan aku udah nggak apa-apa, kok, ini udah baikan,” jawab Ivy. “Kamu habis muntah-muntah gitu baikan apanya? Udah kamu nurut aja, ya! Takutnya kejadian kayak kemarin terulang lagi, dan Oma makin marah sama kamu. Lagi pula kan ada Tisa yang bantu siapin makan buat kita. Dia itu chef loh, lulusan Le Cordon Bleu Prancis. Masakannya dijamin enak,” terang Kenan sambil tersenyum hangat, tetapi justru menggoreskan luka di hati Ivy. Ivy menarik lengannya yang ditahan Kenan. “Oh, oke kalau gitu. Nanti kalian makan masakan Tisa aja. Kalau gitu, berarti aku berangkat kerja sekarang nggak apa-apa, kan?” Kecewa … Tentu rasa itu muncul begitu saja di benak Ivy. Entah karena dia yang sedang sensitif efek hamil muda, atau memang karena apa yang Kenan ucapkan barusan memiliki kesan seolah pria itu tak membutuhkan Ivy lagi. Ivy berbalik untuk mengemasi perlengkapannya bekerja, membuat Kenan bingung dan langsung menghampirinya. Ia sadar, ada sesuatu yang salah dengan istri tercintanya itu. “Aku ada salah ngomong?” tanya Kenan. “Enggak kok. Aku cuma mau berangkat kerja aja, kalau memang soal makan dan yang lainnya udah ada yang urus. Nggak apa-apa, kan?” balas Ivy, berusaha tampak sesantai mungkin, enggak menunjukkan perasaan kecewanya. Kenan kembali menahan lengan Ivy saat wanita itu hendak beranjak. “Vy, kalau aku ada salah, ngomong! Soal apa kali ini? Soal aku yang ngelarang kamu masak?” “Nggak ada yang salah, Kenan. Aku cuma udah ngerasa nggak ada tanggung jawab lagi aja di sini, jadi ya udah aku mau berangkat kerja lebih cepat,” balas Ivy. Kenan tersenyum miring. “Jangan childish! Jelas kalau kamu bersikap begini, artinya kamu lagi marah. Ada sesuatu yang nggak beres yang bikin kamu seperti ini. Iya, kan? Lalu apa?” Ivy menghempaskan tangan Kenan yang menahannya dengan kencang. “Childish kata kamu?” ulang Ivy. Kenan terdiam, seolah menyadari jika ia telah salah memilih kata-kata. Namun, egonya tak mau kalah, terlebih setelah mendapati sikap Ivy yang tak ramah menurutnya. “Fokus ke masalah kita, Vy, aku ada salah apa? Kamu maunya gimana? Coba komunikasikan yang baik kan bisa,” desak Kenan, yang masih tak rela membiarkan Ivy pergi begitu saja. “Nggak, kamu nggak salah. Mungkin aku aja yang lagi sensitif. Udah ya, Ken, aku beneran mau kerja dan aku nggak mau perdebatan nggak penting ini malah ganggu konsentrasiku di rumah sakit nanti,” ujar Ivy, di akhir kalimat ia bicara dengan nada memohon. Akhirnya, Kenan melepaskan pegangannya pada lengan Ivy, membiarkan wanita itu akhirnya beranjak pergi. Butuh beberapa detik bagi Kenan untuk mendapatkan kesadarannya kembali. Begitu akal sehatnya telah kembali, ia pun segera meraih jas dan kunci mobilnya, lalu melesat menyusul Ivy. “Kak Ivy udah mau berangkat kerja? Ini aku udah masak buat kita semua. Sempatin sarapan dulu, ya!” ajak Tisa ramah. Ivy tak bisa tidak tersenyum menanggapi perlakuan ramah itu. “Enggak, makasih. Aku makan nanti aja. Soalnya kemarin udah ambil libur, jadi nggak enak kalau hari ini telat.” “Hmm, tapi-” “Tisa, maaf ya jadi ngerepotin kamu. Kalau begitu, aku duluan ya,” pamit Ivy cepat, sebelum Tisa berusaha menahannya. Sebenarnya, ia sangat tergoda dengan aroma masakan Tisa yang begitu harum. Tampaknya perempuan yang beberapa tahun lebih muda darinya itu baru saja memasak ayam. Aroma lezat khas lauk hewani itu tercium sangat kuat di hidung Ivy. Sampainya di depan rumah, Ivy mengeluarkan ponselnya. Ia hendak memesan taksi online. Namun, baru saja ia mendapatkannya, sebuah tangan tiba-tiba merebut paksa ponselnya dan membatalkan pesanan tersebut. “Kenan, apa yang kamu-” “Aku minta maaf buat yang tadi. Oke, aku nggak akan bahas itu lebih lanjut sekarang. Tapi, biarin aku anterin kamu berangkat kerja, ya!” ucap Kenan dengan satu tarikan napas, seolah takut Ivy akan memotong ucapannya. Ivy mengembuskan napas panjang. “Kamu belum makan, kan? Lebih baik kamu sarapan dulu. Aku bisa naik taksi online kok.” Sungguh, Ivy mengatakan hal itu dengan tulus. Apalagi mengingat di dalam sana Tisa sudah susah payah membuat makanan untuk mereka berempat. Dengan Ivy yang tidak ikut sarapan saja, sebenarnya ia sudah tidak enak pada Tisa. Apalagi jika sampai dirinya membuat Kenan juga tak bisa memakan masakan Tisa tersebut. “Soal makan, gampang nanti. Yang penting, aku antar kamu kerja dulu. Aku nggak bisa biarin kamu berangkat sendiri, sementara aku aja ada,” ujar Kenan. Tak mau berdebat, akhirnya Ivy menerima ajakan Kenan. Ia tidak mau masalahnya dengan Kenan semakin menjadi kalau masih harus ditambah perdebatan tentang hal ini. Sebab ia yakin, Kenan pasti tidak akan tinggal diam begitu saja tanpa menuntut penjelasan jika Ivy masih keras kepala menolak ia antar. “Habis ini aku numpang makan di cafeteria rumah sakit aja kali, ya? Jam kerjamu mulai jam berapa? Masih ada waktu buat menemani aku sarapan?” tanya Kenan, kala mobilnya mulai membelah jalanan ramai ibu kota. Ivy menoleh, ia tersenyum tipis mendengar nada bicara Kenan yang sudah mulai kembali menghangat. “Masih ada sedikit waktu. Mungkin aku bisa temani kamu sambil minum teh dan makan roti.” “Itu terdengar cukup bagus,” balas Kenan sambil mengulas senyum manis khasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD