Suasana hati Ivy membaik setelah ia sarapan berdua dengan Kenan - meski hanya di cafeteria rumah sakit. Senyum nyaris tak pernah pudar dari bibirnya seharian ini. Bahkan, hingga jam pulang kerjanya usai, dan teman-temannya yang satu shift dengannya tampak kelelahan, Ivy masih bisa tersenyum cerah seolah ia baru saja memulai harinya.
“Lain emang kalau yang mau nge-date sama suami,” goda salah satu teman Ivy yang ingat dengan agenda Ivy hari ini.
Ah … benar juga. Ivy sendiri bahkan sampai hampir lupa karena terlalu sibuk dengan kebahagiaannya sejak tadi pagi. Ia memeriksa kembali surat pernyataan bahwa dirinya hamil dari Dokter Aisyah beberapa hari yang lalu. Untung saja, dirinya tidak salah membawa tas sehingga surat itu masih terbawa.
“Aduh, Kenan udah jadi reservasi belum, ya? Mana di tempat itu sering full lagi kalau nggak reservasi dari jauh-jauh hari,” gumam Ivy.
Baru saja Ivy hendak menghubungi Kenan, nama pria itu sudah lebih dulu muncul di layar ponsel Ivy. Ivy pun segera mengangkat telepon dari pria tersebut.
“Vy, aku baru aja selesai rapat dan ini masih ada tamu. Mungkin aku akan sedikit telat jemput kamu. Atau kamu mau aku pesankan taksi buat ke sini?” tanya Kenan, sebelum Ivy sempat menyapanya duluan.
“Oh, iya nggak apa-apa. Atau aku langsung ke tempatnya aja? Nanti biar kita ketemu di sana,” tawar Ivy. Maksudnya, ia ingin menunggu Kenan di resto tempat mereka akan makan malam.
“Wait! Tempat mana? Mending kamu ke sini aja sekarang!”
“Ken, kamu nggak lupa buat reser-”
“Udah dulu ya, Vy. Nanti aku pesankan aja taksinya. Aku udah ditunggu tamu ini. Hati-hati di jalan!”
“Tapi, Ken- halo?”
Ivy menjauhkan ponselnya, melihat apakah sambungan telepon mereka belum berakhir. Namun ternyata, Kenan sudah mengakhirinya tanpa sempat mendengar jawaban Ivy.
Ivy menghela napas panjang. Dari apa yang Kenan katakan, sepertinya pria itu lupa jika mereka memiliki agenda makan malam bersama. Kecewa? Tentu saja. Namun, Ivy tidak mau menunjukkan kesedihannya setelah seharian ini ia tampak ceria.
“Nggak. Kenan nggak mungkin lupa. Apa dia mau bikin kejutan? Iya, kan? Bisa aja dia udah reservasi, cuma sengaja mau bikin kejutan makanya pura-pura lupa,” lirih Ivy. Melihat bagaimana Kenan yang dulu selalu bisa menyusun kejutan indah untuknya, bukan tak mungkin kini Kenan melakukannya lagi.
“Iya. Lebih baik aku ikuti saja alur yang Kenan buat. Dia pasti nggak akan mungkin kecewain aku, apalagi untuk hal seperti ini,” lanjut Ivy.
Setengah jam kemudian, Ivy sampai di kantor tempat Kenan bekerja. Saat itu, tamu Kenan masih di dalam ruangan pria tersebut. Sekretaris Kenan mengarahkan Ivy untuk menunggu di depan. Namun, cukup lama ia menunggu, Kenan maupun tamunya masih belum juga menunjukkan batang hidungnya.
‘Kok aku tiba-tiba lapar, ya? Ssshh … apa bawaan bayi jadi sering lapar begini?’ batin Ivy. Ia melihat sekretaris Kenan yang tampak masih sibuk bekerja. Tak enak rasanya bila harus merepotkan wanita itu.
‘Mana Kenan lama banget, sih? Chat aku juga belum ada yang dibaca,’ herannya.
Baru saja Ivy hendak berdiri dan pergi, pintu ruang kerja Kenan terbuka. Ivy pun langsung memasang senyum termanisnya, seolah penantiannya yang cukup lama akan terbayar lunas setelahnya.
Namun …
Hatinya justru merasa sesak. Saat melangkah keluar dari ruang kerjanya, Kenan tampak sedang bersama seorang perempuan berpakaian modis dan cipika-cipiki dengan wanita itu.
Sejenak, Ivy lupa caranya bernapas. Tubuhnya terasa panas hingga keringat mulai terasa mengalir di tubuhnya.
“Vy?” kaget Kenan. Lelaki itu tampak terkejut dan langsung menghampiri Ivy.
“Ken, kalau begitu aku duluan, ya. See you next time! Jangan lupa kerjain yang bener proposalnya! Kalau ada yang mau ditanyain, jangan sungkan hubungi aku!”
“Iya iya. Hati-hati di jalan,” balas Kenan pada wanita yang tadi keluar dari ruang kerjanya tersebut.
Setelah wanita itu pergi, barulah Kenan beralih pada Ivy yang tampak memasang raut wajah bingung. “Siapa?”
“Rebecca, teman semasa kuliahku yang ternyata jadi penanggung jawab di project yang lagi aku kerjain sama satu perusahaan,” terang Kenan.
Ivy mengangguk. Meski dirinya kurang nyaman melihat suaminya berkontak intens dengan seorang wanita seperti tadi, tetapi ia tidak ingin mengambil pusing masalah itu. Lagi pula selama ini bukankah Kenan cukup bisa ia percayai?
“Kamu masih ada kerjaan?” tanya Ivy. Ia harap, Kenan akan menjawab tidak. Ivy sudah sangat tidak sabar pergi kencan dengan Kenan. Ia tidak sabar segera memberi tahukan Kenan tentang kehamilannya.
“Kerjaan aku masih cukup banyak. Nggak apa-apa, kan kamu nunggu di ruanganku? Aku minta kamu ke sini biar seenggaknya kamu nggak ribut lagi sama Oma di rumah,” jawab Kenan.
Ivy menahan napas selama beberapa saat. Rasanya ia hampir meledak mendengar jawaban suaminya tersebut.
“Kamu nggak lupa kalau kita mau makan malam di resto tempat kamu ngelamar aku dulu, kan?” tanya Ivy guna memastikan.
“Astaga, aku belum sempat reservasi. Dan kayaknya kalau sekarang juga udah terlalu mepet, deh. Gimana kalau diundur jadi besok aja? Besok kan weekend. Pasti lebih seru,” tawar Kenan.
Ivy menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan hasrat untuk berteriak di hadapan suaminya itu.
‘Ini bukan prank? Dia beneran lupa? Dia bisa lupa dan seenaknya mundurin jadwalnya di saat aku sudah seantusias ini?’
“Sayang, are you oke? Aku benar-benar sibuk. Bisa kita langsung ke ruanganku aja? Aku masih harus lanjut kerja,” ajak Kenan.
“Kamu beneran lupa? Beneran belum reservasi?”
“Vy, kamu tahu kan aku lagi sibuk banget sama proyek baru ini? Apalagi kemarin aku juga work from home setengah hari buat nungguin kamu. Kerjaanku numpuk. Jadi, bisa kita bahas ini nanti atau besok lagi?”
Bukankah seharusnya Ivy yang marah? Bukankah seharusnya ia yang kecewa? Lantas kenapa justru Kenan yang malah menaikkan nada bicaranya sekarang?
Apakah ini efek kehamilan Ivy sehingga wanita itu jadi sangat sensitif dan menemukan alasan untuk menangis terus-terusan? Apakah ini salah Ivy karena ia sulit mengatur emosinya untuk sedikit lebih stabil?
Ivy menghela napas panjang. “Kamu masih lama, kan? Kebetulan aku lapar. Aku tunggu di rumah makan depan kantor, nggak apa-apa?”
Pada akhirnya, Ivy masih berusaha untuk sabar dan mengerti. Ia tidak ingin emosinya yang sedang meledak-ledak ini menimbulkan masalah yang serius dengan Kenan.
“Oke. Nanti kalau udah selesai, susulin aja ke sini! Atau aku akan kabarin kamu duluan kalau kerjaanku udah selesai dan kamu belum pulang,” jawab Kenan.
Ivy mengangguk. Kemudian, ia beranjak pergi dari sana, dengan perasaan kecewa.
‘Apakah hanya perasaanku saja atau Kenan jadi semakin dingin padaku? Perlahan rasa pedulinya memudar, seperti aku sudah bukan prioritas lagi buat dia. Apa wajar jika aku merasa kecewa?’