Rencana makan malam yang amat Ivy nantikan berakhir batal. Kecewa? Ivy hanya bisa menahannya dalam hati. Ia berusaha terlihat baik-baik saja, meski berkali-kali pula ia tak bisa menahan diri untuk tak menghela napas panjang.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Kenan.
Saat ini, mereka sudah sampai di lampu merah terakhir menuju ke rumah. Iya, selepas dari kantor Kenan, mereka benar-benar langsung pulang. Dan Ivy tidak bisa mengeluh, karena ia sendiri sudah melihat bagaimana padatnya jadwal Kenan hari ini. Wajar jika Kenan ingin cepat-cepat pulang dan beristirahat.
“Nggak apa-apa. Cuma capek aja, rasanya lama banget jalannya,” bohong Ivy.
“Kamu ada mau beli sesuatu dulu sebelum pulang? Ke mini market atau beli makanan sesuatu? Kalau iya, nanti kita bisa mampir dulu,” tawar Kenan.
“Nggak usah, Ken. Nanti semisal pengen apa-apa, biar aku pesan online aja. Kasihan kamu pasti udah pengen cepat-cepat mandi,” tolak Ivy.
Ia memang ingin menghabiskan lebih banyak waktu berdua dengan Kenan di luar. Namun, di sisi lain, Ivy merasa egois jika ia menahan Kenan lebih lama di luar. Wajah pria itu tampak begitu lelah meski sesekali masih berusaha menunjukkan senyumnya di depan Ivy.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di rumah. Keduanya keluar dari mobil, dan berjalan berdampingan memasuki rumah. Keadaan rumah kala itu terasa begitu sepi. Namun, semakin dalam mereka melangkah, aroma lezat yang berasal dari dapur kian menyerbak ke indera penciuman mereka.
“Sepertinya Oma dan Tisa sedang masak. Kita sapa mereka sebentar, yuk!” ajak Kenan. Ivy mengangguk, lalu mengikuti langkah suaminya.
“Kenan, udah pulang kamu? Ini tadi langsung pulang atau pakai mampir? Belum makan malam, kan? Tisa udah masak makanan spesial loh buat kamu,” ujar Oma Ratu, seolah hanya Kenan yang ada di matanya.
“Iya, Oma. Ini tadi juga langsung pulang. Tapi memang dari kantornya aja yang udah kesorean karena ada beberapa hal yang harus Kenan selesaikan hari ini juga,” jawab Kenan.
“Bagus kalau begitu. Habis kerja keras seharian, pasti lapar, kan? Buruan mandi sana! Habis itu kita makan bareng,” ucap Oma.
Kenan mengangguk. Lalu, ia menoleh ke arah Ivy yang terdiam di sampingnya.
“Tisa, Oma, ada yang bisa Ivy bantu?” tawar Ivy. Sebenarnya ia ingin langsung ke kamar. Ia juga merasa lelah, suasana hatinya sedang kurang baik, serta ia juga merasa belum nyaman terlalu dekat dengan Tisa. Terlebih ada Oma Ratu di antara mereka. Namun, ia merasa sungkan.
“Nggak usah, Kak. Ini udah mau selesai kok. Sebentar lagi tinggal mindahin ke mangkuk sayur aja. Kakak mending bersih-bersih dulu, terus nanti kita makan bareng!” ujar Tisa ramah.
Ivy menoleh ke arah Oma Ratu. Namun, wanita itu tampak sudah kembali menyibukkan dirinya, mengabaikan Ivy yang masih ada di sana.
“Tisa benar. Kita bersih-bersih dulu aja, yuk!” ajak Kenan, lalu memeluk pinggang Ivy, mengajaknya untuk pergi dari dapur.
Tanpa mereka sadari, hal itu berhasil menarik perhatian seseorang. Ia menatap lengan Kenan yang berada di pinggang Ivy dengan jantung berdebar kencang hingga menimbulkan rasa nyeri yang menyiksa.
“Kamu tenang saja, Tisa. Oma pastikan Kenan akan kembali pada kamu suatu saat nanti. Di dunia ini, nggak ada yang pantas bersanding dengan Kenan kecuali kamu,” ujar Oma Ratu, membuat perempuan yang sempat sibuk dengan perasaan sesaknya itu menoleh kaget.
“O- Oma?” kagetnya.
“Oma tahu. Kamu suka kan sama Kenan?” tanya Oma Ratu. Tisa tampak ragu untuk menjawab. Tatapan perempuan itu berubah menjadi sendu. “Kamu tenang saja, Tisa. Oma akan selalu berada di pihak kamu. Lagi pula, Oma yakin jika suatu hari nanti Kenan pasti akan sadar akan betapa berartinya kamu bagi hidupnya. Ivy tidak ada apa-apanya dibanding kamu yang sudah pernah menyelamatkan nyawanya dan menjadi orang terdekatnya sejak ia kecil.”
Tisa tersenyum simpul. “Aku senang aku punya Oma di hidup aku. Aku bisa merasakan bagaimana sayang dan pedulinya Oma ke aku. Terima kasih banyak ya, Oma.”
***
Seperti yang sebelum-sebelumnya, Ivy merasa asing saat dihadapkan dengan Oma Ratu sekaligus Tisa, meski yang duduk di sampingnya kini adalah suaminya sendiri. Ivy lebih banyak tertunduk. ia nyaris tak bersuara karena tiga orang lain yang ada di ruangan itu terlalu sibuk dengan perbincangan yang tak Ivy mengerti, membuat Ivy merasa seolah presensinya tak diharapkan di tempat ini.
“Nanti biar aku aja yang cuci piring sama bersihin ini semua, Tisa,” ucap Ivy.
“Nggak apa-apa biar aku bantu, Kak. Soalnya alat masak di dapur tadi juga belum sempat aku cuci. Jadi-”
“Nggak apa-apa, Tisa. Lagian kamu kan sudah capek masak tadi. Biar Ivy aja yang beresin sisanya,” potong Oma Ratu.
Kenan menoleh ke arah Ivy, seolah memastikan bagaimana reaksi istrinya itu. Namun, di matanya Ivy tampak baik-baik saja. Wanita itu bahkan masih mempertahankan senyum di bibirnya saat menatap Oma Ratu dan Tisa.
“Iya nggak apa-apa. Nggak enak juga kalau semua jadi dilimpahkan ke kamu. Kamu mau masakin kami aja aku udah hutang budi sama kamu,” sambung Ivy.
“Mending kita lanjut ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Ayo, Ken! Kamu juga harus bergabung! Udah nggak ada kerjaan kantor yang deadline-nya hari ini, kan?”
“Nanti Kenan nyusul ya, Oma. Kenan mau bantu Ivy beresin ini sebentar,” balas Kenan, sambil tersenyum hangat ke arah Ivy.
“Astaga, Ken, ini piring kan bisa ditumpuk, gelasnya bisa pakai nampan. Ini nggak sebanyak itu sampai harus dikerjain orang banyak. Lagian kan memang dia belum ngapa-ngapain hari ini. Jadi ya biarin ajalah! Kamu pasti capek kan, kerja seharian? Jadi mending istirahat sambil ngobrol aja yuk di depan!” bujuk Oma Ratu.
Kenan menoleh ke arah Ivy. Belum sempat bibirnya terbuka, Ivy sudah lebih dulu menyela, “nggak apa-apa. Oma benar. Kasihan kamu udah capek seharian ini banyak kerjaan. Lagian cuma mindahin sama nyuci ini doang, kok.”
Kenan menghela napas panjang. Akhirnya, ia pun hanya menurut saat Oma memeluk lengannya dan menggiringnya ke ruang tamu. Di belakang mereka, Tisa menyusul dengan senyum cerah yang sedetik pun tak pernah pudar dari bibirnya.
Hingga tersisalah Ivy sendirian di ruang makan. Ia membereskan semua peralatan makan dan membawanya ke dapur. Ia masih tidak bicara hingga semua pekerjaannya selesai. Dan setelah ia meletakkan piring terakhir yang selesai ia cuci, barulah kebimbangan itu datang.
“Apa aku harus menyusul mereka dan ikut bergabung dalam obrolan mereka? Atau sebaiknya aku langsung ke kamar aja? Tapi, kalau aku ke kamar begitu saja, bukankah itu artinya aku memberikan ruang bagi Kenan dan Tisa untuk menjadi semakin dekat?” gumam Ivy.
Padahal ia sudah merasa sangat lelah dan ingin langsung membaringkan tubuhnya. Namun, hatinya tidak tenang jika ia harus membiarkan Tisa dan Kenan menghabiskan lebih banyak waktu bersama tanpa adanya dirinya. Akhirnya, Ivy pun memutuskan untuk menghampiri ketiganya di ruang tamu. Ia membawa tiga cangkir lemontea sebagai alasan.
“Wah … tahu aja aku lagi haus. Baru juga mau aku susulin, Vy,” ucap Kenan, menyambut nampan yang Ivy bawa.
Ivy tersenyum simpul, dan segera menyajikan lemontea buatannya itu pada ketiga orang yang ada di sana.
“Haduh, malam-malam minum gula lagi. Kamu ini perawat loh. Tapi kok nggak melek sama kesehatan? Lupa kalau Oma ini sudah tua dan punya riwayat diabetes? Atau memang sengaja mau segera nyingkirin Oma dari sini?” ketus Oma, yang membuat senyum Ivy luntur seketika.
“Oma mau Tisa buatin greentea tawar aja? Mungkin Kak Ivy lupa, Oma. Nggak apa-apa, biar Tisa buatin greentea aja, ya? Sebentar,” ujar Tisa, lalu segera beranjak dari sana.
Ivy menelan salivanya kasar. Apapun yang ia lakukan akan selalu tampak salah di mata Oma, kan? Jadi seharusnya ia tak perlu ambil pusing dengan hal itu. Namun, nyatanya tetap saja sakit.
“Oma, aku-”
“Ya gitu, Ken. Makanya Oma berkali-kali nasihatin kamu buat nggak main-main kalau nyari istri. Karena nggak semua wanita yang wajahnya polos itu benar-benar tulus. Justru marak di luaran sana wanita yang seperti serigala berbulu domba,” Oma dengan nada sinis menyela ucapan Ivy.
“Oma, Ivy nggak bermaksud begitu. Maaf,” lirih Ivy.
“Nggak bermaksud apanya? Kamu kan orang kesehatan. Masa begitu aja nggak tahu, sih? Bilang aja kamu sengaja pengen Oma cepat mati, kan, biar kamu bisa bebas menguasai Kenan?” cecar Oma Ratu.
Ivy menggeleng. Sungguh, ia tak bermaksud sejauh itu. Lagi pula, riwayat penyakit diabetes Oma Ratu tidak separah itu sampai-sampai secanagkir lemontea bisa membuatnya tumbang begitu saja.
“Kenan, nanti bilangin Tisa ya, greentea-nya langsung antar saja ke kamar Oma. Oma udah nggak betah kalau harus lama-lama dekat dengan istri kamu itu,” ujar Oma, lalu beranjak pergi begitu saja tanpa mau mendengar jawaban dari Kenan dan Ivy.
Terdengar helaan napas panjang dari sampingnya yang membuat Ivy sontak menoleh ke arah sang suami. “Kamu tahu kan, Ken, kalau aku nggak ada maksud jahat ke Oma?”
“Tapi tetap saja seharusnya kamu hati-hati, Vy! Aku nggak nyalahin kamu. Tapi aku juga setuju sama Oma, kamu orang kesehatan. Masa nggak peka sama hal-hal sederhana kayak gitu? Entah apapun maksud kamu, seenggaknya harusnya kamu paham gimana sifat Oma. Jadi aku nggak bisa nyalahin Oma juga dalam kasus ini, karena memang kamu yang ceroboh.”
Sakit. Ternyata rasanya sesakit ini saat mendapati Kenan yang secara terang-terangan membela Oma Ratu tanpa mau mendengar penjelasannya.
Jika Kenan saja sudah berubah sederastis ini dan enggan mendengarkannya lagi, lantas, ke mana lagi Ivy harus bersandar dari lelahnya kehidupan sehari-hari?