SEKRETARIS BARU

1102 Words
Di depan sebuah makam dengan nisan bertuliskan nama Dera Wardhana, kini Bram tengah berdiri. Kedua matanya menatap lekat makam mendiang tunangannya itu. Bunga yang tadi Bram minta dari pak Toni sudah dia letakkan tepat di depan nisan. "Sayang, saya minta maaf karena saya sudah menikahi gadis lain. Tapi sungguh, saya melakukan itu karena terpaksa. Kondisi nenek belakangan ini memburuk. Beliau memaksa saya untuk menikah. Saya takut, kalau tidak saya turuti, kondisi kesehatan nenek akan semakin drop. Saya akan pastikan, dia tidak lama lagi akan segera meminta saya untuk menceraikannya. Dengan begitu, saya akan bisa kembali ke sisimu lagi," ucap Bram dengan begitu lembut. Berlawanan dengan saat dia bersama Naura. "Kalau saja kamu masih ada, mungkin sekarang kita sudah bahagia bersama anak-anak kita. Sayang sekali, kamu harus meninggalkan saya untuk selamanya. Ditinggalkan olehmu tiga hari sebelum pernikahan kita merupakan hal yang terberat bagi saya, Dera. Kamu pernah berjanji untuk selalu ada di samping saya, tetapi mengapa kamu mengingkari janji, Sayang? Apa saya kurang baik untuk kamu?" Bram menatap nisan Dera dengan tatapan sendu. Seolah dia memang benar-benar sedang berkomunikasi dengan wanita yang sudah menjadi kekasihnya selama delapan tahun itu. Perjalanan cinta Bram dan Dera cukup manis. Dera yang tidak hanya cantik, tetapi berhati lembut itu mudah dekat dengan siapapun. Hal itu yang membuat seluruh keluarga Bram menyukai gadis itu. Pernikahan mereka sudah dipersiapkan dengan matang. Tapi siapa yang bisa melawan takdir? Tiga hari sebelum janji pernikahan terucap, Bram menemukan kekasihnya tak bernapas lagi di kamarnya. Hari itu, seakan semua mimpi Bram telah usai. Dia tidak tahu apa yang bisa dia lakukan tanpa kehadiran seorang kekasih yang seperti Dera. Hingga Bram berniat untuk tetap menyendiri di sisa hidupnya. Dia tidak pernah menyangka kalau dirinya akan berakhir menjadi suami wanita yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Semua berawal saat neneknya mengajaknya pindah. Sebenarnya, jarak antara rumah lama Bram, dan rumah baru mereka tidak terlalu jauh. Itulah mengapa, dia masih bisa dengan mudah mengunjungi makam Dera. Ternyata di sana dia memiliki tetangga yang anaknya menunjukkan ketertarikan terhadapnya. Meskipun sudah bersikap dingin, gadis itu tidak menyerah juga. Hal itu menarik perhatian neneknya, dan mereka kemudian dijodohkan. Secara fisik, Naura tidak memiliki kekurangan. Dia berwajah cantik, dengan hidung mancung dan mata indah. Kulit wanita itu juga putih cerah. Tidak salah kalau Rohana menganggap Naura berlian yang berkilauan. Sayangnya, Bram tetap tidak tertarik padanya. Hati lelaki itu telah terkunci, dan rasanya akan sangat sulit untuk membukanya kembali. "Sayang, saya merindukanmu. Boleh saya minta untuk datang ke dalam mimpi saya sebentar saja? Saya ingin memeluk kamu untuk melepaskan semua beban kerinduan ini." Bram mengusap nisan Dera dengan penuh sayang. Kemudian, lelaki itu menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktunya sudah habis. Dia sudah harus berangkat ke perusahaan sebelum rapat dimulai. "Dera, saya harus ke kantor sekarang. Lain kali saya akan mengunjungimu lebih lama. Saya selalu sayang kamu, tidak ada yang berubah." Bram mengusap nisan Dera sekali lagi, sebelum akhirnya dia beranjak dari posisinya semula. Lelaki itu menatap makam itu beberapa saat. Setelahnya Bram berbalik dan melangkah pergi menuju dimana mobilnya diparkir. "Langsung ke kantor, Tuan?" tanya Toni sebelum bosnya itu masuk ke dalam mobil. "Iya, Pak. Langsung ke kantor saja." "Baik." Toni membungkuk patuh. Bram sudah masuk ke dalam mobil. Toni segera bergegas masuk dan duduk di belakang kemudi. Perlahan, mobil mewah itu dia bawa meninggalkan area pemakaman. Sepanjang perjalanan menuju kantor, Bram terus memandangi foto-foto Dera. Beban kerinduan itu begitu menyiksa. Rindu yang tak akan mungkin mendapatkan penawar. Menyiksanya, hingga rasanya Bram ingin menyerah. Saat mobil Lamborghini Huracan hitam itu berhenti di depan kantornya, Mega Wijaya Corporation, Bram segera turun. Beberapa karyawan membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormatnya pada Bram. Lelaki itu membalas dengan anggukan. Selanjutnya, dia berjalan dengan badan tegap, menampilkan wibawanya yang tidak bisa diremehkan. Saat hendak memasuki ruangannya, dia menemukan ruangan asisten pribadinya kosong. Bukan kosong karena tidak ada orangnya, tetapi kosong tanpa ada barang apapun di sana. Bram yang merasa tidak mendapatkan surat pengunduran diri dari asistennya itu tampak sangat kebingungan. "Maaf, Tuan. Pasti Tuan sedang kebingungan, mengapa Yuka tidak ada lagi di ruangannya. Tadi pagi, Nyonya besar menghubungi saya untuk memindahkan Yuka ke area pekerjaan yang lain. Posisinya akan digantikan oleh seseorang yang dipilih sendiri oleh Nyonya Besar." Bagas, kepala bagian personalia langsung menemui Bram untuk memberikan penjelasan. "Oh, begitu? Baiklah. Terima kasih untuk informasinya. Silakan lanjut bekerja." Bram berucap seperlunya. Dia tidak akan protes kalau itu sudah berhubungan dengan neneknya. "Baik, Tuan." Bagas segera pergi meninggalkan Bram. Lelaki itu memandangi ruangan Yuka sebentar, setelahnya dia menggeleng pelan dan masuk ke dalam ruangannya. Dia cukup terkejut saat melihat Rohana sudah ada di dalam. Dia tidak sendirian, wanita tua itu berdua dengan Naura. Wanita itu berpenampilan elegan, dan sopan. Berbeda dengan Yuka yang biasa mengenakan pakaian yang sedikit terbuka. "Darimana kamu?" Rohana langsung memberikan pertanyaan itu pada Bram. Raut wajahnya begitu tenang. "Menjenguk Dera. Kenapa nenek tiba-tiba memindahkan Yuka? Dia sudah terlatih dan bisa diandalkan. Bukankah sekretaris baru berarti saya harus mengajarinya dulu? Ini akan sulit, Nek." Bram langsung protes. Dia tidak mau membuang waktunya mengajari karyawan baru. Apalagi Yuka sudah hampir sepuluh tahun menjadi sekretarisnya. "Nenek tidak masalah kamu masih mengenang Dera, tetapi dia sudah meninggal. Buka lembaran baru. Kamu sudah berjanji pada nenek untuk belajar menerima dan mencintai Naura. Soal Yuka, dia nenek pindahkan ke bagian lain yang sama-sama menguntungkan untuk dia. Mulai sekarang Naura yang akan menjadi sekretaris kamu. Mengajari dia sama saja pendekatan. Kamu akan lebih cepat jatuh cinta sama dia kalau waktumu bersama dia lebih banyak." Bram menghela napas. Dia tentu tidak suka dengan ini. Kalau Naura menjadi sekretarisnya, itu berarti dia akan menghabiskan banyak waktu dengan gadis bawel itu. "Nek, kenapa harus dia? Pendekatan bisa saya lakukan saat berada di rumah. Saya tidak mau kerepotan melatih dia di sini. Pekerjaan saya sudah sangat menumpuk." Bram berusaha menyuarakan apa yang ada di dalam hatinya. Dia berharap sang nenek mau mempertimbangkan lagi penggantian Yuka dengan Naura. "Kamu itu bukan sehari dua hari bekerja di kantor ini, Bram. Kamu juga bukan tipe pria manja yang apa-apa mengandalkan sekretaris. Jadi tidak usah berakting seolah ini sulit buat kamu. Keputusan nenek sudah final. Kamu harus menerima ini." Kalau sudah begini, dia bisa apa selain pasrah? Bram memang menolak Naura, tetapi dia tidak bisa menolak keinginan neneknya. Dia sangat menyayangi Rohana. Kalau tidak ada wanita itu, mungkin dia tidak akan bisa menjadi seperti sekarang. Mengingat kedua orang tua Bram yang pergi meninggalkannya begitu saja setelah dia lahir ke dunia. "Baiklah. Kalau itu mau Nenek. Bram akan menerimanya," putus Bram pada akhirnya. Dia akan membuat perhitungan dengan Naura nanti. Asal Rohana melihat kalau dirinya mau menerima apa yang sudah diputuskan oleh wanita tua itu. "Bagus!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD