Suasana begitu mencekam saat Rohana sudah keluar dari ruangan itu. Kalau bisa memilih, Naura tidak ingin berada dalam ruang kerja Bram seperti sekarang. Dia setuju dengan pendapat nenek Bram yang mengatakan bahwa mereka akan lebih cepat akrab kalau sering menghabiskan waktu bersama. Tapi tidak secepat ini. Walaupun dia sangat menyukai Bram, dia tetap memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan status baru mereka.
"Sampai kapan kamu akan memanfaatkan kebaikan nenek saya untuk menekan saya? Kamu sengaja meminta nenek saya untuk memberi kamu posisi ini supaya bisa memata-matai saya, kan? Picik sekali!"
Bram mengatakan itu tanpa senyum sama sekali. Lelaki itu duduk di pinggiran meja kerjanya, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana slim fit hitam yang dia kenakan.
Naura menatap Bram dengan berani. Dia tidak akan tinggal diam kalau dirinya tidak bersalah. Wanita itu tidak pernah menghasut nenek mereka. Rohana sendirilah yang berinisiatif untuk mempekerjakan Naura di kantor Bram.
"Mas, aku nggak pernah memanfaatkan kebaikan nenek. Bekerja di kantor ini juga bukan kemauan aku. Mas tahu sendiri, kan? Aku punya pekerjaan tetap di kantor om Utomo. Buat apa juga aku memata-matai Mas? Sesekali seharusnya mas berpikiran positif terhadapku. Bukan hanya asal menuduh."
Naura tidak mau kalah. Dia tidak terima karena Bram menuduhnya memanfaatkan kebaikan nenek mereka. Padahal dia sudah menolak berkali-kali untuk itu. Hanya saja, Rohana tidak mau menerima penolakan yang dia sampaikan. Dia tetap bersikeras untuk menjadikan Naura sebagai sekretaris pribadi Bram.
"Seharusnya kita memang tidak perlu bertemu. Dengan begitu kita tidak perlu dijodohkan. Asal kamu tahu saja, melihat wajah kamu saja membuat saya mual. Apalagi harus setiap saat bersama kamu seperti ini." Bram berucap dingin. Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk duduk di kursinya.
"Ya ... kalau memang tidak mau melihat wajahku gampang saja, Mas. Mas tinggal memejamkan mata setiap akan bertemu atau berurusan denganku. Mudah kan?" Naura mengatakan itu dengan hati dongkol. Dia cukup kesal dengan ucapan Bram sebelumnya. Seolah-olah dirinya terlalu menjijikkan di mata Bram.
"Kamu ini benar-benar!" Bram menatap Naura dengan tatapan tidak suka.
Naura justru menghampirinya. Wanita itu menyondongkan tubuhnya ke arah Bram.
"Mas, ini masih pagi. Lebih baik Mas mulai bekerja. Tadi Mas yang bilang sendiri kalau pekerjaan Mas menumpuk, bukan? Jangan sampai karena ini Mas jadi kehabisan banyak waktu untuk hal yang tidak perlu. Terus juga sebaiknya Mas jangan kebanyakan mengomel, nanti darah tinggi. Mas itu belum tua-tua amat, jangan sampai kena serangan jantung. Aku ke ruanganku dulu ya, Mas. Kalau perlu apa-apa langsung panggil saja."
Setelah mengatakan itu, Naura berbalik dan melangkah pergi menuju ke arah pintu keluar dari ruangan Bram. Tidak peduli dengan yang lebih tua sedang menatapnya dengan tatapan tajam.
"Naura!" panggilnya kemudian.
"Ya, Mas?" Naura menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bram.
"Jangan ada satupun karyawan pun yang tahu kalau kita sudah menikah."
"Dengan senang hati, Mas."
Setelah menjawab dengan ekspresi gembira, Naura segera melanjutkan langkahnya. Dia keluar dari ruangan Bram dan menutup pintunya dengan hati-hati.
Sepeninggal Naura, Bram memijat keningnya. Dia tidak sedang pusing, tetapi kegiatan itu dirasanya perlu untuk dilakukan. Bram tidak habis pikir, mengapa ada manusia 'ajaib' seperti Naura di dunia ini.
"Dia benar-benar wanita sinting! Bisa-bisanya dia membantah semua yang saya katakan. Ini semua gara-gara nenek. Kalau saja bukan karena bentuk rasa sayang saya terhadap nenek, saya tidak akan mau menikahi wanita seperti dia."
***
"Oh, jadi itu istri kamu? Cantik, Bram. Pintar juga nenek kamu mencarikan istri," puji Reno, sahabat Bram.
Mereka berdua sengaja melakukan pertemuan di kantin kantor Bram. Menikmati secangkir kopi sambil bincang-bincang santai. Reno merupakan sahabat sekaligus orang yang Bram percaya.
"Saya akui, dia memang cantik. Tapi tetap saja, saya tidak bisa menerima dia dihidup saya. Kamu juga tahu, siapa wanita yang saya cintai, Ren." Bram menyeruput kopi yang ada di cangkirnya setelah itu.
"Dera lagi? Astaga! Sampai kapan, Bram? Dera itu sudah meninggal. Kamu harus belajar melupakan dia, dan melanjutkan hidup kamu bersama wanita lain." Reno memberikan sarannya. Lelaki itu merasa kalau dia memang berhak untuk mengingatkan Bram, supaya sahabatnya itu tidak terus terpaku pada masa lalu.
"Kalau kamu tanya sampai kapan, jawabannya ... mungkin seumur hidup saya, Ren. Dera sudah membawa pergi kunci hati saya. Lagi pula, saya yakin akan baik-baik saja meskipun hidup tanpa cinta."
Reno sudah menduga kalau jawaban Bram pasti akan seperti itu. Dia merupakan salah satu saksi, bagaimana Bram begitu mencintai Dera saat wanita itu masih hidup.
"Kalau begitu, ceraikan saja Naura. Buat apa kamu terus mengikat dia, kalau jelas-jelas perasaan kamu bukan untuknya. Dia makhluk hidup yang butuh bahagia, Bram."
Bram menggeleng.
"Tidak bisa, Ren. Saya melihat nenek saya sangat bahagia sejak kehadirannya. Menceraikan Naura sama saja membunuh harapan nenek saya. Saya tidak akan pernah menceraikan Naura. Kalau memang kami berpisah, harus dia yang meninggalkan saya."
"Kamu jatuhnya egois, Bram. Kamu mempertahankan Naura hanya untuk menyenangkan nenek kamu, lalu siapa yang menjamin kebahagiaan dia? Bukankah kamu pernah bilang kalau Naura itu hidup sebatang kara? Apa kamu tidak punya hati nurani melakukan semua ini, Bram?"
Bram belum lupa, dia memang pernah bercerita pada Reno soal latar belakang kehidupan Naura. Sungguh itu tidak menyentuh hati kecilnya. Naura sendiri yang datang ke dalam kehidupannya. Bram berpendapat kalau kebahagiaan wanita itu tentu saja itu tanggung jawabnya sendiri.
"Dia yang mau menikah denganku. Kalau saja waktu itu dia menolak, keadaan ini tidak akan pernah terjadi, Reno. Ibaratnya, dia itu seperti udang yang masuk sendiri ke wajan yang penuh dengan minyak panas." Setelah mengatakan itu dengan ekspresi dingin, Bram kembali menyeruput isi cangkirnya.
"Aku harap kamu tidak akan pernah menyesal pernah mengatakan ini, Bram. Seharusnya kamu sadar kalau pemikiran kamu yang seharusnya diperbaiki. Boleh kamu mengenang seseorang yang kamu cintai, tetapi lihatlah dulu kondisinya. Tetap meratapi Dera yang sudah meninggal, dan menyia-nyiakan perempuan seperti Naura merupakan perbuatan yang tidak bisa diterima. Jangan sampai kamu menyadari ini di saat Naura sudah lelah dan memilih pergi darimu."
Reno berusaha mengingatkan. Dia berharap Bram mau mendengarkan pendapatnya. Tapi yang terlihat, sepertinya lelaki itu tidak peduli dan tetap memegang teguh prinsipnya sendiri.
"Seingat saya, saya tidak pernah menyesal selama ini. Satu-satunya penyesalan yang saya rasakan tentu saja saat saya tidak tahu apa-apa soal sakit yang diderita oleh Dera."
Reno menghela napas. Dia tampak begitu putus asa menghadapi sahabatnya itu.
"Ya sudah, terserah kamu saja, Bram. Tapi ingat, jangan menyesal saat Naura sudah lelah. Karena terkadang kesempatan itu nggak datang dua kali," ucapnya kemudian. Berharap pintu hati Bram terketuk, walau itu seakan mustahil. Cinta buta sudah membuat Bram kehilangan akal sehat.