Naura yang bangun kesiangan langsung menuju dapur. Di sana, ada Rohana yang tengah menikmati secangkir teh hangat di kursi yang sepertinya memang sudah dikhususkan untuknya. Sementara Minah, asisten rumah tangga di rumah itu tampak sedang sibuk memasak.
"Selamat pagi, Nek. Naura minta maaf, ya. Hari pertama menjadi istrinya om Bram malah kesiangan." Wanita berusia dua puluh lima tahun itu membungkukkan badannya beberapa kali di hadapan Rohana.
"Selamat pagi, Sayang. Tidak perlu minta maaf, nenek tahu ... semalam kamu pasti sudah bekerja keras. Lihatlah mata pandamu, itu terlihat begitu jelas," ucap sang nenek dengan sedikit berbisik.
Naura tersenyum malu-malu.
Ya, semalam Naura memang sudah bekerja keras. Dia berusaha mati-matian untuk bisa tidur. Setelah penolakan, dan perlakuan kasar Bram terhadapnya, wanita itu terus saja menangis. Hingga matanya enggan untuk terpejam.
"Kamu ini, sudah menikah dengan Bram, tetapi masih memanggilnya dengan embel-embel om. Panggil dia mas dong, Sayang." Rohana mengingatkan. Sementara bulu kuduk Naura langsung berdiri.
Bisa dicincang dia oleh Bram kalau sampai berani memanggilnya dengan panggilan seperti itu.
"Ahaha, baik, Nek. Naura akan usahakan."
"Duduk sini, temani nenek minum teh. Minah, tolong buatkan teh lagi untuk cucu menantuku!"
"Baik, Nyonya." Perempuan yang dipanggil dengan sebutan Minah itu menyahut dari arah dapur.
Naura yang diminta untuk duduk pun patuh. Dia duduk di kursi yang berada di seberang meja, berhadapan dengan Rohana.
"Om ... eh, mas Bram kemana, Nek?" tanyanya kemudian.
Naura yang sejak bangun sudah tidak menemukan keberadaan Bram, penasaran dengan keberadaan lelaki itu.
"Tuh!" Rohana menunjuk ke arah jendela.
Naura bisa melihat jelas kalau di sana ada Bram yang sedang berlari di atas treadmill. Lelaki itu hanya mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan berwarna putih. Ini pertama kalinya Naura melihat Bram berpakaian terbuka. Dia tidak menampik kalau suaminya itu memang sangat seksi.
"Ehm!" Rohana mendehem. Dia sengaja melakukan itu untuk membuat Naura berkedip.
Rupanya terpesona terhadap Bram membuatnya terfokus pada lelaki itu.
"Ma-maaf, Nek." Naura langsung menunduk.
"Hei, kenapa menunduk? Tidak apa-apa, Sayang. Nenek malah senang, ada yang mencintai Bram sampai seperti ini," ucap Rohana seraya tersenyum.
"Silakan tehnya, Nona Muda," Minah meletakkan secangkir teh di hadapan Naura.
"Terima kasih banyak, Mbak." Naura membalas tak kalah ramah.
Minah segera berlalu dari sana.
"Naura juga nggak tau kenapa bisa sampai suka banget sama mas Bram." Naura mengakui itu. Sudah lama dia terbuka soal perasaannya pada lelaki yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya itu.
Rohana mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan sang cucu menantu. Tatapan matanya mengarah ke Bram.
"Bram itu sudah terlalu lama mengasingkan diri dari para wanita. Makanya nenek bersikeras untuk membawanya pindah ke sini. Beruntung ada kamu yang langsung jatuh cinta dengan Bram. Rasanya nenek seperti menemukan bongkahan berlian." Rohana mengatakan itu dengan tatapan masih mengarah ke Bram.
"Kematian Dera merenggut seluruh cinta Bram. Dia berubah menjadi pribadi yang dingin. Tiga hari sebelum mereka menikah, Bram sendiri yang menemukan Dera tak bernyawa di kamarnya. Gadis itu meninggal karena kanker darah yang sudah dia rahasiakan dari Bram dan semua orang selama bertahun-tahun." Naura bisa melihat dengan jelas kalau mata neneknya sekarang berkaca-kaca.
Naura juga bisa ikut memandangi Bram. Dari cerita itu, dia bisa ikut merasakan sakit yang dialami oleh lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Wajar saja kalau Bram sampai mengatakan kalau seluruh hatinya sudah dia berikan pada Dera, tunangannya yang sudah meninggal itu.
"Kasihan ya, mas Bram. Dia pasti terpukul banget sampai nggak bisa buka hati buat siapa-siapa." Naura berkomentar.
"Begitulah, Naura. Bram bahkan pernah bilang ke nenek kalau dia tidak mau menikah selamanya. Menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja, dan bekerja."
Naura trenyuh mendengarnya. Dia bertekad untuk bisa mengembalikan Bram seperti semula. Walaupun itu sulit, dia akan berusaha sekuat tenaganya.
"Nenek tenang saja, Naura pasti bisa membuat mas Bram jadi pribadi yang hangat lagi. Nenek percaya sama Naura, kan?"
Rohana memandangi cucu menantunya beberapa saat, lalu dia mengangguk. Padahal Naura sendiri tidak tahu, bagaimana cara meluluhkan hati Bram yang telah membatu.
"Ya. Nenek percaya kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Bram. Jaga dia dengan baik, Naura. Nenek nantinya akan bisa pergi dengan tenang kalau Bram sudah memiliki pendamping."
"Nek ... jangan bicara seperti itu. Umur nenek masih panjang. Bukankah nenek ingin melihat aku sama mas Bram punya anak?"
Rohana tersenyum, kemudian dia kembali tersenyum.
"Terima kasih, Sayang. Kamu benar-benar permata hati kedua nenek."
Naura dan Rohana menikmati teh mereka sambil terus membicarakan banyak hal. Naura sadar, ini bukan akhir. Hari pertamanya menjadi istri Bram Kusuma Wijaya merupakan awal dari perjuangannya.
***
"Mas ... ini baju yang akan Mas gunakan ke kantor," ucap Naura sopan, sambil meletakkan beberapa potong pakaian yang sudah dia setrika rapi di atas ranjang yang juga sudah dia rapikan.
Bram memandangi kemeja berwarna biru muda yang sudah disediakan oleh Naura beberapa saat. Setelahnya, dia melayangkan tatapan setajam elang ke arah istrinya itu.
"Siapa yang kasih izin kamu untuk sentuh kemeja biru itu? Itu pemberian Dera, tidak ada orang lain yang boleh menyentuhnya selain saya. Lain kali jangan lancang!" Bram mendorong kening Naura dengan telunjuknya lumayan keras.
Sakit?
Tentu saja.
Tapi Naura tidak akan menyerah. Dia akan tetap berusaha untuk meluluhkan hati Bram.
"Maafkan aku, Mas. Lain kali aku akan lebih teliti. Aku akan bertanya sama Mas apa yang boleh dan tidak boleh aku sentuh." Naura berkata dengan lembut.
"Keluar! Saya mau ganti baju. Apa kamu segitu inginnya melihat saya telanjang dengan cara terus berada di kamar ini?"
"Ma-maaf, Mas." Naura langsung berjalan cepat ke arah pintu kamar.
"Tidak usah menyiapkan sarapan buat saya, saya tidak mau nafsu makan saya hilang karena ada bau tanganmu di piring saya." Bram lagi-lagi berucap dengan dingin.
"Iya, Mas. Aku paham." Naura meneruskan langkahnya, hingga dia menghilang di balik pintu.
"Dia pikir, dia akan bisa meluluhkan saya? Jangan harap, Naura! Saya akan membuat kamu meminta cerai dari saya secepat mungkin." Bram bermonolog.
Lelaki itu kemudian mengambil ponselnya yang tadi dia letakkan di atas nakas. Setelah memilih kontak yang akan dihubungi, Bram memutuskan untuk melakukan panggilan.
"Pak Toni, belikan saya bunga yang seperti biasa. Iya, bunga kesukaan Dera. Kita ke makam Dera dulu sebelum ke kantor. Iya. Tidak masalah. Rapat itu sudah saya serahkan kepada sekretaris saya untuk menghandle sementara waktu. Oke. Terima kasih."
Bram menghela napas. Dia lalu meletakkan benda pipih persegi panjang itu ke tempatnya semula.
"Sayang, saya datang sebentar lagi. Tunggu saya, ya."