CHAPTER DUA BELAS : The Orphanage (1)

1563 Words
             “Hm. Ngasal deh dia,” cetus Marshanda setelah tawa mereka berdua mereda. Hatinya sungguh tak ingin membantah, cara bicara Bianca yang kerap ceplas-ceplos ini adalah salah satu hal yang ia rindukan dari dari bekas teman sekamarnya itu.              “Sha,” panggil Bianca kemudian.              “Ya?” sahut Marshanda.              “Sorry ya, kalau aku harus menegaskan hal ini. kamu harus melupakan mantanmu. Titik. Dari semua jenis kekurangan dia, yang nggak tegas, lah yang ini lah, itulah..., satu yang paling nggakbisa untuk dimaafkan. Kamu tahu apa?” tanya Bianca.               Marshanda diam saja.              “Dia nggak pernah mencarimu. Itu! Padahal coba pikir, dengan uang yang dia punya, dengan networking-nya, masa dia nggak bisa menemukanmu, minimal menyuruh orang buat mencarimu. Sorry to say, Sha, he is not decent to you,” ucap Bianca lugas.               Andai Marshanda tengah minum, pasti dia tersedak barusan.              “So, open your heart for a new love, for someone new. Promise me?” ucap Bianca kemudian.               ‘Fix. Ini artinya aku benar-benar nggak boleh bercerita soal Tante Grizelle,’ batin Marshanda.              “Pokoknya, kamu berhak dan harus bahagia. Eh, aku tidur dulu, ya, besok pagi ada meeting. Terima kasih sudah mendengarkan curhat dari aku. Keep contact ya sama aku. Nite, nite, sleep tight,” ucap Bianca dia antara kuapnya.               Marshanda melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam waktu Jakarta. Artinya, pukul setengah satu malam waktu Singapura.              “Okey Bi. Thanks for calling, ya. Kamu juga, keep contact, ya. Nite, Bi. Sleep tight,” balas Marshanda.               Panggilan video pun berakhir setelah keduanya saling berdadah-dadah dan saling melakukan kiss bye.              Ketika Marshanda hendak meletakkan telepon genggamnya, dia mendapati ada beberapa pesan teks yang masuk. Diamatinya satu demi satu. Ada beberapa yang terkait urusan pekerjaan, tetapi sisanya adalah pesan pribadi, salah satunya dari Bu Grizelle.              Segera Marshanda membaca pesan tersebut.              From : Tante Grizelle              Sha, maaf mengganggu waktumu. Tadi Tante berusaha menghubungi kamu tetapi kelihatannya kamu sedang on the line. Besok kita ketemu di kantor kamu?              Marshanda memperhatikan waktu dikirimnya. Ia mendapati, pesan itu rupanya terkirim saat dirinya baru saja menerima panggilan video dari Bianca.              Marshanda menimbang sesaat, sopankah apabila dirinya mengirimkan pesan sekarang, di saat larut malam begini. Ia khawatir Bu Grizelle tidak mematikan telepon genggamnya dan menjadi terkejut kala mendapat ada notifikasi pesan masuk darinya.              “Tapi kalau aku kirim besok pagi, takutnya terlalu terburu-buru. Sudahlah, ako coba kirim. Semoga saja telepon genggamnya Tante Grizelle sudah dimatikan. Dengan begitu, besok pagi Tante bisa membaca isi pesanku,” gumam Marshanda.              Berpikir demikian, Marshanda memantapkan hatinya untuk mengetik sebuah pesan.              To : Tante Grizelle              Selamat malam Tante Grizelle, maaf saya baru membaca pesan dari Tante. Kalau Tante tidak keberatan, bagaimana kalau kita ketemu di apartemen saya saja? Terima kasih sebelumnya.             Jari Marshanda menggulir ikon send.             Siapa sangka, dalam jangka waktu satu menit, pesan masuk dari Bu Grizelle sudah diterimanya.              From : Tante Grizelle             Oke, Sha. Nggak masalah. Ketemu di tempatmu ya. Selamat beristirahat.              Marshanda terkesiap.             “Astaga! Si Tante belum tidur,” ia menepuk jidatnya.              Segera Marshanda mengetik sebuah pesan balasan.             To : Tante Grizelle             Terima kasih, Tante Grizelle. Selamat beristirahat.              Usai mengirimkan pesan tersebut, sebuah pesan lain menarik perhatian Marshanda. Mata Marshanda langsung berbinar membaca nama pengirimnya. Tak sabar, dibukanya pesan tersebut.               From : Mbak Edgina              Hai Marsha sayang, apa kabarmu? All good? Jaga kesehatan terus, ya. Dan ingat, mengejar berkat materi juga harus seiring dengan mengejar berkat rohani, ya. Tuhan memberkati.              Marshanda tersenyum.              “Mbak Edgina. Ya ampun, kangen banget rasanya. Anaknya sudah sebesar apa sekarang? Kenapa pas banget, ini? Mbak Edgina itu sudah lumayan lama nggak berkabar,” gumam Marshanda lagi.              Marshanda memutuskan mengetik sebuah pesan teks untuk Mbak Edgina.              To : Mbak Edgina              All  is good, Mbak Edgina. Praise the Lord. Wish you the same thing, Mbak. Kangen banget sama Mbak Edgina. Kalau suatu saat main ke Jakarta, kita ketemuan, ya. Salam buat keluarga, Tuhan memberkati.              Pesan terkirim, tetapi baru bercentang satu. Kemungkinan besar, telepon genggam Mbak Edgina sedang dalam keadaan off.              Marshanda segera mematikan perangkat telepon genggamnya lantas berdoa malam.              Namun seusai Marshanda berdoa, dia tidak segera dapat tidur. Ia berusaha memejamkan mata. Namun rasa kantuk yang diundangnya, belum kunjung datang juga meski dirinya telah merebahkan badannya di atas peraduan empuknya. Peraduan empuk, yang tentu saja dibeli dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Ya, sejauh ini, rasanya semua yang ia nikmati, tidak ada yang ia dapatkan secara cuma-cuma. Segalanya melalui perjuangan. Ya, perjuangan yang diberkati oleh Tuhan.              “Apa mungkin karena aku terlalu gembira hari ini? Atau terlalu bersemangat sekaligus dag dig dug membayangkan esok?” tanya Marshanda kepada dirinya sendiri.              ‘Satu persatu orang dari masa lalu, memberikan kabar baik. Ya Tante Grizelle, ya Bianca, ya Mbak Edgina. Tapi terutama Mbak Edgina...! Oh, I 'm blessed, I'm so blessed, 'pikir Marshanda.               Sosok Mbak Edgina, tentu saja tak dapat ia pisahkan dari kenangan tentang panti asuhan ‘Karunia Bersaudara’.               Tak ayal, pikiran Marshanda melayang pada bangunan yang sekian tahun menjadi tempat perlindungannya. Bangunan yang dipenuhi dengan kehangatan cinta kasih serta perhatian ‘triple E’.               -          Kilas Balik -                Sebagaimana rutinitas hariannya sebelum masuk ke kamarnya sendiri untuk beristirahat, malam itu Ibu Evelyn berkeliling melintasi koridor di depan deretan kamar anak-anak asuhnya. Ia mengecek apakah semua lampu telah mati dan anak-anak yang tinggal di panti asuhan tersebut telah beristirahat. Sesuai harapannya, semua lampu kamar telah mati. Keadaan juga relatif sunyi.               Namun ketika dia melintasi kamar paling ujung, ia mendengar ada isakan tertahan.               Ibu Evelyn menghentikan langkahnya dan menguak daun pintu kamar dengan amat pelan. Keadaan yang gelap gulita di dalam kamar, tidak memungkinkan dirinya untuk tahu, siapa yang menangis di dalam kamar yang berisi dua buah ranjang susun dengan masing-masing tiga tempat tidur tersebut.               “Itu pasti Marsha. Kasihan. Dia pasti sedih karena ditinggalkan sama Krizia dan Felia, hari ini,” gumam Ibu Evelyn sambil mencari asal suara.               Tepat apa yang dipikirkan oleh Ibu Evelyn.               Ibu Evelyn berjongkok dan mendekati Marshanda yang duduk menelungkupkan wajahnya ke lutut, lalu menyentuh rambut Marshanda dengan lembut.               “Marsha Sayang, kenapa kamu menangis? Sini, Sayang,” bisik Ibu Evelyn lembut, sembari menggenggam tangan mungil Marshanda.               Marshanda menengadahkan wajahnya.              “Bu, mengapa nggak satu pun yang mau mengambil Marshanda sebagai anak? Apa karena Marshanda terlalu kurus? Lalu, mereka menganggap Marshanda ini punya penyakit tertentu, semacam penyakit berbahaya yang hanya akan menimbulkan masalah buat mereka? Mengapa Marshanda harus lahir di dunia kalau Marshanda harus menjalani hidup Marshanda seorang diri?” tanya Marshanda pelan, bersama tatapan sedihnya yang menyapu ranjang susun yang kosong, tak lagi ditempati oleh Krizia dan Felia, dua dari lima teman sekamar yang telah menjadi sahabat akrabnya.              ‘Ditinggal satu teman saja sudah begitu berat. Ini, sekaligus dua, di hari yang sama. Dan kenapa selalu teman-teman yang paling dekat dengan aku, yang mendapatkan keluarga yang baru? Aku ini kenapa?’ ratap Marshanda pilu, di dalam hatinya.                “Ikut Ibu, yuk. Supaya teman-temanmu yang lainnya nggak kebangun,” bisik Ibu Evelyn.                 Marshanda mengangguk, menuruti perkataan Ibu Evelyn. Ia segera bangkit berdiri.                Ibu Evelyn mengusap sisa-sisa air mata di wajah gadis kecil itu, lantas menuntunnya keluar dari kamar.               Selalu saja begitu. Setiap kali ada teman sekamar yang dijemput oleh keluarga baru mereka di siang atau sore hari, pasti malamnya Marshanda akan menangis pilu, meratapi nasibnya yang ditinggalkan.               Ibu Evelyn dan Marshanda terus berjalan, menuju rumah yang tepat berada di belakang bangunan panti. Di rumah itu lah, Ibu Evelyn tinggal.               “Duduk sini, Sayang. Ibu mau menunjukkan sesuatu sama Marsha,” ucap Ibu Evelyn setelah mereka tiba di kamar yang ditempti oleh Ibu Evelyn.               Marshanda duduk di tepi pembaringan. Ini bukan pertama kalinya dia ‘mendapatkan kehormatan’ untuk tidur di kamar  sang pendiri panti asuhan ‘Karunia Bersaudara’. Bisa dikatakan, setiap kali kehilangan teman sekamar yang terus-menerus berganti orang sementara dirinya menjadi ‘penghuni paling lama’ di kamar tersebut, pasti ke kamar inilah dirinya dibawa oleh Ibu Evelyn.                Biasanya, pasti Ibu Evelyn akan menciumi kepala Marshanda dan menghiburnya.               Tetapi malam ini sedikit berbeda. Marshanda merasakannya.               Ibu Evelyn mengelus kepalanya dan mendekap tubuh kurus Marshanda, lalu melangkah ke lemari dan mengambil sesuatu dari sana.               “Marsha Sayang, siapa yang mengatakan bahwa Marsha sendirian? Di sini semuanya sayang sama Marsha. Ibu sungguh mengerti dan bisa merasakan, kalau terkadang Marsha merasa ditinggalkan oleh teman-teman yang diangkat anak oleh pengunjung panti. Itu wajar, Sayang. Tapi Marsha tahu tidak, Ibu juga pernah mengalami kehilangan, ditinggalkan oleh orang-orang yang Ibu cintai,” kata Ibu Evelyn yang duduk di sisi Marshanda.               “Maksud Ibu?” tanya Marshanda tak mengerti.               Ibu Evelyn lantas menunjukkan kepada Marshanda album berisi foto mendiang suami dan kedua anaknyayang tadi diambilnya dari lemari. Orang-orang tercinta yang meninggalkan wanita penuh kasih itu secara tiba-tiba. Perlahan, Ibu Evelyn membukanya halaman demi halaman.                “Lihat ini Sayang, ini foto suami dan anak-anak Ibu. Mereka bertiga meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat sekitar enam tahun lalu. Kejadian yang amat tiba-tiba dan mengguncang perasaan Ibu. Yang lebih membuat Ibu sedih, jasad mereka bertiga saja ditemukan dalam keadaan yang tidak utuh, Marsha sayang. Itupun, setelah melalui pencarian yang berbulan-bulan,” tutur Ibu Evelyn dengan pandangan menerawang.                Begitu melihat Marshanda menatap dirinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ibu Evelyn langsung menyadari, itu sebuah isyarat bahwa Marshanda siap untuk menyimak kelanjutkan kisahnya.                Maka Ibu Evelyn pun memejamkan mata sesaat, seperti hendak menghalau sebersit rasa perih yang menyelinap di benaknya, sekaligus menyiapkan hatinya, menghantarkan sekelumit kisah hidupnya.                                                                                                                                                                   - Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD