CHAPTER SEBELAS : Ex Room-Mate (4)

1581 Words
                “Tolong kasih aku waktu, Sha. Ini nggak boleh berakhir. Enggak! Aku nggak mau kita putus,” tandas Devanno dengan bibir bergetar.                 Marshanda memejam mata. Ia mengembuskan napas dengan berat.                “Dev, aku nggak mau hubungan kamu sama Tante Grizelle makin memburuk. Aku nggak mau kamu terluka lagi, atau kita melukai perasaan orang-orang di sekitar kita. Kita nggak boleh egois dan hanya mikirin diri kita sendiri, Dev,” ucap Marshanda dengan berat hati.                “Sha, jangan begini. Kamu ngomong apa, sih?” keluh Devanno frustasi.                “Dev, sudahlah, Dev..,” sahut Marshanda pelan.                 Devanno menggeleng.                “Sha, kamu cuma lagi tersinggung berat. Jangan pernah memutuskan apa pun pada saat keadaan hati kamu sedang sedih, Sha. Maafkan Mama, ya. Maafkan aku, seharusnya tadi aku nggak membiarkan kamu masuk ke rumahku sendirian. I am so sorry, Sha. Sebaiknya kamu tenangin hati kamu dulu saja. Jangan terlalu dipikirkan, apa yang kamu dengar tadi,” ucap Devanno menghibur. Persis seperti yang sudah-sudah.                Di telinga Marshanda, apa yang didengarnya dari mulut Devanno itu terlampau optimis, bahkan cenderung mendekati sebuah khayalan belaka. Dan dia sama sekali tidak setuju, kali ini.               ‘Sia-sia ngomong sama kamu, Dev. Aku yang harus bertindak, mengambil jalan terbaik demi kebaikan semuanya,’ tekad Marshanda dalam hati.                 Rasa sungkan dan hormat yang Marshanda miliki terhadap Bu Grizelle, membuat diri Marshanda senantiasa memaklumi kekurangan Bu Grizelle, juga kebesaran hatinya menerima betapa Devanno sungguh menghormati sang Mama. Marshanda sungguh tidak ingin merusak hubungan ibu dan anak itu.                 Dan bermula dari sana, akhirnya Marshanda konsisten mengambil jarak dengan Devanno, sebelum akhirnya menghilang tanpa pesan.                 Dalam pedih hati lantaran perpisahannya dengan lelaki yang ia cintai, sang cinta pertamanya, orang yang pertama kali memperkenalkan dirinya dengan sebuah perasaan cinta kepada lawan jenis, Marshanda berusaha keras untuk meyakini, pasti ada seseorang yang lain buat dirinya, dan seseorang yang lain untuk Devanno.                 Seringkali, di akhir renungan malamnya sebelum tidur, seolah terulang teguran keras yang menuntut Marshanda agar memantapkan hati, menerima peluang yang menghampirinya, kesempatan emas yang takkan datang dua kali dalam hidupnya, yang menuntut untuk dibayarnya dengan sikap keras pada diri sendiri. Apalagi kalau bukan tawaran beasiswa itu?                 Maka Marshanda memantapkan hatinya menghadapi realita yang terbentang di hadapannya, sebagai konsekuensi atas keputusannya mengakhiri percintaan dengan Devanno. Ia begitu gigih, tidak memberikan secuil pun tempat bagi sebuah rasa bernama cengeng di hatinya, mengingat berbagai kesusahan hidup yang telah menempanya selama ini.                 -          Akhir Dari Kilas Balik -                 Kecaman Bianca terhadap sang mantan, membersitkan kembali rasa pedih yang tiada terelekkan, di benak Marshanda. Mau tak mau, itu mengenangkan dirinya pada gambaran berakhirnya jalinan kasih antara dirinya dengan sang pujaan hati, Devanno, beberapa tahun yang silam.                 Marshanda menggeleng pelan.                 ‘Kamu keliru Bi, menurutku, Devanno sudah cukup memperjuangkan hubungan kami. Bahkan saat aku  sudah menyerah dan berpikir bahwa segala sudah tuntas, nyatanya enggak begitu dengan dia. Devanno terus berusaha meyakinkan diri aku, bahwa dia dan aku hanya perlu bersabar. Devanno percaya, suatu saat hati Tante Grizelle pasti lumer melihat kesungguhan kami berdua. Aku, aku yang saat itu demikian ragu dan nggak rela Devanno harus menempuh kesulitan seperti yang Mas Juna alami. Aku terlalu mencintainya, Bi,’ batin Marshanda.                 “Marsha, kamu tuh terlalu baik, tahu nggak! Dulu saja kamu memaksakan keputusan yang super berat buat kalian berdua. Alasanmu itu lho, ajaib banget, nggak bisa aku terima. Kamu putus sama dia hanya gara-gara nggak sanggup melihat si mantan tercintamu itu terus menghadapi dilema. Kamu tuh, terlalu pengertian sih, orangnya. Jadinya kamu yang paham si mantanmu itu begitu mencintai kamu dan berkeras memperjuangkan hubungan percintaan kalian tetapi terbentur restu dari ibunya yang reseh, malahan memilih mundur demi kebaikan kalian berdua dan keutuhan keluarganya si mantanmu. Masih sebal banget aku setiap kali ingat hal itu,” gerutu Bianca.                 Marshanda mengernyitkan keningnya.                 Ia langsung mengibaskan tangannya dan berkata, “Heh, jangan ngomong begitu tentang orang tua, Bi! Bisa kualat, kita berdua nanti. Masa orang tua dikatain reseh. Nggak pantas, lah! Jangan-jangan kalau suatu saat nanti kita menjadi orang tua, kita bersikap otoriter terhadap pilihan hidup keturunan kita kelak.”                 Bianca tersenyum miring. Intinya, selain sebal kepada Bu Grizelle, dia juga telah telanjur jengkel kepada Devanno. Tengok saja betapa dia seperti ogah menyebutkan nama mereka berdua.                Dalam keadaan semacam ini, sudah pasti Marshanda tidak mungkin mengisahkan bagaimana perlakukan Bu Grizelle kepadanya sekarang.              ‘Belum waktunya. Aku nggak mau pendirianku jadi goyah lagi karena terpengaruh pendapat dari Bianca. Terlebih, aku sendiri juga belum berkomunikasi sama devanno sampai sekarang. Aku.., nggak tahu akan bagaimana nantinya,’ pikir Marshanda, yang akhirnya mantap memutuskan untuk menyimpan dulu kisahnya tentang Bu Grizelle.                 “Non, malam ini kan obrolan kita tuh tentang kamu sama Michael. Nah, ayo lanjut dong, cerita soal dia. Kerjaannya, hobby-nya, atau apa deh. Atau kalau perlu, cerita dong, bagaimana dia nembak kamu dan berapa kali dia melakukannya sampai akhirnya bisa membuat hati kamu luluh. Kalau perlu, ceritain ke aku, bagaimana kamu sampai nggelosor di lantai keramik atau berubah jadi genangan air, mendengar dia mengungkapkan isi hatinya,” tepis Marshanda cepat.                 Bianca mencebik.                 “Nggak usah pengalihan issue deh, Sha! Aku nggak mau cerita hal-hal itu, sebelum aku dengar bahwa kamu sudah membuka hati kamu dengan seseorang yang baru. Nggak adil. Nggak fair kalau aku enak-enakan menceritakan soal aku dan Michael, sementara kamu masih sendirian. Nggak mau aku,” tegas Bianca.                 Marshanda mengeluh dalam hati.                ‘Ini nih. Lumayan lama nggak saling berkomunikasi, ternyata kamu masing suka begini, Bi. Suka maksain kehendak deh,’ batin Marshanda sedikit menyesalkan.                 Marshanda merasakan sesak di dadanya.                 “Bi,” ucap Marshanda.                 “Apa?” sahut Bianca.                 “Untuk segala sesuatu  ada waktunya. Itu kita pegang teguh, kan? Sekarang adalah waktunya kamu buat bercerita dulu. Lain kali baru giliran aku,” kata Marshanda lunak.                 Bianca cepat menggelengkan kepalanya. Ia jelas-jelas menolak usulan yang dikemukakan oleh Marshanda.                “No, no, no! Cerita dari aku sudah cukup panjang. Panjang kali lebar kali tinggi, malahan. Sisanya menyusul sampai batas waktu yang belum bisa aku tentukan sekarang. Biar lebih gampang, patokannya, sampai kamu balas cerita juga tentang personal life-mu. Deal?” Bianca melemparkan opsi.                Marshanda mengedikkan bahu mendengar opsi yang agak konyol itu, lalu tersenyum.                “Atur aja deh Bi. Yang penting, ingat ya bahwa kamu masih berhutang cerita padaku,” kata Marshanda.                Bianca memutar bola matanya.                “Tapi syaratnya tukar guling, ya Sha. Aku cerita, lalu kamu cerita. Jangan sepihak, aku doang yang cerita. Makanya, mulai dari sekarang, tolong ya, ibu Marshanda yang terhormat, kerja sih boleh, mengejar karir setinggi mungkin juga sah-sah saja. Tapi coba sambil dilihat, dilirik, diamati, diterawang, diraba.., eh diraba jangan dulu, terlalu agresif itu. Intinya, cermati di kiri kanan, depan belakang, di sekitar anda, kalau ada yang bisa bikin hati kamu bergetar-getar, bikin dengkul kamu lemes hanya karena membalas tatapan matanya, sudah nggak usah pikir panjang. Hajiaaaar! Langsung sikaaat! Kalau perlu sambil ucapkan mantra berulang-ulang : Ini jodohku, ini jodohku, ini jodohku! Dan jangan lupa doa yang dulu itu,” ucap Bianca dengan mimik muka lucu.                 Marshanda tersenyum lebar karena dia tahu materi gurauan yang dimaksud Bianca.                 Namun toh, Bianca merasa perlu mengorek-ngorek kenangan masa lalu mereka. Katanya, "Ingat baik-baik. Doanya begini : Ya Tuhan, jikalau dia memang jodohku, aku mengucap syukur kepadaMu. Berikanlah kepada kami tuntunanMu dalam menjalin hubungan ini, agar menjadi hubungan yang kudus dan berkenan kepadaMu. Tetapi jikalau dia bukan jodohku, tolong deh Tuhan, jodoh-jodohin aja. Soalnya aku maunya sama dia. Supaya Tuhan memandang betapa persisten-nya kita, ha ha ha."                 Kontan Marshanda terbahak dan iseng menggoda Bianca, "Jangan-jangan kamu akhirnya nyambung sama Michael karena doamu begitu, maksa banget sama Tuhan, ha ha ha."                 "Analisamu lumayan, Sha. Ha ha ha," sahut Bianca.                 Mereka berdua tertawa berderai.                                                                                                                                                                   - Lucy Liestiyo –
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD