CHAPTER TIGA : Unexpected things (1)

1797 Words
            Ayunan kaki Marshanda begitu ringan serta mantap, memasuki pelataran gedung bernama ‘Plaza 789’ itu.             Dia tak tahu, tepat di depan gedung yang  ia tuju, ada sepasang mata yang menatapnya tak berkedip serta mengamati setiap detail gerakannya. Sepasang mata itu seolah hendak memastikan, bahwa benar yang dia lihat sekarang ini merupakan orang yang sama. Ya, gadis sederhana yang pernah ia kenal dengan baik pada suatu masa, dulu. Gadis sederhana yang kemudian ia tolak mentah-mentah untuk masuk ke dalam keluarganya beberapa tahun silam.             Di benak sang pemilik mata yang mengamati Marshanda, tidak terhindarkan lagi sederet pertanyaan yang mencuat : Apa benar Marshanda yang tengah ia lihat sekarang ini? Mengapa penampilan gadis itu teramat jauh berbeda apa bila dibandingkan empat tahun yang silam? Andaipun benar itu adalah Marshanda, apa gerangan yang telah merubahnya secara total begini? Ataukah sebenarnya..., itu hanya seseorang yang kebetulan mirip dengan Marshanda?  Ya, bukankah menurut orang-orang, setiap manusia memiliki ‘kembaran’ tidak sedarah setidaknya hingga lima orang di seluruh penjuru dunia?             Sembari mengingat-ingat dan terus membandingkan, Sosok itu berdecak kagum dan bergumam lirih, “Kalau benar itu Marshanda, cantik sekali dia sekarang. Alangkah bertolak belakang dengan gadis yang pernah aku remehkan bertahun lampau. Dulu dia itu biasa saja, malah boleh dikatakan kurang memperhatikan penampilannya. Ya, itu salah satu yang menjadi penyulut rasa kurang suka aku kepadanya. Penampilan! Ah! Penampilannya dulu, membuat aku bertanya dalam hati, apa gerangan yang dilihat oleh Devanno, dari gadis itu, selain yang sering Devanno banggakan kepadaku, selain kecerdasan otaknya, ketegaran hatinya, etos kerja kerasnya, ketulusan hati yang dimilikinya, sifat penyayang dan kepedulian tinggi yang tidak ragu dia perlihatkan? Iya, itu semua kan yang selalu dipuji oleh Devanno. Ah, semua kriteria yang dia miliki itu masih jauh dari cukup untuk menjadi pendamping idealnya Devanno. Hubungan mereka berdua itu sungguh timpang.”              Marshanda yang tidak menyadari dirinya sedang menjadi pusat perhatian seseorang, tenang saja meneruskan langkahnya. Ia siap memasuki gedung ‘Plaza 789’, tempat untuk minum kopi yang menjadi tujuannya berada. Melihat gerakan mantap Marshanda, Sosok yang mengamatinya tergerak untuk menyeret langkah, demi mengimbangi agar jaraknya dengan Marshanda tidak terpaut terlalu jauh. Sampai pada suatu ketika, orang itu terdesak menuntaskan rasa penasaran yang menggodanya.               “Marsha! Marshanda!” ia berseru lantang meneriakkan nama Marshanda.              Mendengar namanya dipanggil demikian nyaring, Marshanda sontak menoleh kemudian  melayangkan pandangan mata ke sekelilingnya. Ia mencari asal suara yang meneriakkan namanya barusan. Dalam ragu bercampur penasaran, dia menerka-nerka, siapa gerangan yang memanggilnya barusan.             'Aku bukan sih, yang dipanggil? Kalaupun iya, siapa yang manggil? Salah satu dari temanku dulu, kah? Soalnya, semenjak hari pertama masuk kerja sampai dengan saat ini, praktis aku langsung berkutat dengan sejumlah pekerjaan yang sambung menyambung dan seperti nggak ada habisnya. Jadi, belum sempat menghubungi apalagi janji ketemuan sama mereka,’ berbagai pertanyaan hinggap di benak Marshanda, mengingat belum genap satu setengah tahun dirinya kembali lagi ke Jakarta.             “Siapa ya?” gumam Marshanda pelan setelah mengenang awal mulanya dia bekerja di tempatnya sekarang.             “Marsha! Marshanda!” Kembali panggilan itu terdengar, kali suaranya makin mendekat.             Marshanda menoleh dan terkejut bukan kepalang melihat siapa yang memanggilnya. Alangkah jauh dari perkiraannya! Bukan salah satu rekan di kantornya yang dulu, apalagi salah satu teman kuliahnya. Bukan pula kawan sepondokannya dulu, dan sama sekali bukan teman sebayanya! Refleks, Marshanda menganggukkan kepalanya penuh santun, diiringi sebuah senyum segar.              Bagaimanapun, Marshanda masih amat ingat sosok yang kini menghampirinya itu, membuatnya melakukan gerakan senada, bergerak mendekat didorong oleh rasa segannya yang cukup besar.             Hati Marshanda tak hendak membantah, Sosok di depannya itu adalah figur yang tetap dihormatinya, walaupun pernah membuatnya memilih mengakhiri perjalanan cintanya dengan seseorang yang amat sangat ia cintai. Devanno. Ya, Devanno yang mengenalnya sejak dia masih berusia lima belas tahun, menyentuh hatinya dengan perasaan bernama cinta di masa remajanya untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Devanno yang terpaut usia hampir tiga tahun lebih tua darinya. Devanno yang acap kali diajak oleh sang ibu untuk mengunjungi panti asuhan ‘Karunia Bersaudara’ di mana Marshanda dibesarkan.             ”Benar Marshanda, kan? Apa kabar Marsha?” Sapaan lembut disertai uluran tangan padanya membuat Marshanda tersadar, yang di depannya sekarang bukanlah satu orang pun dari tiga orang yang terlintas spontan di benaknya barusan. Bukan Ibu Evelyn, Ibu Estherlita, maupun Mbak Edgina. Melainkan seseorang yang berbeda.             Marshanda tak hendak menampik, ia menangkap nada antusias dalam sapaan lembut wanita anggun yang kini mengulurkan tangan kepadanya. Namun Marshanda membujuk hatinya dalam diam, agar tidak ingin menjadi terlalu berbesar hati apalagi besar kepala karenanya.             “Kabar baik, Tante Grizelle. Senang bisa ketemu Tante di sini,” kata Marshanda. Dia mengangguk hormat, menjabat dan mencium punggung tangan wanita itu.             Wanita yang dipanggil ‘Tante Grizelle’ itu tersenyum.             “Syukurlah, kamu masih ingat sama Tante, Marshanda,” kata wanita itu. Tak mungkin ia menyangkal bahwa hatinya sungguh tersentuh, mendapati Marshanda masih tetap sesantun dulu kepada dirinya. Ia melihat sendiri betapa senyum gadis itu juga terlihat demikian tulus.             “Bagaimana mungkin saya bisa lupa sama Tante Grizelle? Tante Grizelle adalah orang yang sangat berjasa buat saya, adik-adik, Bu Evelyn, Bu Estherlita, dan Mbak Edgina. Secara nggak langsung, Tante sebagai salah satu donatur tetap di panti asuhan ‘Karunia Bersaudara’ dulu, menjamin kelangsungan hidup saya dan adik-adik semua. Saya juga nggak akan pernah lupa, Tante Grizelle juga banyak membantu biaya pengobatan Ibu Evelyn yang terkena stroke sewaktu saya baru saja menginjak usia 16 tahun,” ucap Marshanda jujur.             Ya, lepas dari apa pun yang telah terjadi antara mereka berdua, fakta itu toh tak dapat diubah oleh Marshanda. Tidak akan pernah! Dirinya juga takkan pernah mempunyai keinginan untuk merubahnya.             Bu Grizelle buru-buru menggeleng mendengar ucapan Marshanda.             “Ah, jangan bicara seperti itu dong, Sha. Itu berlebihan sekali,” kata Bu Grizelle.             Maka mata wanita itu menelusuri wajah Marshanda. Diam-diam, ia kembali mengagumi penampilannya, serta riasan minimalis yang menghias wajah gadis itu.             Marshanda tersenyum lagi, lantas bertanya, “Tante Grizelle apa kabarnya? Sehat, kan?”             “Kabar Tante sekeluarga baik dan sehat, Sha. Kamu kerja di Jakarta lagi sekarang? Di gedung ini ya?” berondong Bu Grizelle yang terlihat amat ingin mengorek keterangan sebanyak mungkin, seolah takut kehilangan kontak lagi dengan Marshanda.              Merasakan hal tersebut, Marshanda langsung didera kebingungan.             “Lokasi kantor saya di kawasan industri Pulo Gadung, Tante. Tadi itu baru rapat di kantor Akuntan Publik di gedung sebelah,” terang Marshanda.             Bu Grizelle manggut-manggut.             “Oh, begitu rupanya. Sekarang, kamu masih ada jadwal ketemu dengan orang? Atau, kamu punya waktu sebentar, agar bisa ngobrol-ngobrol sama Tante?” tanya Bu Grizelle hati-hati.             Ada gerakan di sudut bibir Marshanda, merasakan nada memohon yang kental dalam kalimat Bu Grizelle. Mana mungkin dia sanggup menolak?             Senyum ramah Marshanda terkembang.             “Tidak, Tante. Saya sengaja kemari kok. Dengar-dengar, ada kedai kopi yang terkenal di sini. Ya, hitung-hitung sambil menunggu kemacetan di jalan sedikit terurai,” sahut Marshanda, tetap sesopan sebelumnya.             Jawaban Marshanda membuat Bu Grizelle tersenyum.             “Oh! Kedai kopi ‘Taste It’ ya? Boleh Tante temani kamu? Nggak menganggu, kan? Nggak mengganggu me time kamu, maksudnya,” tanya Bu Grizelle, meminta konfirmasi.             Marshanda membalas senyum Bu Grizelle.             ‘Manisnya senyum kamu, Marshanda. Tersirat ketulusan hatimu dari sana. Ah, kok baru sekarang aku sadar alangkah besar arti itu semua buat Devanno putra kesayanganku?’ tanya Bu Grizelle dalam diamnya, kepada dirinya sendiri.             “Rupanya Tante tahu. Mari, silakan, Tante,” sahut Marshanda ramah.             “Iya, Sha. Kedai ini adalah kedai milik Pak Wijayantha, kenalannya Om Matthias. Tepatnya, ini cabang ketiga. Ini sengaja dibuka di area perkantoran sini, setelah pusatnya yang di Kemang dan cabang pertamanya di Blok M sudah mulai kewalahan menampung pengunjung setia, juga untuk menjaring pelanggan yang merupakan orang kantoran,” terang Bu Grizelle sambil menyebut nama suaminya.             Marshanda manggut kecil.             “Ooh, pantas saja. Tante memang berencana mau kemari, tadi?” tanya Marshanda pula.             Kedua wanita itu memasuki kedai kopi Taste It berbarengan. Musik instrumentalia yang mengalun lembut menebarkan aura nyaman. Sungguh sinkron dengan ucapan selamat datang dari kru kedai kopi yang disertai  dengan senyuman ramah.             “Iya, Sha. Niatnya sekalian belanja bulanan di supermarket yang ada di lantai dasar. Kedai ini sudah buka dari tujuh bulan lalu, sebenarnya. Tapi Tante belum sempat kemari. Waktu peresmiannya, Tante sedang nggak enak badan. Jadilah Om Matthias hanya datang ditemani Mbak Kassandra dan Mas Kristian, suaminya yang kebetulan sedang di Jakarta waktu itu. Nah, mumpung belanja bulanannya cepat beres, Tante langsung mampir kemari. Tante suruh supir nunggu di parkiran bawah. Nggak nyangka, malah ketemu kamu,” urai Bu Grizelle panjang lebar, diakhiri dengan sebuah senyum semringah.              ‘Senyum Tante Grizelle sepertinya tulus. Kesannya, Tante senang dengan pertemuan dadakan ini. Ataukah ada sesuatu, di balik ini?’ bisik hati Marshanda yang tergelitik.             Tak pelak, selintas rasa curiga menghampiri Marshanda, namun dengan kesadaran penuh segera ditepisnya. Tidak. Dia sungguh tidak ingin merusak momen yang baik ini. Pntang baginya berpikiran negatif.             Marshanda mengenang kembali semua kebaikan Bu Grizelle, sekaligus menegur dirinya sendiri agar tidak menaruh prasangka buruk kepada wanita itu. Dalam diam, Marshanda mengakui, toh sebenarnya Bu Grizelle adalah seorang yang baik. Buktinya, Bu Grizelle tak pernah melarangnya dekat dengan Devanno. Hanya saja, ketika melihat Devanno menunjukkan kesungguhan akan hubungan mereka berdua, perlahan dapat dirasakannya bahwa Bu Grizelle mengambil jarak dengannya.             Kini, mengenang tindakan Bu Grizelle di masa lalu dan membandingkan dengan bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh wanita tersebut saat ini, mau tak mau Marshanda berpikir, itu hal yang teramat wajar. Meski pahit, Marshanda berusaha untuk mengerti, bahwa tiada satu pun Ibu di dunia ini yang tidak menginginkan putranya menikah dengan orang yang sepadan dengannya. Sehingga, menimbang-nimbang asal-usul sang calon pasangan dari putranya secermat mungkin, termasuk mempertimbangkan status sosial gadis pujaan hati dari putranya, apalagi itu adalah putra kesayangannya tentu merupakan hal mutlak untuk dilakukan.              “Anak muda itu pasti Rivaldo, mitra yang dipercaya sama Pak Wijayantha untuk mengelola kedai kopi ini,” kata Bu Grizelle saat membalas anggukan seorang pemuda yang berdiri tidak jauh dari area kasir.                                                                                                                                                                 ^* Lucy Liestiyo *^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD