“Masih kerabat sama pemiliknya ya, Tante?” tanya Marshanda berbasa-basi.
Bu Grizelle mengangguk.
“Bisa jadi seperti itu. Om Matthias bilang, Pak Wijayantha sudah kenal lama dengan keluarga Rivaldo. Semasa kuliah dulu, Rivaldo ini sempat menjadi pegawai magang di salah satu anak perusahaannya Pak Wijayantha yang kini telah dijual. Bukan nggak mungkin, lantaran itu sekarang dia diberi kesempatan untuk mengelola cabang ‘Taste It’ yang ini. Atau bisa juga semua gerai ‘Taste It’. Maklumlah, anak perempuan Pak Wijayantha kan belum lama kembali dari luar negeri. Dan, kelihatannya belum tertarik mengurusi sejumlah bisnis papanya,” terang Bu Grizelle runut. Ciri khasnya. Mungkin supaya si lawan bicara tidak perlu bertanya-tanya apapun lagi.
“Oh, begitu,” ucap Marshanda.
“Di sini saja, bagaimana?” tanya Bu Grizelle, menunjuk sebuah meja yang menghadap ke arah jalan raya utama.
“Boleh, Tante,” sahut Marshanda.
Dengan gerakan tangan, dia mempersilakan agar Bu Grizelle duduk. Lantas, ia langsung melambaikan tangannya kepada pelayan.
Sang pelayan menghampiri mereka dan mengangguk ramah.
“Selamat sore Kakak, Ibu. Silakan dilihat dulu menunya. Kalau sudah ada pilihan, silakan memanggil saya, Jenny,” pelayan itu mengangsurkan dua buah daftar menu kepada Marshanda dan Bu Grizelle, lantas menunjuk bordiran nama di d**a kirinya. Usai berkata demikian dia mundur satu langkah, seolah memberikan ruang kepada dua orang pengunjung ini untuk berpikir dan menentukan.
“Terima kasih, Mbak Jenny,” ucap Marshanda, sementara Bu Grizelle hanya manggut dan tersenyum kecil kepada Jenny.
“Tante mau pesan apa?” tanya Marshanda mempersilakan, setelah Bu Grizelle membolak-balik menu dua kali.
“Tante nggak terlalu suka kopi sebetulnya. Ini saja mungkin, Hazelnut Chocolate Creamy sama Strawberry Short Cake saja. Kamu sendiri mau pesan apa, Sha?” Bu Grizelle balik bertanya.
“Oh, sebentar Tante, biar sekalian dicatat sama Mbak Jenny,” sela Marshanda lalu memalingkan wajah kepada Jenny. Ia menganggukkan kepala sebagai tanda memerlukan bantuan Jenny.
Jenny segera mendekat dan tersenyum ramah.
“Sudah ada pilihan Ibu? Kakak?” tanya Jenny yang siap dengan catatan di tangannya.
“Ini Mbak Jenny, untuk Tante, tolong siapkan Hazelnut Chocolate Creamy sama Strawberry Short Cake. Untuk saya Avocado coffee latte dan lemon cake,” kata Marshanda, langsung kepada pelayan bernama Jenny itu.
“Ada lagi yang lainnya Ibu, Kakak?” tanya Jenny ramah seusai mencatat pesanan mereka.
Marshanda menatap Bu Grizelle, sebagai ganti kalimat tanya.
“Itu dulu saja, Sha,” kata Bu Grizelle.
“Sementara itu dulu,” sahut Marshanda, mengulang.
Jenny mengulang kembali order yang diberikan kepadanya, untuk konfirmasi. Marshanda membenarkannya.
“Terima kasih Kak. Pesanan segera kami siapkan. Saya tinggal dahulu,” Jenny mengangguk dan segera berlalu.
Tidak makan waktu terlalu lama, pesanan telah siap di meja mereka.
“Silakan dinikmati Ibu, Kakak. Kalau ada pesanan lainnya, silakan memanggil saya,” ucap Jenny setelah meletakkan pesanan Bu Grizelle dan Marshanda.
“Oke, Mbak Jenny,” kata Marshanda lalu mempersilakan Bu Grizelle menikmati pesanan mereka.
“Katamu, kantormu di daerah Pulo Gadung, Sha? Lumayan jauh dari sini, ya? Dan, Tante dengar, dulu itu kamu pergi karena mendapat beasiswa untuk kuliah di Singapura? Benar, ya?” tanya Bu Grizelle.
Dalam hati, Marshanda membenarkan, kepergiannya dahulu memang lantaran mendapatkan beasiswa itu. Kandasnya jalinan cinta dengan Devanno, berperan besar meneguhkan keputusannya untuk menjemput kesempatan berharga itu. Peluang emas, yang tentu saja tidak mungkin akan terulang untuk kedua kalinya.
“Iya, Tante. Tapi kantor akuntan ini yang ditunjuk oleh grup perusahaan tempat saya bekerja sekarang,” sahut Marshanda seadanya.
“Tante senang mengetahui kamu kembali bekerja di Jakarta,” cetus Bu Grizelle, terkesan sedang menjuntai sebuah harapan.
Entah mengapa, rasa gentar menyapa Marshanda begitu saja.
‘Aku nggak mau menipu diri. Wajar kalau Tante senang bertemu aku setelah sekian lama nggak ketemu. Itu reaksi wajar dari orang yang telah lama nggak saling berjumpa. Atas dasar apa aku boleh gede rasa?’ pikir Marshanda, menegur dirinya sendiri.
“Manajemen perusahaan ini sudah memberikan penawaran bekerja di tempat mereka sewaktu saya sedang mempersiapkan tesis saya. Penawarannya disampaikan melalui pihak universitas. Untungnya, mereka mau menunggu sampai saya menyelesaikan semua urusan di sana,” jawab Marshanda tanpa sedikitpun maksud menyombongkan diri. Ia hanya terkenang betapa grup ‘Modern Electronics’ bukan satu kali mendesaknya supaya lekas bergabung di perusahaan mereka. Padahal kalau menuruti kata hati, sebetulnya dia berencana meneruskan pekerjaan paruh waktu-nya terlebih dahulu. Atau bahkan bekerja dulu barang satu dua tahun di Singapura setelah usai menempuh program magister-nya.
Tak disangka, wanita anggun yang tengah memotong kue di piring kecil khusus kue itu berdecak kagum.
“Wah, hebat! Pasti karena kecerdasanmu, Sha! Devanno memang tak berlebihan kalau memuji kecerdasanmu,” seru Bu Grizelle spontan, membuat Marshanda terkejut.
Marshanda menahan napas barang sedetik mendengar nama Devanno disebut oleh Bu Grizelle. Tak terhindar, d**a Marshanda berdebar seketika. Jantungnya seakan melakukan gerakan memopa dua kali lebih cepat dari biasanya. Sulit dinafikannya, bahwa rasa itu masih ada. Dan sejujurnya, hatinya menjadi kian ciut.
‘Ups, ini mengenangkan aku pada kegamangan yang aku rasakan sewaktu mempertimbangkan tawaran Modern Electronics dulu. Karena menerima tawaran pekerjaan itu, sama artinya dengan kembali ke Jakarta,’ batin Marshanda.
Sungguh kegentaran yang masuk akal saat itu. Pasalnya, lebih dari tiga tahun telah berlalu sejak ia memutuskan komunikasi dengan Devanno. Bukan tak mungkin Devanno sudah menjalin hubungan dengan seseorang atau bahkan telah menikah. Yang pasti, tentu saja bukan dengan dirinya! Dan tentu saja Marshanda meragukan, akankah hatinya kuat, apabila bersua dengan pasangan yang berbahagia itu, sekembalinya dia ke Jakarta?
Berbagai pertanyaan menakutkan, menjajah pikiran Marshanda kala itu : bagaimana kalau ketemu Devanno dengan sedang bergandengan tangan dengan mesra, bersama pacarnya, atau mungkin tunangannya, atau bahkan istri yang baru saja dinikahi? Bagaimana bila yang dilihatnya lebih menyeramkan lagi, berpapasan dengan Devanno yang tengah merangkul secara protektif, seorang wanita cantik yang perutnya sedang membuncit, buah cinta mereka? Atau..., bagaimana kalau justru yang lebih menyiksa perasaannya, ada seorang wanita yang menggamit mesra lengan Devanno yang tengah mengendong seorang balita, buah pernikahan mereka?
Ah! Baru membayangkannya saja, Marshanda sudah meragukan apakah hatinya cukup kuat. Dan baru membayangkannya saja, dia ragu bahwa kesehatan mentalnya akan tetap terjaga.
‘Aduh! Bagaimana kalau justru Tante Grizelle janjian sama Devanno dan keluarga kecilnya untuk ketemu di sini dan saat ini Tante Grizelle sedang mengulur waktu sementara menanti kedatangan mereka? Bukankah itu suatu cara tepat bagi Tante untuk menunjukkan kepadaku, siapa wanita yang paling cocok dan layak berdiri di sebelah putra bungsunya itu? Sungguh, aku nggak mau memperlihatkan wajah nelangsaku!’ pikir Marshanda gamang.
Marshanda menggeleng pelan, meredakan kisruh yang terasa mengganggu di hatinya, sekaligus berusaha meredakan debar-debar yang kian kencang saja di dadanya. Dia berusaha berfokus pada pernyataan bu Grizelle tadi.
“Ah, biasa saja kok, Tante. Ini murni anugerah sifatnya. Atas izin Tuhan. Saya sendiri baru satu tahun dua bulan kok, bergabung di perusahaan ini,” elak Marshanda tak enak hati. Siapa juga yang tidak tersipu, dipuji macam itu, coba?
Marshanda berlagak tak mendengar nama Devanno disebut oleh Bu Grizelle, melainkan memusatkan perhatian kpada rasa syukur yang memenuhi benaknya. Bersyukur atas keputusan tepat yang diiringi dengan ketekunan serta keseriusannya yang membuat karirnya melesat bak bintang sekarang ini. Bersyukur, atas anugrah berupa kepandaiannya membawa diri, yang mengundang decak kagum manajemen, meski sekaligus memancing iri sejumlah senior yang ‘terlewati’ karirnya oleh dirinya. Dia menerima semua itu dengan sebaik mungkin. Dia sadar, tidak semua orang dapat menyukai drinya. Itu sudah rumusan umum di manapun berada.
Bu Grizelle hanya tersenyum kecil, lalu menatap Marshanda penuh selidik.
“Nggak berlebihan ulasan yang saya baca tentang kedai kopi ini, Tante. Rasa kopinya yang khas, interiornya yang menerbitkan rasa nyaman. Pas sekali, cocok untuk melepas penat otak setelah seharian bekerja,” ucap Marshanda, berusaha membelokkan percakapan lantaran agak grogi ditatap seperti itu oleh Bu Grizelle.
Sepertinya dia cukup berhasil menggiring Bu Grizelle ke dalam bahasan tentang kedai kopi di mana mereka berada saat ini.
“Iya, betul. Sesuai dengan apa yang digambarkan sama Om Matthias dan Kassandra. Ngomong-ngomong, baru-baru ini Om memindahkan sebagian kegiatan produksi pakaian jadinya ke Pekalongan lho Sha,” sahut Bu Grizelle.
“Oh, ya? Dipindahkan sebagian ke Pekalongan? Kenapa, Tante?” tanya Marshanda antusias.
“Itu lho, kapasitas pabrik milik Om yang di pinggiran Jakarta sudah kelebihan beban. Terus, sekalian memanfaatkan bangunan sebuah pabrik yang nggak lagi beroperasi sejak setahun lalu di Pekalongan. Kebetulan renovasinya sudah beres, termasuk mes yang dipersiapkan untuk para operator jahit-nya. Pas bBuat memenuhi kebutuhan pasar untuk area timur, Sha,” jawab Bu Grizelle rinci.
Mata Marshanda mengerjap.
“Wah, prospeknya pasti bagus, ya, Tante? Pasti Om sudah menghitung secara rinci sebelum memilih Pekalongan. Biaya produksi, biaya transportasinya dan bahkan mungkin costing untuk logistiknya juga jauh lebih hemat. Tentu upah minimum regional di Pekalongan kan lebih rendah ketimbang di Jakarta ya Tante?” Sampai pada bahasan ini, Marshanda masih dapat menimpalinya dengan semangat.
Bicara tentang anggaran dan analisa, bukankah itu memang ‘makanan’nya’ sehari-hari? Pemikiran Marshanda dan caranya yang lebih lepas dalam merespons lawan bicara, membuat Bu Grizelle memuji dalam hati.
Semakin lama mencermati gadis yang tengah bersamanya, semakin Bu Grizelle mengamati adanya perubahan yang nyata dalam diri Marshanda. Marshanda yang sedang berbicara dengannya saat ini, sungguh terlihat percaya diri dan berwawasan luas. Sedangkan gambaran Marshanda bertahun lalu, adalah Marshanda yang terkesan cukup sungkan dan kurang percaya diri, setiap kali diajak oleh Devanno bertandang ke rumah. Bu Grizelle sampai berkesimpulan, mungkin memang bersama Devanno saja Marshanda merasa nyaman dan terlindungi. Pasalnya, dia jelas merasakan, Marshanda kurang nyaman berlama-lama di kediaman mereka. Sungguh kentara olehnya, Marshanda sangat hati-hati dalam menjaga sikap dan menata kata, seolah takut salah di hadapannya.
Kemudian Bu Grizelle menyinggung kerinduannya pada dua cucunya dari anak pertamanya, Juna, yang memilih bermukim di Belgia. Ia mengisahkan pula kegembiraan Kassandra yang setuju untuk pindah ke daerah Kendal bersama Kristian setahun lampau. Sebab dengan begitu, dia tak hanya mendampingi sang suami merintis usaha baru di sana. Ke depannya, Kassandra sudah membayangkan bakal mempunyai waktu sesekali menengok pabrik baru ayahnya di Pekalongan. Itu sangat memungkinkan, mengingat anaknya juga sudah kian menikmati kegiatannya di PAUD – Pendidikan Anak Usia Dini.
“Oh, jadi Mbak Kassandra pindah ke Kendal ya Tante? Dan, Kenzie juga sudah besar sekarang,” komentar Marshanda sewajar mungkin.
“Iya, Kenzie kan lahir hampir setahun sebelum kelahirannya Judith, anak keduanya Juna sama Michelle,” sahut Bu Grizelle.
Diam-diam hati Marshanda mulai terusik sebuah prasangka yang muncul tanpa diundang.
‘Nanya soal aku, sudah. Ngebahas tentang Om Matthias pun nggak terlewat. Nyinggung perihal Mas Juna nggak terlupakan. Ceritain tentang Mbak Kassandra juga sudah, barusan. Pasti nggak akan terelakkan... sebentar lagi...,’ bisik hati Marshanda. Sulit disangkal, hatinya berdebar kencang lagi.
'Semoga jantung aku cukup kuat mendengarkan tentang kebahagiaan Devano dengan keluarga kecil yang dibinanya sekarang. Aku nggak harus menunjukkan betapa aku merana, kan? Ya, aku harap aku bisa menekan dan menyembunyikan rasa cemburuku yang tidak pada tempatnya ini,’ ucap Marshanda dalam hati, yang merasa dirinya tidak layak untuk memiliki rasa cemburu kepada sang mantan.
- Lucy Liestiyo -