"Shel, kamu punya nomer hp Mas Harris?" Raisha yang baru saja masuk pantry bertanya seraya duduk di sisi Sheila.
"Kenapa kok nanyain nomer hp Mas Harris?"
"Ya aku ada perlu aja."
"Aku nggak punya sih, yang punya nomernya Mas Jenar."
"Tanyain dong ke Mas Jenar."
"Iya, nanti deh ya."
"Eh, Shel, Harris itu udah punya pacar belum sih?"
"Aku kurang tahu, Sha," balas Sheila sambil memakan menu makan siangnya, berupa nasi kuning dengan lauk ikan haruan.
"Tanyain dong, ke Mas Jenar. Ya...ya....?"
"Bentar deh, Sha." Sheila meletakkan sendoknya, lalu mengalihkan perhatiannya pada Raisha yang duduk di sebelahnya sambil memasang kutek di kukunya.
"Pertama, pake kuteknya jangan di sini dong, baunya campur sama makanan bikin nggak enak makan."
"Alah, bau kutek gini aja!" Raisha tidak menanggapi komplain yang Sheila utarakan.
Sheila membuang napas, dia hapal betul sifat Raisha yang memang sulit dikritik. "Kedua, aku mau nanya deh, kamu kok nanyain Mas Harris melulu emangnya kenapa?"
"Emangnya nggak boleh?" Raisha balik bertanya.
"Ya bukannya nggak boleh, cuma, orang kepo itu kan ada sebabnya."
Raisha yang ditanya malah tersenyum-senyum kecentilan sambil menatap kukunya yang sudah berwarna keunguan metalic.
"Heh! Ditanya malah cengar cengir!" tegur Sheila. "Lagian, itu kuku diwarnain nanti ditegur sama Bu Rara loh!"
"Ah, biarin aja ditegur. Ya didengerin aja."
Sheila geleng-geleng kepala mendengar jawaban Raisha. Di kantor cabang bank tempat mereka bekerja, Raisha memang karyawan yang paling bandel. Ada saja kelakuannya melanggar aturan, termasuk tata tertib perihal penampilan.
"Jadi kenapa kamu nanyain Mas Harris terus? Naksir?" Sheila kembali bertanya.
"Kok kamu tahu sih!"
"Hah? Kamu naksir Mas Harris?"
Raisha mengangguk.
"Lha, Ramon gimana?" tanya Sheila, karena setahu dirinya, Raisha sudah memiliki kekasih bernama Ramon.
"Udahlah, ke laut aja."
"Ke laut gimana?"
"Ck! Ya pokoknya, aku sama Ramon udah end."
"Putus?"
Raisha mengangguk cepat.
"Lha, gimana ceritanya?"
"Pokoknya deh ah. Ramon itu bukan calon suami yang ideal. Nggak kaya Mas Harris, yang udah ganteng, mapan lagi."
"Bentar-bentar, emangnya, Mas Harris juga naksir kamu?"
"Sheila, ih! Ngomongnya kok gitu!"
"Ya enggak, aku maksudnya nanya nih!"
"Belum tahu, makanya aku nanya, Mas Harris udah punya pacar belom?"
"Kalau udah?"
"Ya enggak masalah juga sih!" Raisha menutup botol kuteknya dan mengibaskan rambut.
"Nggak masalah gimana?"
"Baru juga pacar, bisa direbut kali." Raisha menjawab dengan tawa kecil.
"Wah, bahaya."
"Ya nggak dong, selama janur kuning belum melengkung, masih bisa ditikung."
"Eh, what!" Sheila kaget dengan pemikiran Raisha sampai terbatuk-batuk, tersedak ludahnya sendiri.
"Santai, say!" Raisha mengusap punggung Sheila yang terbatuk-batuk.
"Pokoknya, Mas Harris itu idaman banget. Dari pertama ketemu, langsung auto geter-geter hati aku."
"Lah, baru juga putus ama Ramon, udah geter-geter ama yang lain."
"Ya abisnya, Mas Harris itu high quality banget."
"Tahu dari mana? Baru juga ketemu kemarin."
"Meski baru ketemu, aku yakin kalau dia itu jodoh yang tepat buat aku."
"Jangan pede dulu, siapa tahu, dia udah punya calon istri."
"Ih! Sheila, kok kamu gitu! Pokoknya, ya, nanti kamu tanyain ya ke Mas Jenar segala sesuatu soal Mas Harris."
"Kalau aku bisa nikah sama Mas Harris, jangan khawatir, aku pasti kasih sesuatu buat kamu."
"Duh nggak usah kasih apa-apa, yang penting utang kamu lunasin dulu, Sha."
"Ya ampun, Sheila. Utang segitu doang loh ya. Gampang banget tuh!"
"Kalau gampang ya buruan lunasin dong."
"Besok abis gajian deh ya!"
"Bulan lalu, bilangnya gitu."
"Ops, sori, abisnya, ortu sakit di kampung." Raisha mengelak, lalu beranjak dari tempatnya duduk. "Duluan deh ya Shel, jam istirahat aku udah abis soalnya."
Sheila hanya mencebik. Dongkol sudah pasti, tapi heran juga dia dengan dirinya kenapa masih saja berinteraksi dengan Raisha.
***
"Pak, ada yang mau ketemu," ucap sekuriti mess saat Harris membuka pintu kamarnya paska dia mendengar suara ketukan.
"Siapa?" tanya Harris, karena tidak biasanya ada tamu menemuinya di mess.
"Namanya Raisha, Pak."
"Raisha?" Harris mengulang ucapan sekuriti kaget. Dia tidak menyangka Raisha akan datang ke mess. Sebelumnya, wanita itu mengirim chat padanya, entah dari mana Raisha mendapatkan nomer ponselnya, Harris menduga, mungkin dari Sheila istri Jenar.
"Iya, Pak."
"Ng...bilang aja, kalau saya lagi tidur."
"Oh...oke Pak."
"Makasih ya Mang Iyan."
"Sip, Pak."
Harris menutup pintu, lantas merebahkan tubuhnya ke ranjang, asyik kembali dengan ponselnya, tapi keasyikannya itu kembali terganggu oleh ketukan pelan di pintu. Saat dia membuka pintu, Mang Iyan, sekuriti mess ada di sana.
"Kenapa Mang?"
"Anu...yang nyari Pak Harris nggak mau pergi. Dia mau nunggu...."
Belum selesai Mang Iyan bicara, ponsel Harris sudah berbunyi nyaring, nama Raisha ada di layar. Harris menghembuskan napas merasa sedikit kesal karena Raisha terus saja menganggunya.
"Ya udah, saya ke depan aja, Mang!" Harris memutuskan, ketimbang Raisha terus merengek dan merepotkan Mang Iyan.
"Mas Harris!" Saat Harris sampai di pos sekuriti, Raisha menyambutnya dengan wajah sumringah. "Tadi kata sekuriti, Mas Harris lagi bobo, terus aku telpon nggak diangkat, ih kan aku sedih!" Wajah sumringah wanita itu berubah menjadi cemberut.
"Iya, tadi ketiduran terus kebangun." Harris menjawab datar.
"Ng... kesini ada apa ya?"
"Emangnya nggak boleh? Jahat ih, Mas Harris!"
"Eu...bukannya nggak boleh sih, cuma mau tau aja, tumben ke sini...."
"Kangen tau aku sama Mas Harris, kalau dichat, cuma centang biru aja, ditelpon ga diangkat, divideo call apalagi!"
"Oh...soalnya lagi sibuk, banyak kerjaan."
"Ah masa sibuk terus? Makanya, sekarang refreshing yuk Mas!"
"Wah, aku harus kerjain laporan, ditunggu sama Pak Wiesan soalnya."
"Kalau gitu, aku temenin ngerjain laporan ya? Nanti, kalau Mas Harris cape, aku pijitin. Aku bisa pijit lho, Mas Harris mau nyoba?" Raisha mendekati Harris, yang malah berjengit menjauh.
"Eu...enggak, makasih."
"Ya udah, yuk Mas, kita kerjain tugasnya." Raisha menggandeng lengan Harris, dan sekuriti yang ada di situ, melemparkan senyum simpul, sementara Harris menelan senyum pahit, otaknya buntu, bagaimana dia harus menghindari Raisha yang mengejarnya.
"Eh, aku mau makan dulu!" Harris beralasan. Menurutnya, lebih baik dia pergi keluar daripada di kamar. Kata orang, jangan berduaan karena pihak ketiga adalah setan yang bisa membisikkan hal-hal dosa.
"Mau makan di mana Mas?"
"Yang deket sini aja." Harris mencoba melepas gandengan tangan Raisha dan berjalan menuju garasi di mana mobil kantor terparkir.
"Aku ikut ya?" Raisha segera duduk di sisi jok pengemudi, meski Harris tidak menjawab.
"Makan di Yota kayaknya enak deh! Makan di Yota yuk, Mas!" ucap Raisha, menyebutkan sebuah rumah makan bergaya cafe yang sering disambangi anak muda di kabupaten ini.
Harris sangat tidak nyaman dengan keberadaan Raisha, dia bertahan karena dia adalah karyawan baru di perusahaan dan tidak ingin membuat kekacauan atau keributan. Jika tidak, mungkin Harris sudah memaki Raisha dan mengusir wanita itu dengan kasar. Apa yang Harris inginkan hanyalah menjalani hari dengan tenang, bekerja dan mengumpulkan uang untuk keluarga di Jogja, membebaskan keluarga dari lilitan hutang dan meneruskan hidup meski sederhana saja.
"Mas! Kok diem aja sih! Aku dicuekin!" Harris merasa t-shirt yang dia kenakan ditarik-tarik di bagian lengan.
"Hm."
"Kok heem aja sih Mas! Kenapa? Kok diem. Mas Harris nggak suka sama aku ya?"
"Nggak sih, cuma, ada hati yang harus aku jaga."
"Mas Harris udah punya pacar?" Raisha bertanya, tubuhnya menghadap Harris yang sedang sibuk menyetir.
"Iya, sudah," balas Harris berbohong. Dia berharap, dengan mengatakan bahwa dia punya pacar, Raisha tidak akan lagi mengejarnya.