Harris pikir, Raisha akan kaget dan tidak akan terlalu centil padanya lagi, dan setidaknya makan bersama di Yota adalah kali terakhir Raisha menyambanginya. Akan tetapi ternyata, apa yang Harris harapkan jauh panggang dari api, bukannya kaget, Raisha malah tertawa kecil, seolah menertawakannya.
"Mas Harris jangan bohong ah!"
"Bohong?"
"Iya, Mas Harris kan belum punya pacar."
"Sori, ya, tapi kamu sok tahu."
"Ih, aku bukan sok tahu, aku emang tahu. Mas Jenar yang bilang, Mas Harris sebelum kerja di sini tuh pacarnya nikah sama orang lain, makanya kerja merantau biar bisa moveon, iya kan?"
Harris merutuk dalam hati. Bagaimana bisa, Jenar membicarakan soal dirinya pada Raisha, dia harus menegur Jenar besok, janji Harris pada dirinya sendiri. Dia benar-benar tidak suka Jenar membahas hal pribadinya dengan Raisha.
"Nggak usah bohong deh, Mas, nggak mempan." Raisha menepuk paha Harris dan membuat lelaki itu kaget, sekaligus tidak suka, Raisha terlalu berani dan tidak sopan.
Bibir Harris mengetat, tapi dia masih mengendalikan diri, mengingat dia sedang berkendara, emosional bisa membuat kendaraan kecelakaan. Harris hanya diam, melajukan kendaraan sampai di Yota.
Sampai di Yota, Harris sengaja memilih tempat yang agak sepi, kebetulan, pengunjung Yota juga tidak terlalu banyak.
"Mas Harris, kenapa sih dari tadi manyun aja? Aku sedih lho, jalan sama Mas Harris tapi Mas Harris mukanya mendung gitu. Kenapa sih Mas?" Raisha bertanya pada Harris setelah memesan makanan dan minuman.
"Nggak apa-apa." Harris menjawab datar. Dia sebenarnya hendak mengatakan terus terang pada Raisha tentang keberatan atas keberadaan Raisha yang terlampau menganggu, tapi Harris menunggu saat yang tepat untuk bicara, agar Raisha tidak tersinggung.
"Ah, masa nggak apa-apa, tapi mukanya ditekuk begitu?"
Harris menghembuskan napas, mencoba melegakan dongkol yang bercokol karena sikap Raisha yang baginya menjengkelkan. Sampai pesanan mereka datang, lalu disantap, Raisha masih saja mengajak Harris bicara, meski diacuhkan. Harris tidak tahu, apa Raisha memang tipe badak yang meski diabaikan tapi tidak terpengaruh.
"Sha, sebenarnya, aku mau ngomong sesuatu." Harris akhirnya bicara setelah semua makanannya tandas.
"Ah akhirnya Mas Harris ngomong juga. Mau ngomong apa Mas? Kayaknya serius, aku jadi deg-degan nih!"
Harris menghirup napas, bersiap menata dan merangkai kata yang akan disampaikan pada Raisha.
"Jadi gini, maaf sebelumnya Sha, tapi tolong jangan datang lagi ke mess...."
"Lho kenapa?"
"Karena, aku bisa diskors kalau ada tamu wanita sering datang ke mess."
"Ah, masa begitu?"
"Iya. Jadi, aku mohon banget, kamu jangan ke mess lagi."
"Kalau gitu, Mas Harris aja yang main ke kosku ya?"
"Aku nggak punya waktu buat main, kerjaanku banyak."
"Terus, kapan kita bisa ketemu? Jujur aja ya Mas Harris, aku tuh cinta sama kamu."
Harris menelan ludah, kaget dengan pernyataan Raisha yang terasa tiba-tiba.
"Mas Harris gimana? Cinta aku juga enggak?"
"Sorry...aku belum mau mikir soal cinta. Aku datang ke sini buat kerja, itu yang terutama."
"Mas Harris jangan gitu dong!" Raisha menggeser duduknya, merangsek dekat Harris membuat lelaki itu serta merta menggeser duduknya.
"Mas!" Raisha meraih lengan Harris, supaya tidak menjauhinya.
"Aku tahu, Mas Harris itu trauma sama cinta, tapi yakinlah, aku pasti bisa bikin Mas Harris moveon." Raish berkata penuh percaya diri. "Pokoknya, Mas Harris percaya aku ya? Aku lebih baik dari mantan pacar Mas di Jogja."
"Sha, maaf, aku lagi nggak berminat pacaran." Harris buru-buru mengenyahkan cekalan tangan Raisha. "Sudah malam, sebaiknya kita pulang." Harris menutup pembicaraan, melihat kenekatan dan over PD yang terdapat pada diri Raisha, menbuat Harris merasa pembicaraan ini lebih baik diakhiri secepat mungkin daripada dirinya semakin terjebak bersama Raisha.
"Baru juga jam sembilan lebih dikit!" Raisha mencebik, menolak ajakan Harris pulang.
"Besok pagi aku harus ke Banjarmasin urusan dinas, jadi aku mau tidur lebih awal." Harris beralasan, membuat Raisha akhirnya menuruti Harris untuk pulang.
"Menurut Mas Harris, aku tuh gimana orangnya?" Saat mobil berjalan meninggalkan Yota, Raisha bertanya pada Harris.
Kalau saja tega, Harris ingin menjawab bahwa Raisha menyebalkan, kepedean, tidak punya sopan, dan membuat orang tidak nyaman. Akan tetapi, Harris menahan semua ungkapan kata hatinya itu.
"Wah, aku nggak tahu, kita belum lama kenal." Itulah akhirnya jawaban yang terlontar dari mulut Harris.
"Nah, karena itu, mulai sekarang, kita belajar saling mengenal ya Mas!"
Celaka dua belas, jawaban yang dilontarkan supaya Raisha tidak sakit hati malah membuat Raisha semakin lancar melakukan pendekatan yang ingin Harris hindari. Ya memang, jaman sekarang, wanita tidak ada salahnya menunjukkan rasa suka terlebih dulu pada pria, tapi bagi Harris, apa yang Raisha lakukan terlalu berlebihan.
"Hah?"
Raisha tertawa kecil. "Mas Harris mau kan lebih mengenal aku?"
Mau menjawab tidak, takut Raisha tersinggung, meski batin antagonis Harris mengatakan biar saja Raisha tersinggung, barangkali dengan begitu wanita itu sadar dan tidak lagi sok kenal sok akrab menyebalkan. Akan tetapi batin protagonis Harris membisikkan bahwa tidak baik menyakiti hati perempuan sekali pun menyebalkan. Sebagai manusia, sebaiknya sebisa mungkin menghindari melukai hati sesama. Ah, Harris jadi bingung. Menjaga perasaan orang lain, membuat diri sendiri stres, sementara, bertindak frontal bisa melukai perasaan orang lain dan bisa membuka konflik baru.
"Mas...." Suara Raisha memecahkan sibuk pikiran Harris. "Ngelamunin apa sih?"
"Ah, enggak."
"Jadi, Mas Harris mau ya, kenal lebih dekat sama aku?"
"Hah?"
"Ya...."
"Sorry, enggak."
"Enggak nolak?"
"Nggak mau, kenal lebih dekat sama kamu."
Raisha menatap Harris, dengan air mata menggenang tiba-tiba. Harris bahkan kaget, bagaimana bisa raut wajah biasa saja itu, bisa berubah dengan cepatnya. Jika ini soal hati yang terluka karena ucapannya, sepertinya sulit dipercaya. Bagaimana bisa wanita dengan percaya diri setinggi langit macam Raisha bisa menangis sedih hanya karena satu penolakan?
"Kamu tega Mas...."
"Kamu tega nolak aku kayak gini, padahal aku udah tulus, ngomong sama kamu, kalau aku tuh sayang sama kamu. Kamu belum punya pacar, aku juga, apa salahnya kalau saling mengenal?"
"Aku cuma mau fokus kerja dulu aja."
"Sambil kerja kan bisa kita saling kenal lebih dekat."
"Sha...tolong jangan maksa, aku belum kepikiran buat kenal lebih dekat sama gadis mana pun. Aku jauh-jauh kesini buat kerja."
"Aku nggak maksa Mas! Aku cuma minta Mas Harris pertimbangkan. Iya, aku tahu, Mas Harris kesini buat kerja, tapi aku juga tahu Mas Harris kesini buat ngelupain mantan pacar. Apa aku salah kalau aku berniat bantuin Mas Harris moveon?"
Sesungguhnya, niat Raisha tidak salah. Jatuh cinta dan mengungkapkannya pada orang yang dicintai bukan tindakan kriminal, tapi tetap saja, Harris merasa terganggu.
"Mungkin aku emang nggak secantik dan sebaik mantan Mas, aku nggak layak buat Mas Harris ya?"
"Bukan gitu, Sha...."
"Ya udah, aku udah tahu. Makasih ya." Raisha berkata pelan, memotong ucapan Harris yang belum usai. "Aku turun depan aja."
"Ini belum sampai kos kamu, Sha."
"Nggak apa-apa, daripada Mas merasa nggak nyaman kalau ada aku."
Kalau saja Harris bukan lelaki gentle, maka akan lebih mudah mengabulkan permintaan Raisha yang merajuk. Menurunkan wanita itu di tengah jalan, dan bebas dari air mata sedu sedannya. Sayang, Harris adalah lelaki yang gentle yang pantang meninggalkan wanita sendirian di tengah jalan.