Suara riuh anak-anak menyanyikan lagu ulang tahun tidak membuat Raisha berpindah dari tempatnya. Dia menunggu Harris, padahal, yang ditunggunya sudah jauh meninggalkan tempat ini.
Lama kelamaan, setelah menit demi menit berlalu, Raisha merasa kesal, dia akhirnya tahu, bahwa Harris tidak akan kembali. Dengan perasaan dongkol, dia mendekat ke tempat anak-anak sedang berpesta, bukan hendak menyingkirkan kejengkelannya dengan bergabung dengan semaraknya pesta, tapi Raisha berniat untuk bicara dengan Sheila.
"Shel...." Raisha memanggil Sheila yang sedang sibuk membantu Edna membagi kue, hingga tidak memperhatikan panggilan Raisha.
"Sheila!" Kali ini, Raisha memanggil Sheila lebih keras untuk mendapatkan perhatian Sheila. Apa yang Raisha lakukan membuahkan hasil, Sheila menoleh padanya meski tidak sepenuhnya memberi perhatian. Tangannya masih sibuk memotong kue untuk dibagikan.
"Apa?sini bantuin!" Sheila melambai di tengah kesibukannya.
"Mas Harris kemana?"
"Hah? Oh...udah pulang," balas Sheila seadanya, setengah kesal, karena Raisha menanyakan hal yang menurutnya tidak penting di tengah kesibukannya.
Raisha mendecih mendengar jawaban Sheila, merasa jengkel karena Harris berbohong padanya.
"Kenapa sih?" Sheila bertanya, saat melihat Raisha menunjukkan wajah kesal.
"Dia tuh tadi pamit ke toilet, katanya bakalan balik, malah pulang! Gimana sih! Bikin jengkel tahu nggak!"
"Dia tadi bilang, disuruh bikin laporan sama atasan, makanya buru-buru pulang. Udah deh sini, makan kuenya." Sheila membujuk, memberikan kue dalam cawan dan Raisha menerimanya dengan wajah ditekuk. Dia tidak suka diabaikan seperti ini oleh Harris, dan dia bersumpah demi apa pun juga, akan membuat Harris tahluk padanya.
Raisha merasa begitu tertarik pada Harris. Kalau memang cinta pada pandangan pertama itu ada, berarti itu lah yang Raisha rasakan. Harris adalah sosok yang menurutnya ideal. Memiliki wajah oriental bak oppa-oppa Korea dalam drama, tinggi atletis dan memiliki senyum menawan, oh ya, jangan lupa, juga pekerjaan mapan. Setahu Raisha, bekerja di perusahaan pertambangan memiliki gaji yang cukup lumayan, malah, bisa dibilang lebih dari lumayan. Karena itu, Raisha memandang Harris adalah sosok yang patut dia jadikan calon suami. Sayang, sepertinya lelaki itu tidak menaruh minat padanya.
"Lihat saja nanti...," Raisha menggumam sambil menusukkan garpu ke potongan kue bolu penuh krim yang tadi Sheila berikan padanya.
***
"Lagi di mana Kak?" Suara Sonya menyapa via ponsel Harris saat lelaki itu baru saja sampai di mess.
"Lagi di mess, abis dari rumah Jenar."
"Oh dari rumahnya Kak Jenar...."
"Gimana kabar Jogja?"
"Baik-baik aja sih, Kak, cuma papa tadi pagi kontrol ke rumah sakit, penyakit jantungnya mengkhawatirkan, kata dokter mesti pasang ring."
Harris menghela napas. Bukannya perhitungan, tapi untuk biaya operasi pasang ring jantung bukan hal yang murah. Semua gajinya tiap bulan delapan puluh persen sudah dialokasikan untuk membayar tagihan, dari mana lagi ada uang untuk operasi.
"Sonya, coba kamu bikin BPJS." Harris mengusulkan. Selama ini, keluarganya memang tidak pernah memiliki BPJS karena memilih asuransi swasta dan merasa bahwa tidak akan memerlukan BPJS, ternyata pada akhirnya, realita membuat Harris berubah pikiran. Dengan kondisi keuangan keluarga yang carut marut, BPJS adalah kartu sakti penolong saat sakit.
"Lah, aku nggak tahu gimana caranya bikin."
"Bisa online, atau kalau nggak tahu search aja di google caranya."
"Tapi pelayanan BPJS katanya nggak bagus."
"Nggak usah percaya katanya katanya, banyak juga kok yang tertolong layanan BPJS, yang penting, papa bisa dapat layanan kesehatan."
"Ck...aku tuh malu ngurusnya."
"Kan ngurusnya bisa online, lagian kenapa malu? Kita nggak nyuri, nggak melakukan hal kriminal kok."
"Ya...orang-orang kan bilang kita bangkrut, jadi kere, sampai harus ngurus BPJS."
Harris menghela napas. "Ya emangnya kenapa? Kita emang lagi bangkrut, kenyataanya memang begitu, kamu nggak usah sakit hati. Lagian, BPJS itu sangat membantu saat kita lagi dalam keadaan seperti sekarang dan papa sakit."
"Emangnya, gaji Kakak nggak bisa buat berobat papa?"
"Gaji udah habis buat bayar agunan di bank. Kamu tahu sendiri, rumah sudah digadaikan, kalau aku nggak bayar, rumah bakalan disita." Suara Harris semakin pelan, takut, papanya mendengar dan semakin jantungan.
"Belum lagi untuk bayar kuliah kamu tiap semester, uang saku, uang belanja bulanan buat makan sehari-hari kamu dan papa. Nggak ada sisa lagi, Sonya. Ini aja, aku hidup kelewat hemat, mana pernah aku makan di luar, sehari-hari cuma makanan katering perusahaan, makan di luar kalau ada yang traktir, mungkin, aku sudah diomongkan orang-orang kalau aku ini kikir, tapi biarlah, yang penting masalah ekonomi keluarga kita selesai. Karena itu, kamu juga berusahalah sedikit, nggak usah lagi gengsi. Kalau kebanyakan gengsi mati kelaparan kita."
Alih-alih mendengar jawaban Sonya, Harris malah mendengar suara tangis.
"Sonya, kamu kenapa?" tanya Harris.
"Kakak kok marah-marah sih."
"Ya ampun! Kakak nggak marah. Kakak cuma ngasih tahu kamu, biar lebih berjuang sedikit." Suara Harris melunak. Dia merasa kasian pada Sonya. Mungkin, bagi kebanyakan orang, menganggap Sonya terlalu manja dan cengeng, tapi Harris kakaknya paham, Sonya dilahirkan saat usaha tembakau papanya sedang berada di masa puncak kejayaan. Sonya yang lahir di tahun naga, dianggap membawa keberuntungan, jadilah, dia anak emas papa mamanya. Sejak bayi, Sonya dimanjakan oleh kemewahan, semua orang menyayanginya hingga mungkin, malah membuatnya kehilangan keahlian untuk bertahan dalam kerasnya kehidupan. Sonya bahkan tidak bisa mengerjakan segala hal sederhana, basic life skill, misal memasak dan mengerjakan pekerjaan domestik, alhasil, saat keluarganya bangkrut, Sonya keteteran, dia merasa kehidupan runtuh dan begitu berat menimpanya hingga dia kesulitan bangkit.
Sebagai kakak yang turut memanjakan Sonya sejak lahir, Harris sangat paham, bahwa apa yang harus dilalui Sonya saat ini sangat berat, tetapi memang begitulah kehidupan. Seseorang tidak akan pernah belajar, hingga alam yang akan mengajarinya dengan kekuatan yang terkadang terasa menyakitkan. Ada rasa tidak tega, namun Harris tidak berdaya. Sonya harus belajar mandiri dan juga meninggalkan jauh rasa gengsi.
"Aku nggak kuat, Kak. Mama udah nggak ada, papa sakit-sakitan, kakak pergi kerja jauh, aku sendirian, nggak ada yang bisa bantuin aku."
"Kamu pasti kuat, Sonya. Kakak tahu, kamu gadis yang kuat dan selalu berjuang. Sabar sedikit, kita pasti bisa melewati semua ini."
Sonya tersedu. Dia sudah berusaha tegar selama ini, tapi setelah kepergian mamanya dan juga kepergian Harris untuk merantau mencari rejeki, rasa-rasanya, dia tidak kuat lagi bersikap tegar. Apalagi menghadapi ayahnya yang sehari-hari melamun, menatap kosong, atau, mendadak emosional. Sonya takut, suatu hal buruk terjadi pada papanya, dan dia harus menghadapi semuanya sendirian sementara Harris di perantauan.
"Sonya...sabar sebentar ya...kita pasti bisa nglewatin ini semua. Sebentar lagi, kita pasti bisa kumpul bersama. Kamu semangat kuliahnya, bikin papa bangga dan gembira lagi. Kamu semangat hidup papa, tanpa kamu, papa pasti ngerasa kesepian."
"Maafin, aku terlalu manja." Suara Sonya terdengar serak. Meski letih, tapi gadis itu merasa bahwa kakak kesayangannya juga menjalani hari yang panjang dan melelahkan, jadi, tidak seharusnya dia bermanja dan menyerah. Dia sudah dewasa sekarang, benar apa yang kakaknya katakan, dia harus meninggalkan gengsi dan manja.
Harris melengkungkan bibir membentuk senyum saat mendengar ucapan tulus Sonya. Adiknya beranjak dewasa.
"Kamu adalah perempuan hebat yang Kakak kenal, Sonya."
"Ck...apaan sih!"
"Beneran, Kakak yakin, kamu bakalan jadi dokter gigi yang sukses nanti."
"Amin."
"Sekarang, perjalanan masih panjang, kencangkan ikat pinggang, because life never flat."
Terdengar Sonya tertawa, dan Harris merasa lega, sepertinya, awan mendung nan gelap, akan segera menyingkir dari kehidupannya.