5. Undangan Pesta Ulang Tahun

1223 Words
Sore itu, Harris bersiap pergi ke rumah Jenar, membawakan kado untuk Edna dan Araz, kedua anak Jenar yang berulang tahun. Dengan baju rapi dan wangi, Jenar melajukan mobil kantor melintasi jalanan kabupaten, menuju rumah Jenar yang berada cukup jauh dari kantor. Sampai di sana, suasana sudah terlihat ramai, sepertinya tamu-tamu yang diundang Jenar sudah banyak yang datang. Harris juga mengenali beberapa teman kantor satu divisi dengan Jenar. Harris memarkirkan mobilnya di bawah pohon mangga yang cukup rindang, lalu berjalan ke rumah si empunya hajatan. Harris menyapa beberapa orang yang dia kenal sebelum masuk ke dalam dan bertemu tuan rumah. "Eh, ada Om Harris, ayo salam dulu!" Jenar menyambut kedatangan Harris dengan menyuruh kedua anaknya yang berusia lima dan dua tahun menyalami Harris. Kedua bocah itu menurut, menyalami Harris, lalu menerima kado yang Harris bawa dengan wajah ceria dan mengucapkan terima kasih, setelahnya, mereka kembali asyik dengan dunia mereka sendiri, bermain bersama teman sebaya mereka. "Makasih ya udah datang." Jenar berkata tulus. "Mau minum apa? Aku ambilin." "Udah, gampang, nggak usah repot, nanti aku ambil sendiri aja." "Oke deh, aku nemenin anak-anak dulu sebentar ya?" pamit Jenar yang ditanggapi Harris dengan anggukan. Tidak lama Jenar pergi, istri Jenar, Sheila muncul dan menyalami Harris. "Makasih udah datang ya Mas Harris. Sendiri aja nih?" tanya Sheila sambil mengedarkan pandang. "Iya sendirian, abis yang lain udah duluan berangkat." "Oh gitu.... mau minum apa nih?" "Udah nggak usah repot, nanti aku ambil sendiri." "Beneran ya? Ambil sendiri, anggep aja rumah sendiri." "Aku ngurusin tamu-tamu dulu ya?" Sheila dengan wajah ramah berpamitan. Harris mengangguk lalu berjalan ke meja panjang di mana tersedia berbagai cemilan dan minuman. Harris kira, acara ini penuh dengan anak-anak, dan juga ada badut, tapi ternyata jumlah tamu orang dewasa lebih banyak ketimbang anak-anak dan juga, acaranya sepertinya hanya makan-makan saja, tanpa ada rundown acara yang tertata. Tapi ya sudahlah, Harris tidak ingin mengkomplain acara yang disebut perayaan ulang tahun Edna dan Araz ini, terserah yang punya acara saja. Harris melangkah ke meja panjang, mengambil semangkuk es buah yang nampak segar, lalu kembali duduk sendirian menikmati es buah sambil mengamati beberapa anak yang berlarian. Saat Harris asyik dengan es buahnya, seorang perempuan mendekatinya. "Hai, boleh duduk di sini?" tanyanya pada Harris. "Ah, oh ya...silahkan." Harris menjawab sembari menggeser duduknya agar perempuan itu bisa duduk nyaman di sisinya. "Sendirian aja?" "Oh...eh iya...." "Nggak gabung sama yang lainnya?" "Ng...nanti, mau minum es buah dulu...." Harris menjawab seadanya. "Kenalin, aku Raisha." Perempuan itu mengulurkan tangannya. "Oh iya...Harris." "Kamu temennya Mas Jenar ya?" Raisha bertanya pada Harris. "Iya." "Kok aku baru lihat sih?" "Aku baru aja bergabung, belum lama, baru dua bulanan." "Ah pantesan nggak pernah lihat." "Boleh nggak aku minta nomer kontak kamu?" Raisha bertanya agresif, membuat Harris sesungguhnya merasa kurang nyaman tapi karena menghormati Raisha yang juga tamu undangan Jenar sahabatnya, membuat Harris bertahan menanggapi. "Kebetulan aku nggak hafal nomer hpku karena baru aja ganti." Harris beralasan. "Kalau gitu, kamu catat aja nomer hp aku, nanti kamu kontak aku, oke?" Raisha mengerling centil. "Oh iya... tapi aku nggak bawa pulpen." "Catat dong di hp kamu." "Wah, kebetulan hp aku juga ketinggalan di mess. Tadi keburu-buru beli kado buat anak-anak, terus langsung berangkat." Raisha nampak tidak senang, karena jelas Harris seperti mencari alasan, meski begitu Raisha tidak bisa marah atau menunjukkan kejengkelan, mereka baru saja berkenalan, tidak ada hak Raisha untuk kesal pada Harris, yang bisa dilakukannya hanya bersabar. "Ya udah, nanti aku nanya nomer hp kamu ke Sheila aja ya," ucap Raisha, yang membuat Harris sebenarnya merasa tidak suka. Dia mengatakan berbagai alasan karena tidak suka pada sikap agresif Raisha. Bukannya sombong atau sok merasa ganteng, tapi Harris merasa Raisha adalah tipe perempuan yang suka mendesak dan memaksakan kehendak. Harris tidak ingin usahanya membantu ekonomi keluarga terdistraksi oleh hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti kehadiran Raisha misalnya. Harris hanya menggumam pelan menanggapi ucapan Raisha. Dia mau menolak mentah-mentah tapi merasa tidak enak dan merasa tidak sopan, padahal sesungguhnya dia keberatan jika Raisha mengetahui nomer ponselnya. Entah mengapa, dia tidak ingin berhubungan lagi dengan Raisha setelah hari ini. "Eh, aku keluar dulu ya...mau ngerokok." Harris beralasan. "Yah, kok aku ditinggalin sih! Kamu males ya ngobrol sama aku?" "Enggak sih, cuma aku lagi pengen ngerokok di luar aja." "Kalau gitu, aku temenin ya?" Raisha berkata semangat. "Jangan!" Harris sontak melarang. "Kok jangan?" Raisha merengut. "Asap rokok nggak baik kalau kehirup kamu." "Nggak cuma aku, kamu juga nggak baik kalau ngehirup asap rokok lho, Mas. Makanya, nggak usah ngerokok ya? Kita ngobrol aja di sini." Harris mati kutu, kehabisan akal bagaimana menghindari Raisha. Sebenarnya, tidak ada yang salah pada Raisha. Wajahnya cukup cantik, meski terlihat jelas hasil makeup, pakaiannya cukup glamor, mengingat mereka sedang berada di sebuah kabupaten yang jauh dari perkotaan, tapi Harris merasa tidak nyaman bercakap dengan Raisha, meski perempuan itu cukup ramah dan renyah dalam menyapa. "Kamu aslinya mana sih?" Raisha meneruskan tanya, tanpa menunggu jawaban Harris untuk mengiyakan mengobrol dengannya. "Eh...Jogja." "Oh, Jogja toh...sama aku juga dari Jogja. Kamu, Jogjanya mana?" Raisha semakin tertarik bicara dengan Harris karena merasa berasal dari daerah yang sama di perantauan ini. "Kota Jogja." "Kota Jogja sebelah mana?" "Timoho." "Oh di situ. Temenku ada yang rumahnya di situ, rumahmu di jalan apa?" "Jalan Mawar." "Wah, perumahan elit ya?" "Nggak juga sih...." Harris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kalau kamu, rumahnya Jogja sebelah mana?" "Aku Bantul." "Oh, Bantul." "Iya deket sama Parangtritis, kapan-kapan main ke rumahku ya?" "Oh...oke...." "Kamu udah lama kerja di sini? Kok aku baru lihat sih?" "Aku baru aja masuk kerja di sini kok." "Satu kantor sama Mas Jenar ya? Wah pasti gajinya besar ya?" "Ah, nggak juga." Harris merasa tidak nyaman. Apa-apaan ini, kenal juga baru beberapa jam sudah bicara soal gaji? Bagi sebagian orang mungkin itu cuma bagian dari obrolan omong kosong, tapi bagi Harris ini bukan topik pembicaraan yang asyik dikulik. Kenapa tidak membicarakan hal yang lebih umum? Umpamanya, membicarakan rencana perpindahan ibu kota negara atau pertandingan bola. Tapi ya...mungkin kalau perempuan diajak bicara soal bola, banyak tidak mengertinya. "Kamu udah punya pacar belum sih?" Apa-apaan lagi ini? Bertanya hal yang menjurus pribadi. Harris benar-benar tidak suka. Sudah punya pacar atau belum kan bukan urusan Raisha, atau, ini semua karena Harris masih terluka karena patah hati dan membuat pertanyaan Raisha yang sebenarnya biasa saja menjadi seperti pertanyaan menyebalkan. "Aku, ke toilet sebentar ya." Harris mengalihkan pembicaraan seraya beranjak dari kursi. "Oh...iya...nanti kita ngobrol lagi ya Mas Harris." Harris mengangguk cepat dan segera masuk ke ruangan dalam, mencari toilet, meski sebenarnya, dia tidak ingin buang air. Usai berpura-pura dari toilet, Harris tidak kembali ke ruang tengah, dia memilih langsung keluar, kebetulan ada Sheila yang sedang sibuk menyapa tamu, dan mengarahkan anak-anak untuk berkumpul menyanyikan lagu ulang tahun dan sesi tiup lilin ulang tahun. "Eh, Shel, aku balik duluan ya?" pamit Harris. "Kenapa?kok buru-buru? Ini Edna sama Araz lagi mau tiup lilinnya loh...." "Maaf banget, tapi aku harus kerjain laporan marketing, kebetulan barusan Pak Wiesan udah nelpon minta laporannya dikirim." "Ah...gitu ya...." Sheila nampak kecewa. "Iya...maaf banget ya...." "Kalau gitu makasih ya udah dateng." Harris mengangguk dan menjabat tangan Sheila. "Nanti tolong pamitin ke Jenar ya?" "Iya." Sheila menjawab singkat, sebab perhatiannya terbagi pada riuhnya anak-anak yang berteriak-teriak. Harris bergegas keluar rumah dan pergi kemana mobilnya tadi diparkir. Dia melajukan mobilnya menjauh dari perumahan tempat tinggal Jenar, menuju Elok Saiyo, sebuah rumah makan Padang untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD