Matahari kembali menampakkan sinar terangnya, sedangkan Ara, masih terlelap di atas tempat tidurnya, karena rasa nyaman yang ia dapatkan saat ini adalah kali pertama untuknya.
Gadis itu mulai membuka kelopak matanya, berusaha menyesuaikan pandangannya. Dan setelah seluruh kesadarannya kembali, Ara seketika terbangun dari posisi berbaringnya dan duduk sembari mengedar pandangannya ke setiap sudut kamar hotel. Ia pun menundukkan kepala, melihat pada pakaiannya yang masih melekat pada tubuh, lalu menghela napas lega.
Gadis itu segera berdiri dan hendak masuk ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika melihat secarik kertas di atas nakas.
Urusan kita selesai.
Setelah membaca pesan itu, ia tersenyum lega, karena akhirnya Ara dapat membayar utangnya tanpa harus memberikan tubuhnya yang belum pernah tersentuh sama sekali pada pria asing seperti Atthala.
"Terima kasih, Tuan. Terima kasih, penyelamatku," gumam Ara sambil memeluk secarik kertas dengan tulisan tangan Atthala.
***
Gedung Dekarsa Grup yang memiliki dua gedung bertingkat lima belas yang saling terhubung ternyata memiliki sebuah ruang rahasia, atau lebih tepatnya … ruang bawah tanah yang dibuat oleh Atthala khusus untuk markas BlackNorth.
Dalam ruangan itu, nampaknya sudah ada Roy yang sedang mengutak-atik ribuan angka yang hanya dimengerti olehnya, sedangkan Kevin dan James sedang memperbincangkan Rafael, si pria pembunuh berdarah dingin.
"Selesai," cjar Roy sembari menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursinya. Pria itu mengulurkan tangannya, lalu menekan tombol enter pada keyboard. "Lihat."
Tepat setelah melakukan hal itu, pada layar besar di hadapan mereka, terpampang jelas sederatan daftar nama client yang pernah dan akan bekerja sama dengan Redhole. Penyelundupan senjata dan perdagangan anak-anak dan wanita yang akan mereka export ke negara lain, yang membutuhkan manusia untuk dijadikan bahan ujicoba dalam percobaan-percobaan yang dilakukan para ilmuan dan laboratorium pun, tak luput dari penemuan yang Roy temukan.
"Benedic?" gumam Atthala.
"Kau mengenalnya?" tanya Roy.
Atthala mengangguk. "Perusahaannya pernah kalah telak oleh Dekarsa Grup. Kerugian perusahaannya pun mencapai delapan puluh juta dollar."
"Dari yang ku lihat, sepertinya pria itu sedang merencanakan sesuatu bersama Redhole," ujar Roy dengan tatapan menyelidik.
"Kita harus terus memantau gerak-gerik Benedic!" titah Atthala.
Kevin yang tengah memperhatikan daftar nama itu, menganggukkan kepala, sedangkan Roy, kembali menekan tombil enter, hingga menampilkan sebuah hasil pencarian pada layar besar.
"Salinan kasus kejahatan yang Benedic perbuat ternyata jatuh pada tangan seseorang yang bernama Jack sekitar tujuh tahun yang lalu. Jack mencuri sebuah memory card saat dirinya masih bekerja pada Benedic. Dan ternyata, di dalam memorycard tersebut, terdapat sebuah salinan video berdurasi lima puluh detik, di mana Rafael, ketua Redhole sedang menyelundupkan sebuah bom nuklir mematikan yang dapat membumihanguskan satu negara sekaligus. Saat ini, mereka sedang mencari, di mana memorycard itu berada," jelas Roy sedetail mungkin.
"Apa keberadaan Jack sudah ditemukan?" tanya Atthala.
Roy mengangguk. "Mereka berhasil menemukan Jack, lalu membunuhnya."
Semua pasang mata menatap Roy. "Lalu bagaimana dengan memorycardnya? Apa Rafael sudah mengambilnya?" tanya James.
"Memorycard itu dibawa oleh istri dari sahabatnya Jack, Betris."
"Bagaimana bisa?" tanya Kevin.
"Jack memberikan benda tersebut, untuk menyelamatkan bukti yang dia miliki, dan Betris sendiri … entah di mana keberadaannya,” lanjut Roy.
"Kejahatan apa sebenarnya yang diperbuat Benedic?" tanya Kevin.
"Dia bekerja sama dengan BigMedical, menemukan obat untuk penyakit Ebola. Namun, saat diuji coba pada manusia, obat yang sudah mereka buat gagal total. Semua manusia yang menjadi bahan uji coba virus tersebut tak dapat diselamatkan. Jack mempunyai salinannya. Bahkan, video ketika penyuntikan mutasi virus dan obat yang tak bereaksi apapun itu, tersalin di dalam memorycard," jelas Roy melanjutkan.
Atthala menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam sesaat mendengar penjelasan Roy.
"Ya, dan Ana termasuk salah satu manusia percobaan mereka," lanjut Atthala dengan rahang terkatup.
***
Ara berusaha menahan napas, saat dirinya mulai berjalan memasuki pekarangan rumah. Tetapi … ada yang berbeda dengan suasana hari ini. Di depan pintu, Ara melihat, Catty sedang berdiri dengan wajah ketakutan. Gadis itu mengerutkan keningnya lalu segera menghampiri wanita paruh baya itu.
"Ibu, apa yang terjadi?" tanya Ara.
"Mereka menangkap Ayahmu," jawab Catty dengan suara bergetar.
"Mereka? Siapa?" Tanya Ara lagi semakin kebingungan.
"Rafael, mereka menangkap Ayahmu. Pria yang pernah datang ke rumah ini, bos Ayahmu!" jelas Catty.
"Kenapa mereka menangkap Ayah, Ibu?"
"Ayahmu telah menyembunyikan, apa yang mereka cari," jawab Catty Lagi. Wanita paruh baya itu mendorong putrinya masuk. "Sebaiknya … kamu segera masuk! Andreas, teman ayahmu akan ke sini, dan jangan keluar sebelum aku memanggilmu!" titah Catty.
Ara pun hanya bisa menuruti perintah ibunya, dan berjalan menaiki tangga kecil yang menjuntai, menuju kamarnya yang tersembunyi di loteng rumah tersebut. Setelah tiba di atas, gadis itu menarik kembali tangga tersebut, lalu menutup dan mengunci atap yang dijadikan pintu menuju kamarnya.
Belum sempat Ara mengganti pakaiannya, suara keributan di ruang tengah rumahnya, tiba-tiba terdengar cukup keras, membuat gadis itu seketika terdiam.
"Aku tidak tahu tuan, aku benar-benar tidak tahu." Suara Catty memohon dengan kedua telapak tangan menyatu. Ara yang tengah mengintip dari celah pintu, seketika membekap mulutnya.
"Di mana dia sembunyikan Memorycard itu? JAWAB!" bentak pria berbadan kekar, sambil menodongkan pistol, tepat pada kepala Catty.
"Aku benar-benar tidak tahu, Tuan," jawabnya dengan wajah ketakutan sambil menangis.
Merasa kurang puas dengan jawaban Catty, pria kekar itu menatap pada beberapa rekannya. "Geledah rumah ini ke setiap sudutnya, ambil apapun yang mencurigakan. Cepat!”
Ara yang menyaksikan itu, hanya bisa bersembunyi dengan tangan menutup mulutnya. Beruntungnya, lampu kamar yang semula hendak ia nyalakan, terputus, hingga kamarnya masih tetap gelap gulita. Dalam hatinya, gadis itu ingin keluar dari kamarnya dan menolong Catty. Namun … dia tak ingin membantah perintah Catty, yang menyuruhnya untuk tidak keluar sebelum wanita itu memanggilnya.
Para anak buah pria kekar itu kembali berkumpul di tengah rumah, sembari menggelengkan kepalanya.
Dan tepat setelah itu ….
DOORR!
Suara tembakan yang cukup keras, berhasil membuat Ara mematung. Ia tatap melalui celah kecil itu, tubuh ibunya mulai terkulai, dengan darah segar yang terus keluar dari kepalanya.
Ya … Catty mati di tangan pria itu.
Ara menangis dalam diam, dengan tubuh yang begitu saja melemas. Tatapan matanya kosong, menatap jauh tanpa arah. Hingga hanya berselang beberapa detik, Ara pun akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
‘Ayah, Ibu … meskipun kalian membenciku sejak aku lahir, meskipun kalian selalu membentak dan memukuliku, meskipun kalian menganggapku tidak ada, kalian tetap orang tuaku. Dan aku tetap menyayangi kalian bahkan ketika kalian mengharapkan kematianku.’
***