"Briant, apa kau bisa menolongku? Aku sedang kesulitan," tanya Ara pada teman satu pekerjaannya.
Pria yang tengah menyeka gelas-gelas kecil itu, menoleh ke sisi kirinya. "Apa yang bisa aku bantu, Ara? Katakanlah."
"Apa kau bisa meminjamkanku uang?" tanya Ara dengan suara melirih.
Pria itu menganggukkan kepalanya ragu-ragu. "Berapa yang kau butuhkan, Ara?"
"Lima ratus ribu dollar," jawabnya.
Briant seketika menghentikan kegiatannya lalu kembali menoleh pada Ara.
"Apa kau sedang bercanda? Kita bekerja di sini dengan upah lima puluh dollar perhari! Dan kau meminjam lima ratus ribu dollar? Sepertinya … menjual kedua ginjalku saja masih belum cukup,” jawab Briant.
Mendengar jawaban terakhir temannya itu, membuat Ara seketika menatap intens pada Briant. "Di mana aku bisa menjual ginjal?" tanya Ara menanggapinya dengan serius.
Briant menatap tak percaya pada gadis di hadapannnya itu, lalu menggelengkan kepala, sembari mengibaskan tangannya, menyuruh Ara keluar dari pantry.
Melihat penolakan itu, Ara pun menunduk dan berjalan keluar dengan langkah kaki tertatih.
“Ya Tuhan ….”
***
Tanpa terasa, sudah empat hari sejak Perjanjiannya dengan Atthala berlalu. Gadis itu hanya mampu mengumpulkan lima ratus dollar dari hasil uang tips dan gaji hariannya selama bekerja di Nightclub. Ara menghela napas berat, menundukkan kepala sangat dalam, lalu memasukkan kembali buku tabungannya ke dalam saku.
Tanpa bersuara, gadis itu segera mengganti pakaian kerjanya dengan kaos hitam kebesaran, lalu berjalan meninggalkan tempat kerjanya untuk kembali pulang ke rumah.
Karena jarak rumah dan Nightclub, tempatnya bekerja sangat dekat, hanya membutuhkan waktu lima belas menit, gadis itu sudah tiba pada jalan besar menuju rumahnya. Tepat pada belokan terakhir, gadis itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, saat melihat orang-orang berpakaian serba hitam, dan satu unit mobil hitam nampak terparkir di depan pintu rumahnya.
Gadis itu mengerutkan dahi. “Siapa mereka?” gumamnya.
Ara beringsut, mencoba bersembunyi di balik dinding kokoh samping rumahnya, saat sang Ayah beserta seorang pria tua berjalan keluar melewati daun pintu rumahnya.
"Aku membutuhkan benda itu secepatnya. Siapkan besok. Kita akan berangkat dini hari!" ucap Pria tua itu.
"Baik, bos," jawab Ayahnya dengan tegas.
Pria tua itu segera masuk ke dalam mobil, diikuti para anak buahnya lalu pergi meninggalkan pelataran rumah sederhana itu. Ara bisa mendengar samar-samar, suara ibunya tengah bertanya pada sang Ayah.
"Siapa mereka, Sayang?" tanya Catty, Ibu Ara.
"Dia Bosku," jawab Arnold, Ayah Ara.
"Ketua RedHole?" tanya Catty dengan suara meninggi.
Taka da jawaban apapun dari Arnold, dan Ara yakini, jika sang ayah hanya menjawab dengan anggukan kepala. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu melanjutkan langkahnya menuju rumah.
"Aku pulang!" ucap Ara.
Belum sempat gadis itu menaruh barang bawaannya, sang Ayah sudah berjalan mendekat, lalu menengadahkan tangannya. "Mana Uangku?" Bukannya membiarkan Ara istirahat, Arnold justru melakukan hal sebaliknya.
"Aku belum mendapat bayaranku, Ayah," jawab Ara, berbohong.
Mendengar jawaban putrinya, Arnold berdecih, lalu menarik tas yang sedari tadi Ara pegang erat-erat.
"Apa yang kau lakukan, Ayah?" tanya Ara berusaha menggenggam lebih kuat tasnya.
"Berikan uangmu itu padaku, cepat!" bentak Arnold, sambil terus menarik lebih kuat lagi hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan tas putrinya itu.
Pria paruh baya itu menggeledah tas Ara, lalu menumpahkan isinya di atas lantai, hingga akhirnya buku tabungan Ara ikut terjatuh. Arnold mengambil buku itu lalu membukanya sembari melirikan mata pada Ara.
"Lalu … apa ini? Ha?" bentak Arnold.
Gadis itu hanya menunduk, "itu untuk melunasi uang yang aku pinjam dari seseorang, Ayah."
"BERANI KAU BERBOHONG PADAKU! KAU BENAR-BENAR SUDAH GILA! KE MARI!!" teriak Arnold sambil meraih sebuah kayu panjang yang tersimpan di sudut rumah itu.
Bukkk!
Bukkk!
Tanpa ada rasa belas kasihan, Arnold memukulkannya pada punggung dan kaki Ara sekencang-kencangnya, tanpa henti.
"Ayah, aku mohon. Hentikan,” pinta Ara, di sela isak tangisannya.
Bukannya berhenti, pria paruh baya itu justru semakin menggila dan terus memukuli tubuh Ara, sedangkan Catty, nampak tak memperdulikannya dan kembali menonton acara televisi kesukaannya.
Arnold menarik napas dalam-dalam, mengatur emosinya sesaat, kemudian ….
Buukk!
Pukulan terakhir dan paling kencang di layangkan pada b****g Ara membuat gadis itu melentingkan tubuhnya, menahan rasa sakit yang luar biasa.
***
Tept satu minggu sejak perjanjian itu dibuat. Atthala yang sangat benci dengan kata mengingkar dan diingkari janji, kini sudah menunggu di ruang vvip kamar satu bar, tempat di mana Ara bekerja.
Gadis dengan rambut terikat itu membawa pesanan Atthala yang diperintahkan Adam, lalu berjalan masuk ke dalam.
Ya … hanya ada Atthala, tanpa ketiga temannya, dan juga wanita penghibur. Dengan hati-hati, Ara menaruh pesanan itu di atas meja, dengan harapan … Atthala takkan menanyakan perihal kesepakatan yang sudah mereka buat.
"Bagaimana?" tanya Atthala to the point.
Ara yang baru saja selesai dengan kegiatannya, hanya menundukkan kepala sembari mengeluarkan sebuah buku tabungan dari dalam afron di pinggangnya.
"Aku sudah mengumpulkanya hingga lima ratus dollar. Tetapi …." Gadis itu menjeda ucapannya. Sedangkan Atthala, menatap datar, menunggu gadis itu melanjutkan perkataannya. "… Ayahku mengambilnya. Aku sudah berusaha mengumpulkan kembali, dan hanya bisa terkumpul dua ratus dollar saja," lanjut Ara.
Pria berwajah Asia itu nampak tersenyum tipis dengan alis terangkat. "Berarti … kau harus menyerahkan tubuhmu, gadis kecil,” cetus Atthala.
"Beri aku waktu satu bulan. Aku mohon." pinta Ara memohon.
Atthala menggelengkan kepalanya, lalu berdiri dan menarik pergelangan tangan Ara, membawanya keluar dari bar tersebut, hingga tiba di depan mobil Ferrari putih miliknya.
"Masuk!" titahnya, sambil membuka pintu, lalu mendorong tubuh Ara hingga tersungkur di dalam mobil, kemudian menutupnya. Atthala pun berjalan memutari mobil dan masuk di sisi pengemudi.
"Tuan … aku mohon," lirih Ara.
Atthala tak menggubris permintaan gadis itu. Ia menyalakan mesin mobil, lalu melajukannya dengan kecepatan tinggi, menuju DK Hotel yang berjarak cukup jauh dari bar.
Ara terdiam setelah segala usahanya memohon pada Atthala tak ada yang berhasil. Dalam hati, dirinya ingin terus memberontak, namun sekujur tubuhnya masih terasa sangat sakit, karena bekas pukulan hebat dari sang Ayah. Ara hanya menunduk pasrah dan menangis dalam diam.
Setibanya di DK hotel, seluruh karyawan yang berpapasan dengan Atthala memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, tak terkecuali managernya. Atthala mengambil kunci vvip, lalu masuk ke dalam lift untuk menuju lantai paling atas.
Setibanya di depan kamar, Atthala menyentuhkan cardlock-nya, hingga pintu pun terbuka.
Tanpa merasa ragu, pria itu mendorong tubuh Ara cukup keras, hingga gadis itu sempoyongan dan masuk ke dalam kamar.
"Aku paling tidak suka dengan orang-orang yang mengingkar janji. Perjanjian kita hanya satu, membayar uang yang aku pinjamkan dalam jangka waktu seminggu. Jika kau tak dapat memenuhi perjanjian kita, kau harus membayarnya dengan tubuhmu," ucap Atthala. Pria itu berjalan semakin mendekat, kemudian memerangkap tubuh Ara yang baru saja menabrak dinding kamar hotel.
Manik mata mereka beradu, saling menatap dalam diam. Atthala mendekatkan wajahnya, lalu mencium dengan liar bibir gadis yang hanya bisa terdiam di tempatnya, tanpa ingin membalas.
Atthala menghentikan ciumannya dan perlahan membuka kancing pakaian Ara satu persatu, kemudian melemparnya ke sembarang tempat. Ia membalikkan tubuh Ara untuk membuka pengait bra. Namun tangan Atthala tiba-tiba terhenti, ketika ia mendapati tubuh penuh lebam dan luka bekas sayatan di sekujur tubuh Ara.
Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan menjauh dan duduk di atas sofa. "Pakai kembali pakaianmu!" titah Atthala.
Ara yang merasa kebingungan segera mengambil pakaiannya yang tergeletak di atas lantai, lalu segera memakainya kembali.
"Duduk!" Ara pun menuruti perintah pria itu, dan duduk di tepi tempat tidur.
"Terima kasih, Tuan," ucap Ara, merasa lega.
Atthala yang mengerti maksud ucapan terima kasih Ara, mendengkus kesal. "Aku hanya tidak ingin meniduri wanita yang penuh dengan luka lebam disekujur tubuhnya," ucap Atthala, sarkas.
Ara menunduk sembari menarik pakaian serta rok yang ia kenakan agar menutupi luka lebam pada pahanya.
"Lalu … bagaimana aku harus membayarmu, Tuan?"
"Kau tidak perlu membayarnya. Cukup temani aku tidur malam ini saja,” jawab Atthala.
Mata Ara membelalak. Baru saja dia merasa lega karena tubuhnya tak jadi disentuh Atthala, sekarang pria itu justru meminta Ara menemaninya tidur.
"Aku tak akan menyentuhmu. Kau hanya perlu berbaring di sampingku saja. Suasana hatiku sedang buruk hari ini, sebaiknya kau tidak mencari gara-gara dengan menolak permintaanku!” jelas Atthala seraya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Mau tidak mau, gadis itu akhirnya menuruti permintaan Atthala, karena yang terpenting saat ini, utangnya dianggap lunas tanpa perlu memberikan tubuhnya pada Atthala. Ia rebahkan tubuhnya, dengan wajah meringis kesakitan.
"Tidurlah!" titah Atthala, datar.
Dan tanpa terduga, di detik berikutnya, Ara sudah terlelap tidur di samping Atthala.
Pria itu memperhatikan wajah Ara dalam-dalam.
"Jika bukan karena kau, hari terburukku ini akan jadi hari yang paling buruk," gumam Atthala.
Pria itu meraih ponselnya yang sejak tadi bergetar di atas nakas, lalu menggeser tombol hijau pada layar ke atas.
"Rafael, ketua Redhole sudah dibebaskan," ujar Roy dari seberang telepon.
Mendengar nama itu disebutkan, rahang Atthala seketika terkatup rapat. "Darimana kau tahu?" tanya Atthala.
"Aku meretas jaringan keamanan penjara Federal, dan melihat daftar nama narapidana di sana. Aku menemukan nama Rafael Christop, ketua Redhole yang dinyatakan bebas hari ini," jawab Roy.
Tanpa memberi jawaban, Atthala menutup panggilannya tersebut, dengan kedua tangannya terkepal.
Redhole … mafia yang melakukan penyelundupan senjata ke seluruh dunia, kini sudah kembali. Rafael ketua Redhole, musuh bebuyutan Atthala dan BlackNorth, pria yang telah membunuh Anatha, adik perempuan satu-satunya yang paling Atthala sayangi.
***