Terhitung sepuluh lentera menyala dalam kegelapan. Lentera sebanyak itu tetap tidak mampu menerangi gelapnya pelabuhan. Tidak ada lentera lain yang menyala. Penerangan di bangunan-bangunan sekitar pelabuhan juga padam. Tak ada lampu jalan yang menyala padahal setiap tiga meternya ada tiang lentera di kanan kiri jalan utama. Tempat itu dikuasai gelap yang menyesakkan.
Danasatya segera menyingkir pada detik pertama ia merasakan bahaya. Lima pria paruh baya yang bersamanya, segera mengerti sinyal bahaya yang ia berikan. Mereka mengekor di belakangnya, bersembunyi ke bayangan apapun dengan segera ketika barisan lentera bergerak semakin dekat kepada mereka. Seakan mereka telah terbiasa dan terlatih untuk situasi seperti ini, enam pria itu bergerak dengan cepat dan tangkas. Mereka berpencar dan memilih posisi teramannya masing-masing.
Danasatya semakin merundukkan kepalanya lebih rendah ketika siluet cahaya dari lentera mencapai posisi persembunyiannya. Dia mengambil tempat di balik tumpukan kayu-kayu yang sangat dekat dengan jalan utama menuju ujung pelabuhan. Ada sela-sela tumpukan itu memberikan penglihatan untuknya mengetahui apa yang sedang terjadi.
Rombongan yang tiba, tiba-tiba berhenti tepat di depan Danasatya bersembunyi. Napasnya tertahan detik itu juga. Danasatya berusaha tetap tenang dan mengendalikan ketegangannya, meski debar jantungnya semakin bertambah kencang.
Dari cela sempit itu, Danasatya melihat rombongan yang sebenarnya terbilang besar. Berkat sinar redup lentera, setidaknya dia menghitung ada lima belas orang yang berdiri di sana. Mereka diam, tak satupun yang bersuara. Formasinya rapi, seakan mereka tak boleh beranjak dari posisi masing-masing sebelum ada perintah. Semua wajah ditutup kain hitam, menyisakan segaris mata dan rambut. Pakaian mereka sangat biasa, seperti pekerja kasar pelabuhan yang sering ditemui Danasatya. Namun, ini terlalu mencurigakan bila mereka adalah pekerja kasar pelabuhan biasanya. “Kamuflase.”
Sebuah isyarat ditangkap Danasatya dari pria paling besar badannya yang berdiri paling belakang. Isyarat tangan yang membuat semua orang melakukan hal yang sama, memberi jalan. Lentera dipadamkan serempak, hanya menyisakan dua lentera paling depan di titik pria berbadan besar itu berhenti.
Seseorang tiba di sana, di titik pertemuan itu, duduk di atas kudanya. Danasatya menggeser tubuhnya sedikit untuk mendapatkan penglihatan lebih luas. Itu kuda yang besar. Kuda dari spesies yang jarang dilihatnya di Zakaffa. Rambut lehernya pirang dengan silver di ujungnya, sementara tubuhnya hitam legam. Tubuhnya kekar dan lebih tinggi dari kuda biasa. “Aku belum pernah menemui kuda jenis itu. Kuda yang sangat cantik,” komentarnya.
Pria berbadan besar itu membungkuk seakan memberi hormat paling dalam ketika pria berkuda itu turun. Mereka tak bersuara. Komunikasi yang terjadi hanya kombinasi isyarat tangan dan anggukan berbarengan. Seakan ada bahasa telepati yang saling disepakati sebelumnya.
Rombongan kecil lainnya menyusul dari belakang dengan gerobak kecil yang ditutup rapat. Danasatya tak bisa mengidentifikasinya lebih detail, gerobak itu serba hitam dan tempat ini terlalu gelap. Hanya getaran tanah tipis yang menjadi petunjuknya bahwa gerobak yang mereka dorong itu berhenti tepat di depannya. Pria berkuda mendekat, membuka penutup gerobak dan mengintip sebentar. Dia kemudian mengangguk sebelum akhirnya kembali pada kudanya. Mereka saling membungkuk sebagai salam perpisahan. Pertemuan selesai. Rombongan itu memencar menuju empat arah mata angin.
“Sesingkat itu?” cetus Danasatya kecewa. Dia cukup reaktif hingga tak sadar tangannya menghantam satu kayu hingga tumpukan itu berjatuhan tiba-tiba. Bunyi gedebuknya terlalu kentara di tempat sesunyi pelabuhan malam ini. Tepat ketika itu tiba-tiba yang lain terjadi. Semua lentera jalanan menyala kompak dan wujud Danasatya terekspos sempurna. “Sial!”
Mereka berkontak mata. Pria pemimpin rombongan belum sepenuhnya pergi. Dia masih ada di sana, berdiri tepat di hadapan Danasatya dan melotot marah. Dia sangat kaget.
Tempat itu membeku, terutama Danasatya yang tertangkap basah. Dalam hitungan detik, muncul pria lainnya yang menyandera anggotanya. Mereka datang dari empat arah mata angin lalu berkumpul di antara Danasatya dan pimpinan mereka. Satu perintah taktis, lima leher mereka dipenggal bersamaan.
Danasatya menganga dan terbelalak. Jantungnya ingin meledak karena terkejut. Kepalanya kosong. Terangnya cahaya jadi lebih silau dari biasanya.
“Tangkap dia!”
“Sial!”
Seluruh kesadarannya kembali detik itu. Dia berlari. Hanya itu satu-satunya langkah yang muncul di kepalanya. Lari!
Danasatya berlari ke belakang menjauhi jalan utama pelabuhan, melewati sisa lahan pekarangan belakang toko-toko di pelabuhan. Berkat lentera jalan yang kini menyala, tempat yang gelap itu jadi sedikit terang. Danasatya melihat jalan lurus yang tidak berujung karena gelap total di depan sana, tapi ia kenal tempat ini dengan sangat baik. Di belakangnya, mengejar selusin pria berbadan kekar dengan kemampuan fisik yang prima. Mereka berlari dengan kencang dan semakin lama jarak di antara mereka semakin dekat.
Danasatya memaksa tubuhnya bekerja lebih keras lagi. Jantungnya berdegup luar biasa, seperti bom yang akan meledak. Napasnya terengah, pendek dan kering. Kakinya mulai kehabisan daya. Langkahnya semakin lebar, semakin kehabisan daya dan semakin menyeret. Dia menoleh lagi ke belakang dan jaraknya dengan mereka tak sampai seratus meter. “Seharusnya aku menurut untuk belajar bela diri!” gerutunya penuh sesal.
Mereka sudah sangat jauh dari titik awal. Jauh meninggalkan bibir pelabuhan. Lentera mulai jarang dan jalanan semakin remang. Berlari lima ratus meter lagi, dia akan membawa mereka ke perkampungan terdekat dengan pelabuhan. “Aku tak bisa pergi ke sana!”
Danasatya berbelok tajam ke kiri. Dia menyusuri jalan utama pelabuhan lagi dan matanya terbelalak ketika mengetahui kejutan yang lebih dahsyat. Selusin pria yang lain ikut mengejarnya. Kini ada dua lusin orang yang berusaha menangkapnya dari dua arah. Danasatya mulai kehabisan energi untuk tetap berlari. Langkahnya benar-benar melambat dan napasnya semakin pendek. Dia harus tetap berlari sekalipun ia sadar ini akan berbahaya untuk tubuhnya. Tidak ada pilihan.
Danasatya menoleh lagi, dan mereka semakin dekat, tak sampai sepuluh meter dan… dia tersungkur. Kehabisan napas. Mereka mengepungnya, sama terengahnya dengan dirinya. Tidak ada suara yang Danasatya dengar kecuali detak jantungnya yang sekeras tabuhan gendang. Sangat cepat dan menyakitkan. Dia berusaha menarik napas sepanjang mungkin, dengan hidung dan mulutnya. Mengisi sebanyak-banyaknya kapasitas paru-parunya. Diafragmanya bekerja keras. Dadanya mengembang kempis. Wajahnya memerah. Danasatya harus mendapatkan kembali napasnya. Ia tidak peduli dengan lusinan pria yang kini mengepungnya. Dia telah menjadi buruan empuk yang tertangkap basah. “Bernapas! Tetap bernapas, Dan!” bentak Danasatya mengingatkan dirinya sendiri.
Belum selesai ia mengembalikan napasnya, lehernya dihunus pedang.
“Tunjukkan wajahmu!”
Danasatya merutuki dirinya. Kecerobohan satu detik itu berimbas sebesar ini. Berlari dengan kain menutupi hidung dan mulut adalah siksaan. Dia sangat ingin membebaskan lubang hidungnya dan menghirup udara selega mungkin, bila bisa. Tak perlu diperintah pun akan dia lakukan. Tapi keadaan seperti ini, jelas tak mungkin ia lakukan. Identitasnya harus tetap aman.
“Kenapa tidak menebasku saja seperti yang lainnya?” protes Danasatya. Dia berdiri tegak. Napasnya belum stabil. Matanya waspada. Menyapu seluruh arah, mencari celah lain untuk menyelamatkan diri. “Tidak ada celah!” simpulnya kecewa. Semua orang menghunus senjata kepadanya.
“Benar juga, tidak alasan bagiku untuk mengampunimu!” jawab pria yang Danasatya duga adalah pimpinan mereka. Dia menarik pedangnya untuk kuda-kuda serangan berikutnya dan bersiap menebas Danasatya.
“Tunggu!” sela Danasatya. Napasnya semakin diburu. “Tunggu!” ulangnya lagi lebih keras dan terdesak. Ujung mata pedang pria itu nyaris memotong lehernya. “Aku akan membeli nyawaku!” tegas Danasatya tergesa-gesa.
Pria itu mengeryit sebentar. Dua alisnya menyatu, tatapannya curiga.
“Kutawarkan dua pilihan. Kau mau harta atau jaringan?” tawarnya. Napasnya mulai menemukan ketenangan. Dia harus mengendalikan keadaan. Melihat pria itu menatapnya dengan bingung, Danasatya semakin percaya diri. “Kalian pasti kafilah dagang, yang aku tahu pasti jalur bawah, karena transaksi gelap di malam hari. Sebenarnya aku bisa saja melaporkan ini ke pasukan keamanan kerajaan. Ya, aku cukup dekat dan bisa melakukan itu, tapi tak akan kulakukan! Sebagai gantinya, kutawarkan jalan dagang bawah tanah yang bebas birokrasi, tanpa upeti dan jaringan ke aliansi. Bagaimana?”
Pria itu semakin mengernyit. Kali ini perpaduan kaget, heran, bingung dan sangat curiga. Dia paham semua yang dikatakan Danasatya. Matanya berkata seperti itu. “Siapa kau?” tanya pria itu, pada akhirnya.
“Aku? Seseorang yang bisa melakukan itu semua!” jawab Danasatya dengan bangga.
Keadaan hening sebentar, tapi ini terasa lebih mencekam. Danasatya tidak membaca tanda-tanda yang baik. Pria itu tak merespon seperti yang ia harapkan.
Tiba-tiba pedang itu bergerak cepat menebas dirinya. Danasatya spontan merunduk lalu bergulung ke depan untuk menghindari. Pria itu mengejarnya. Danasatya terpojok oleh kepungan senjata. Ujung pedang kembali menyandera lehernya, tepat di bawah dagunya. Kain hitam penutup wajahnya dicabut paksa. Pria itu mendekat ke wajah Danasatya yang terlihat asing untuknya.
“Hei! Apa yang sedang kau lakukan pada kakakku?”
Suara yang lain menyeru sangat lantang. Danasatya mengenali suara itu. Dia segera mencari keberadaannya ketika suara itu berhasil membuka formasi lingkaran kepungan ini. “Seresha!” pekiknya menahan kegirangan. Matanya melebar bahagia. Penuh haru dan berkaca. Seolah sedang melihat sang penyelamat tiba. Mereka berkontak mata.
Seresha menghela napas panjang saat menemukan Danasatya meringkuk menyedihkan. Dia segera fokus pada lusinan pria yang kini berjalan menghampirinya dengan wajah-wajah yang marah. Pedang miliknya masih tersarung.
“Mari selesaikan ini dengan caraku saja!” ucap Seresha.
Dia hunus pedangnya lalu menerjang mereka dengan lompatan tinggi ke udara. Pedangnya menghantam keras berpadu dengan tendangan dan tebasan. Pertarungan pecah.
-------------------------