Danasatya menjaga dirinya tetap berada di sekitar Seresha. Paling tidak dia harus ada di jarak serang Seresha bila tidak ingin tertebas pedang atau tertikam tombak orang-orang itu. Dia menyaksikan mereka melompat, berguling, menendang, menebas dan semua perpaduan gerakan bela diri yang bisa dibilang level menengah. Semua pria itu menguasainya dengan sangat baik. Ini jelas bukan pertarungan mudah, untuknya, dan Seresha.
“Sesh,” bisik Danasatya mendekat.
“Kau menghambatku, Kakak!” bentak Seresha marah. Dia mendorong Danasatya ketika datang satu tebasan pedang ke arahnya. Seresha berputar lalu menendang pria itu hingga kepalanya membentur tanah. Datang lagi dua tebasan pedang dari arah yang berbeda. Seresha melakukan kayang, lalu kembali dengan cepat dan menebas kaki keduanya dengan putaran pedang yang cepat. Seakan tak pernah habis, mereka terus datang bergantian menyerangnya.
Sementara Danasatya, sesungguhnya dialah yang menjadi target incaran mereka. Kehadiran Seresha memperpanjang usianya, tapi melihat keadaan yang sulit dimenangkan, cara ini bukan jalan keluar. Di tengah pikir rumitnya, Danasatya tak menyadari tiga pria sudah mengepungnya. Dia menjadi jauh dari Seresha yang terjebak dengan setengah lusin orang lainnya.
“Aku jadi penasaran apa yang kalian sembunyikan hingga susah payah harus membunuhku!” Danasatya mengepalkan tangannya. Dia membuat tinjunya mengeras, mengangkatnya sejajar dengan wajahnya. Dia lebarkan kakinya, menyiapkan kuda-kuda untuk bertahan. “Rasanya aku butuh kemampuan itu sekarang. Tapi aku tidak suka bela diri! Sial!”
Matanya menelisik waspada. Ke kanan, ke kiri. Mengamati satu demi satu para pria dengan penutup wajah itu. Tatapan mereka biasa saja. Satu hal yang didapatkan Danasatya, dia tidak merasakan aura pembunuh yang dingin bahkan di situasi yang berbahaya untuk nyawanya sekarang. Namun, gerakan tangan dan kaki mereka sangat tangkas. Seperti tentara yang terlatih dan hanya bergerak mengikuti perintah. Analisis Danasatya terhenti ketika serangan pertama datang!
Dia jelas melihatnya. Arah tebasan pedang itu vertikal dengan kemiringan seperti jarum jam lima. Dia menebas dari kanan dengan sedikit miring ke kiri. Tapi, tubuhnya bahkan tak bergerak untuk menghindar. Dia tidak mengerti harus menahannya bagaimana. Kepanikan mulai menyerang. Detak waktu terus bergulis dan pedang itu sebentar lagi akan menyanyat tubuhnya. Mata Danasatya membelalak. Dadanya berdebar dan keringat dingin mendadak basah.
Dan… SRRIING! Seresha melompat di depannya. Pedangnya menahan serangan itu. Dia menebas balik hingga mematahkan pedang lawan.
“Dan! Kau baik-baik saja?” tanya Seresha.
Danasatya masih tegang. Matanya lebar penuh, menatap kosong dengan d**a yang mengembang kempis cepat.
Tak ada jawaban, Seresha kembali bertarung menghalau serangan lainnya. Tidak ada waktu untuk berbincang. Pertarungan sangat tidak seimbang jumlahnya. Dia berjuang sendiri, ditambah harus melindungi Danasatya. “Tinggal setengahnya lagi. Semangat Sesh!” pekiknya menyemangati diri sendiri.
Kini tercipta lagi lingkaran kepung dengan Seresha dan Danasatya di pusatnya. Seresha menghitung, tinggal delapan orang. Dia melirik ke Danasatya di belakangnya. “Dan, kau baik-baik saja?” tanyanya lagi.
Seresha mengeratkan gagang pedangnya dan mengepal tangan kirinya lebih keras. Dia harus waspada dan siaga. Sementara napasnya mulai pendek-pendek, Seresha merasakan energinya mulai terkuras. Orang-orang ini tidak bisa dianggap petarung rendahan yang mudah dikalahkan. Mereka cukup tangguh.
“Hei, Dan!” seru Seresha lagi.
“Kau bawa senjata lain?” tanya Danasatya. Dia maju, mensejajari Seresha.
“Kau merajuk karena aku hanya memanggil namamu?” tanya Seresha heran. “Ini bukan waktu yang tepat untuk bertengkar!” bentaknya kesal.
“Bagaimana kalau bertukar tempat saja? Aku menjadi adikmu?” Suara Danasatya makin kesal. Danasatya melihat satu belati yang masih tersarung di pinggang Seresha. Dia mencabutnya. “Biar kupakai belatimu.”
“Dan, kau yakin bisa memakainya?” tanya Seresha. Suaranya terdengar setengah cemas.
Danasatya malas menjawabnya. Dia justru maju mengawali pertarungan itu. Seresha terbelalak tak percaya. Belum dua detik Danasatya berlari maju, dia sudah terlempar lagi ke belakang karena tendangan tinggi. Seresha memejamkan matanya, mengeraskan rahangnya dan menghela napas panjang. “Inilah kenapa ayah tak pernah menyerah memaksamu belajar bela diri, Kakak!” tukasnya kesal.
“Selesaikan ini untukku, Sesh!” Danasatya menyungging senyum lebar seperti seorang anak kecil yang meminta pertolongan. Dia telentang dengan kedua tangannya pasrah. Belati yang dia ambil dari Seresha, sudah terlempar entah kemana.
Rahang seresha menggigit lebih keras. Kejengkelan itu semakin memuncak. Energinya bertambah berkali-kali lipat. Dua penyerang maju, dan tanpa melihat mereka, Seresha menebas keduanya bergantian. Serangannya jauh lebih bertenaga dibanding sebelumnya. Seresha maju. Dia melompat tinggi. Menebas satu demi satu dengan serangan yang lebih efisien. Menendang, menghindar dan menumbangkan mereka dengan cepat.
Danasatya melihat celah dalam pertahanan musuh. Sementara Seresha sibuk bertarung menyelsaikan ini, Danasatya menyelinap ke tempat lain. Dia pergi untuk kembali ke titik awal dimana keributan ini dimulai. Tempat ia tertangkap basah dan tempat transaksi misterius itu berlangsung. Dia berlari ke sana, melewati bagian belakang gedung-gedung untuk mengelabuhi para pria itu. Dia tak ingin terlibat pertarungan lain yang menghentikan niatannya.
Saat ia akhirnya sampai di sana, tempat itu kosong. “Tepat seperti dugaanku,” batin Danasatya. Dia tidak menemukan jejak apapun di sana, hanya ada bekas roda gerobak yang ketika ia ikuti jejaknya, menghilang dalam dua ratus meter. Dia menelisik tempat gelap itu dan menemukan gerobak sebesar yang ia lihat beberapa menit lalu. Jantung Danasatya berdebar. Mungkinkah mereka sembunyikan gerobak itu di sana?
Ia bergegas. Berlari secepat mungkin dengan penuh pertaruhan. Cepat-cepat ia buka kayu penutupnya dan… kosong! Seakan tidak menyerah, Danasatya mengambil lampu tempel yang digantung di salah satu tiang bangunan, mendekatkannya ke bagian dalam gerobak itu. Tidak ada apapun di sana.
Dia mundur satu langkah. Helaan napas panjang meluncur lemas. “Apa yang bisa kuharapkan? Bukankah ini justru memberiku jawaban? Bahwa transaksi mereka bukan perdagangan legal.”
Tiba-tiba tangan Danasatya ditarik.
“Tidak ada waktu!” pekik Seresha.
“Kita kabur sekarang?” Ia bingung.
Seresha menariknya, mereka berlari secepat-cepatnya. “Ke air?” tawar Seresha sambil berpikir keras.
Danasatya mengambil alih. Itu ide yang bagus. Dia melihat perahu kecil bersandar di tepian pelabuhan. Ia tak bisa menjamin perahu itu dalam kondisi baik untuk dipakai. Dari jauh, kondisinya tak terlihat cukup layak. Kentara sekali itu kapal yang lama tak dipakai dan tidak layak. Tapi, dibandingkan harus melawan mereka dan mengambil jalan berputar dengan kans keberhasilan yang kecil, perahu itu harus dicoba!
Dari Seresha yang menggenggam lengannya, kini Danasatya yang berbalik mencengkram lengan Seresha dan memimpin pelarian mereka. Dia menoleh sebentar. Beberapa pria yang tersisa sedang mengejar mereka dengan langkah yang setengah tertarih, napas yang sudah pendek-pendek dan tentu saja penampilan yang sudah berantakan. Dalam sekian detik itu, Danasatya melihat cahaya yang begitu terang di belakang orang-orang itu. Suara peluit yang sangat ramai dan derap sepatu yang lebih banyak dan intens.
“Pasukan keamanan mengejar kita?” tanya Danasatya pada Seresha.
“Ya! Karena itu aku mengajakmu kabur!” jawab Seresha kesal. “Jangan menambah masalah dengan tertangkap oleh mereka. Kau tak mau menanggung hukuman dari ayah, kan?” ancam Seresha kejam.
“Belok kanan!” Danasatya menarik Seresha dengan peringatan mendadak.
Mereka melompat ke perahu segera. Oleng! Danasatya meraih tangan Seresha yang hampir jatuh hilang keseimbangan. Mereka segera merunduk, memanfaatkan sisi perahu yang gelap tak tersinari lentera, bersembunyi.
“Tidak melepas talinya?” tanya Seresha berbisik.
“Tunggu sampai mereka semua pergi!” jawab Danasatya berbisik juga.
Rombongan pengejar itu kini dikejar pasukan keamanan yang jumlahnya puluhan. Dengan peluit yang ramai, lentera-lentera besar yang dibawa dan senjata lengkap yang sebenarnya tidak terlalu menakutkan, pasukan keamanan tetap memegang kendali. Sekitar lima pria tersisa yang tadinya mengejar Seresha dan Danasatya, kini tak lagi fokus menemukan dua orang itu, tapi berpencar untuk melarikan diri dari polisi pelabuhan.
Hingga hitungan detik kelima setelah rombongan ramai itu berlalu, keadaan menjadi gulita lagi dan kesunyian kembali berkuasa, Danasatya mengembuskan napas lega. Seresha segera berdiri dan melompat naik ke daratan. “Kita tidak punya waktu, Kakak! Sebentar lagi matahari terbit! Ayo pulang!” ajak Seresha.
Danasatya menurut tanpa protes.
---------------------------