Pecah

3104 Words
Debu kasar mengepul di udara bersama dengan kayu-kayu lapuk yang patah tertimpa tubuh Naviza. Bunyi ‘brak’nya sangat keras ketika perempuan itu terlempar hingga punggungnya menabrak dinding dan melorot ke tumpukan kerangka kursi yang usang dan reyot. Segumpal darah segar menyembur lemah dari mulut Naviza. Segaris merah menggaret kulit di dahi kirinya. Buliran merah kental merembes deras hingga jatuh meluncur melewati pipinya. Naviza terkulai di atas tumpukan kayu yang patah dan keras. Sekujur tubuhnya diserang rasa linu dan kaku karena hantaman keras itu. Bukan hanya benturan ke tembok bata dan mengambruki kerangka kayu lapuk saja, tapi pukulan Varka menjadi sumber utama kesakitan yang dia rasakan sekarang. Tepat di pusat perutnya, tinjuan pria itu meninggalkan luka dalam yang begitu menyiksa. Nyeri pada level teratas bercampur kram luar biasa hingga ia meringkuk kaku tak mampu bergerak. Napasnya kering, serak dan pendek seperti orang asma yang segera butuh pertolongan. Beberapa detik sebelumnya, Varka juga melayangkan pukulan hebat ke dadanya. Remuk redam tulang-tulang rusuknya menahan kekuatan sebesar itu menghantam tanpa aling-aling. Naviza masih tak bergerak. Dia terus batuk dengan muntahan darah. Tangan dan kakinya terlalu lemah untuk bergerak. Mengangkat pun terasa begitu berat. Dia berusaha menghirup napas semampu yang ia bisa. Ini seperti berusaha menarik sesuatu dengan halang rintang yang begitu banyak. Tiap kali ia mengembangkan rongga dadanya, semacam ada retakan halus yang meradang. Begitu perih dan nyeri bersamaan. Begitu juga dengan perutnya, ia sama tersiksanya jika ingin bernapas dengan diafragmanya.             “Bangun, Nav!” seru Varka. Suaranya garang namun terlalu lemah untuk memberi efek intimidasi. Varka juga diambang kekalahannya. Pria itu terduduk di atas sebuah kerangka kayu entah bekas apa. Potongan-potongan kayu sisa yang ditumpuk asal dengan panjang berbeda-beda. Lapuk dan lembap. Ia duduk dengan lemas di atas sana, menyaksikan Naviza yang berkali-kali batuk darah dan lemah kehabisan tenaga. Di tangan Varka tergenggam lemah gagang pedang yang berlumuran darah. Lengket dan basah. Darah itu masih terus mengalir pelan dari sayatan yang melintang dalam mengiris otot lengan atasnya. Telapak kirinya masih meremas luka itu agar pendarahan bisa ia kendalikan. Napas Varka pendek, tak berbeda dengan Naviza yang terdengar kering. Kemeja tipis Varka sudah compang camping lebih parah dari pengemis. Sobek di sana sini yang bercampur dengan darah miliknya. Varka melepas pakaiannya lalu melilitnya membentuk seperti tali. Ia lilitkan pakaian itu membungkus lengannya yang tersayat terlalu panjang dan dalam. Dia gigit satu ujung dan menarik ujung lainnya dengan tangannya.             “Aku akan memaafkanmu kalau kau berhenti sekarang, Nav. Demi perjuangan belasan tahun kita. Bahkan aku sudah menganggapmu sebagai keluargaku,” seru Varka dengan suara parau. Naviza tak banyak menggerakkan tubuhnya. Dia fokus untuk bernapas sebaik mungkin. Dalam posisi setengah tengkurap itu, netranya bisa melihat Varka dengan jelas meski pandangannya sedikit terhalang oleh rambutnya yang jatuh ke depan. Ia biarkan tangan dan kakinya tetap pada posisi saat ia jatuh. Ia rasakan tubuhnya begitu remuk. Habis energinya. Setelah mengikat erat lengannya, Varka berdiri. Pria itu sedikit sempoyongan, tubuhnya tak seimbang dan beberapa kali hampir terjungkal ke depan, tapi ia tetap berusaha maju mendekati Naviza.                        “Jangan mendekat…,” larang Naviza pelan dengan suara gemetar. Pandangan matanya sayu dan menyimpan begitu banyak kesedihan. “Berhenti di sana!” lanjutnya dengan segenap sisa tenaganya. Dia melirik Varka dengan amarah dan kebencian yang luar biasa. Pria itu tak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan gontai, sedikit ke kanan kemudian ke kiri dengan tubuh yang agak membungkuk dan pedang yang beralih fungsi jadi tongkat penyanggah tubuhnya. Darahnya terus menetes ke lantai marmer yang berdebu sangat tebal. Sementara langkahnya yang menyeret, dengan tapak kakinya yang basah dan lengket itu, ikut menggerus lapisan tebal debu, mencetak jejak-jejak kaki penuh kebencian dan kecewa. Napas Varka tak kunjung kembali stabil. Ia masih bekerja keras merayu oksigen agar bersedia menyejukkan parunya, tapi mereka hanya sebatas menyapa sampai pangkal tenggorok dan enggan sekali turun. Wajahnya yang mulai mengeriput halus di ujung-ujung lipatan mata itu tampak begitu lusuh dan makin pucat. Kotor karena keringat yang mencampur debu dan darah jadi satu. Kering, kasar dan lebam di pipi, ujung mata dan bawah dagunya. Sungguh penampilan yang sangat buruk dan mengerikan. Varka hampir mencapai batasnya.             “Aku tak sudi melihatmu, Varka!” kutuk Naviza dengan suara yang makin lemah.             “Aku tak mau membunuhmu, Nav. Kita keluarga,” bantah Varka dengan suara yang bijak.   Naviza menghirup napas dalam-dalam. Perlahan ia gerakkan kedua tangannya untuk menopang tubuhnya bangkit dari remukan kayu-kayu usang itu. Dia duduk dengan susah payah, bertumpu pada sikunya hingga akhirnya bisa mandiri meski tak sepenuhnya tegak. Varka berhenti. Menjaga jaraknya lima meter di depan Naviza. Senyuman sedih penuh duka tergurat di wajah lusuh nan lelah itu.             “Mari kita hentikan ini, Nav. Lalu kembali akur seperti biasanya. Varttaka besar karena kita berdua. Apa jadinya Varttaka tanpa dirimu di sisiku?” bujuk Varka. Pria itu sedikit membungkuk mengikuti nyeri di dadanya yang tak bisa ia tolerir. Ia mendesis sambil memejam mata sesekali untuk menahan rasa sakitnya.             “Aku akan berhenti kalau kau juga berhenti, Varka. Batalkan rencanamu!” ujar Naviza pelan, lirih, tapi penuh penekanan. Napas Naviza masih begitu payah. Sekali lagi, dia muntah darah. Telapak tangannya penuh, meluber hingga ke lantai. Dia merasakan nyeri yang bertubi hingga tiga kali lipat tiap kali rusuk dan diafragmanya berkontraksi menampung oksigen. Varka menegakkan punggungnya. Dadanya sedikit membusung dan dagunya terangkat naik. Keangkuhannya kembali. “Aku tidak bisa.” Mereka hening dengan saling memaku tatapan yang penuh. Ada perjalanan belasan tahun yang penuh duka dan liku sedang berdiri di ujung tebing sekarang. Ada ratusan memori yang bekelebatan dan menambah riuh gemuruh hati mereka berdua. Ikatan keluarga? Apakah itu bisa terbentuk dari segala suka duka yang mereka lalui? Mungkin. Tatapan Varka begitu lekat menembus netra Naviza yang mulai nanar tak terkendali. Haruskah mereka berakhir dan pecah seperti ini? Apakah itu bisa tanpa salah satu harus terbunuh? Apakah mereka bisa saling melepaskan dan menjadi apatis dari segalanya? Bukankah satu idealisme akan membunuh idealisme lainnya ketika itu bertentangan? Bukankah tak ada satu keyakinan yang tidak egois? Tak sampai jatuh, Naviza menyeka matanya. Sementara Varka memilih untuk mendongak memandangi kosong langit-langit bangunan yang lusuh hampir runtuh ini. Dia tak ingin ada air mata yang jatuh ataupun nampak di hadapan Naviza.             “Aku tak bisa membiarkan Zakaffa jatuh seperti rencanamu,” tedas Naviza. Wanita itu mengatur pijakan kakinya dan menyiapkan dirinya untuk berdiri.             “Kenapa tidak bisa?” tanya Varka. Terlalu jelas kebencian yang ia nampakkan dalam pertanyaan itu. Naviza mencoba berdiri. Ia hujamkan pedangnya ke lantai untuk menjadi tongkat penyangga tubuhnya sementara otot-otot kakinya bekerja keras membuat tubuh itu tegak berdiri. Kini tak hanya fisiknya yang menderita nyeri luar biasa, tapi juga ada hati yang tercabik karena pertanyaan Varka yang mengantarkan emosi kecewa dengan begitu pekat. Ada perih yang tiba-tiba merebak di seluruh kelopak matanya. Kenanaran itu berakhir dengan banjir air mata yang begitu ia benci. Ini bukan soal kesedihan apalagi kecewanya pada Varka, pertanyaan itu ataupun Zakaffa saja, sepertinya semua hal di dunia ini telah membuatnya kecewa pada tataran yang sulit ia maafkan.             “Mereka sudah mengkhianatimu! Apalagi yang kau harapkan, Nav?” tedas Varka dengan intonasi tinggi. Naviza tak bisa memberi jawaban. Bukan tak mau menjawab, tapi benar-benar tak memiliki jawaban untuk membantah Varka. Dia tak punya alasan untuk membela kerajaan menyedihkan itu, tapi juga tak bisa berdiri sebagai musuh mereka meski belasan tahun ia menjadi otak di balik semua kekacauan sistematis di negara-negara aliansi, termasuk Zakaffa. Naviza mengeratkan pegangan pedangnya kembali. Ia tarik napasnya dalam-dalam untuk mengumpulkan seluruh sisa energi yang dipunya sambil membuka jarak kedua kakinya membentuk sikap kuda-kuda yang kokoh. Dihunusnya pedang panjang yang telah menemaninya bertahun-tahun itu ke depan wajah Varka. Tatapan Naviza berangsur berubah. Duka berganti jadi tekad untuk bertahan dan melawan. Sekalipun tubuh ini tak mampu lagi untuk bertarung sempurna, tapi ia tak boleh menyerah sampai di sini. Tak ada keyakinan yang tidak egois. Setiap keyakinan akan saling mengalahkan untuk menjadi yang paling benar.             “Nav?” seru Varka penuh tekanan dengan suara sedih. Naviza bergeming pada keputusannya.             “Kau mau kita berdua mati jika melanjutkan pertarungan ini?” bantah Varka.             “Kau tahu kita tak bisa hidup tanpa salah satu mati,” jawab Naviza enteng. Senyum kecut melintang di wajah Varka. Senyuman yang sebetulnya menyimpan begitu banyak duka. Seberharga apa sebetulnya seorang Naviza untuk dirinya? Hingga kesedihan begitu mendera seorang Varka yang begitu disegani seluruh anggota Varttaka. Apakah ini berbicara soal rasa dan cinta? Sebuah rasa takut kehilangan atas seseorang yang begitu dicinta? Mungkin Varka telah memendam dan menumbuhkan rasa itu dengan begitu subur dalam palung terdalam hatinya, tapi, ini bukan hanya soal itu. Dia tak akan sesedih dan sekehilangan ini jika semua itu hanya soal cinta. Varka telah hidup dan berbagi duka bersama wanita itu belasan tahun membesarkan organisasi bernama Varttaka itu. Jika ini soal cinta saja, seharusnya ia sudah terluka berkali-kali tanpa sempat mengungkapkannya. Seharusnya dia tahu cinta itu tak mungkin berhasil selama masih ada Angkasa yang dijaga begitu kuat dalam hati Naviza. Lantas tentang apa? Mungkin ini tak hanya soal rasa sayangnya semata, tapi sebuah ketakutan yang lebih besar. Perpecahan visi bersama yang mereka bangun dari nol. Ini lebih seperti Varka sedang mempertahankan rekan seperjuangannya belasan tahun yang tanpanya semua visi yang mereka bangun tak akan bisa terwujud. Rasa ini berkali-kali lebih solid dibanding cinta. Melihat pedang Naviza yang mengarah langsung padanya, menjadi jawaban yang benar-benar tegas. Varka membuka kedua kakinya, membuat jarak yang pas untuk kuda-kudanya sambil menghunus pedangnya menjawab sikap Naviza.             “Akan lebih baik jika kita berdua mati di sini, Varka. Karena aku tak mungkin bisa… membiarkanmu hidup,” tedas Naviza dengan suara lirih. Tak ada sedikit pun keraguan baik dalam suara maupun tatapan matanya. Ketegangan segera menyeruak kembali dengan begitu utuh dan garang. Mereka berdua bersiap dalam posisi siaga dengan segala sisa kekuatan yang ada. Seolah tak ada rasa sakit apapun yang mampu menghalangi mereka lagi. Energi kembali penuh meski itu sisa-sisa yang tak layak untuk bertarung lagi. Tapi, ini harus diselesaikan! Naviza bergerak ke kanan mengikuti arah Varka yang bergeser ke kanan juga. Mereka saling mengitari, bergerak waspada dengan penuh kehati-hatian. Tak akan ada lagi ampunan untuk setiap serangan. Tak akan lagi toleransi untuk setiap kekuatan yang dilayangkan. Sekeras apapun pukulan, secepat apapun tebasan pedang dan semematikan apapun tinju dan tendangan lawan, keduanya harus menerima, menghalau bahkan menyerang balik dengan sungguh-sungguh. Tak boleh lagi ada keraguan. Ikatan bernama keluarga itu baru saja mereka akhiri. Lantas, apa keduanya serta merta jadi orang asing sekarang? Varka membuat gerakan kecil dengan ayunan tangannya yang segera disambut Naviza dengan tendangan samping berkekuatan penuh. Varka urung menebas, dia mundur dengan menggeser tumpuannya untuk menghindari serangan Naviza. Yang berikutnya terjadi adalah rentetan manuver cepat antara tebasan, tendangan dan pukulan yang terus beradu dalam intensitas tinggi. Sekalipun usia mereka sebenarnya tak lagi muda, tapi kebugaran fisik tak bisa diremehkan. Naviza dan Varka terus melatih fisik dan seni bela diri mereka selama belasan tahun membangun Varttaka. Tak ada hari tanpa latihan dan pertarungan, baik itu duel latihan uji coba ataupun pertarungan sesungguhnya. Bugar menjadi keadaan yang wajib mereka pertahankan. Itu seperti sebuah perisai sekaligus senjata di waktu bersamaan untuk seorang petarung di arena duel seumur hidupnya. Di saat yang sama, ketika orang-orang seusia mereka memilih pekerjaan santai, aman dan nyaman lalu menua perlahan, Naviza tak kenal ampun melatih dan menjaga dirinya tetap fit sepanjang usianya. Mereka bertarung di dalam sebuah bangunan besar berbentuk seperti rumah yang telah usang dan ditinggalkan. Perabotannya kosong, sudah diungsikan pemiliknya entah kemana. Yang tertinggal hanya kerangka-kerangka kayu sofa dan meja yang sudah tak utuh. Sebuah ruangan luas berlantai marmer yang entah apa warnanya, tertutup debu tebal yang begitu kasar dan menghitam itu menjadi pusat rumah. Lantai ini tak memiliki ruangan lain. Pintu masuk dan pintu keluaranya lurus. Sementara sebuah tangga kecil menuju lantai dua ditutup tali merah di mulut tangganya. Tak ada penerangan yang tersisa di rumah itu. Beruntunganya sinar matahari menyapa dengan beitu hangatnya. Naviza menendang Varka keras sekali sampai pria itu terjungkal hingga bergulung ke belakang tiga putaran. Segumpal darah muncrat dari mulutnya. Ia meludah merah lalu menyekanya cepat dan kembali bangkit berdiri. Sementara saja, pedangnya lagi-lagi mnjadi tongkat tumpuan tubuhnya. Napas makin sulit masuk hingga ke rongga terdalam. Dia lewat dan segera putar balik begitu cepat sebelum mencapai seluruh lintasan. Varka terengah. Begitupun Naviza. Mereka saling menjaga jarak untuk sejenak berhenti. Naviza merasakan tubuhnya telah begitu payah berjuang. Parunya kembang kempis dalam interval yang dekat. Pusat dadanya makin nyeri ketika ia melakukan gerakan-gerakan tertentu yang butuh melebarkan kedua tangannya ke luar dengan cepat. Lalu tiba-tiba sesak menyerangnya begitu kuat. Ia kesulitan menarik oksigen untuk masuk. Tiap ia berusaha bernapas dan membuat tulang rusuknya bergerak, rasa perih datang menyerang dengan luar biasa. Sampai pegangan pedangnya merenggang lemah dan jatuh tergeletak ke lantai penuh debu itu. Dia memegangi dadanya ketika nyeri terasa makin menusuk. Naviza tersimpuh dengan bertumpu pada kedua lututnya. Cairan kental warna merah muntah begitu banyak.             “Kita berdua sekarat,” cetus Varka terkekeh pilu. Naviza meringis menahan perih dadanya. Dia meraih kembali pedangnya setelah menyeka bibirnya dari bekas muntahan darah. Dengan gontai, ia berdiri. Menatap berani Varka dengan penuh percaya diri. “Aku tidak sekarat!” bantah Naviza.             “Serius mau melanjutkan ini, Nav? Kau mau kita berdua mati, huh?” bentak Varka pelan, karena tenaga habis sudah dan suaranya serak.             “Kenapa aku harus ragu ketika kau tak bisa kuhentikan dengan kata-kata?” jawab Naviza. Dia mengencangkan cengkeraman pedangnya lagi. Dengan satu tarikan napas panjang, dia angkat pedang itu horizontol setinggi telinganya. Lalu kembali berlari menebas Varka. Pertarungan sengit lagi-lagi terjadi. Tapi kali ini tak semengerikan dibanding sesi awal mereka tadi. Setelah perkelahian hampir dua jam lamanya, seluruh energi mereka terkuras tak bersisa. Ditambah dengan luka dalam yang keduanya derita makin menambah payah tubuh mereka. Segala manuver serangan mereka kini bisa dilihat jelas oleh mata karena penurunan kecepatan dan intensitas. Setiap tebasan dan hentakan pun sudah jauh berkurang kekuatannya. Serangan tak lagi akurat, sering melenceng dan bisa dihindari dengan mudah. Meski begitu baik Naviza ataupun Varka enggan berhenti lebih dulu. Lalu satu tinjuan dengan energi terakhir. Tinju mereka bertemu dan keduanya jatuh terpental ke belakang. Menabrak tembok dan memantul setengah meter sebelum jatuh terjerembap ke lantai. Debu tebal tersapu oleh tubuh mereka hingga warna hitam marmer akhirnya terlihat. Naviza batuk kering dengan sedikit muntahan darah. Sedangkan Varka, darah mengalir dari mulutnya yang setengah menganga. Varka pingsan setelah kehilangan darah terlalu banyak. Setelah beberapa lama tak ada pergerakan serangan dari Varka, Naviza berusaha bangun. Dia beruntung tak menabrak apapun lagi saat jatuh mendarat. Tak seperti Varka yang harus merasakan sakit bertubi-tubi karena harus menimpa tumpukan kayu setelah menarbak dinding. Naviza berdiri dengan setengah membungkuk. Tak bisa! Terlalu menyakitkan dan tubuhnya lemas. Dia tengkurap kembali lalu berusaha merayap dan sesekali merangkak keluar dari rumah itu. Terik panas segera menyambutnya. Cahaya yang begitu putih terang benderang mengisi siang. Dia duduk di sana, di pinggiran teras rumah yang rendah, menatapi tanah lapang bekas rumah-rumah usang yang rusak atau dibongkar. Ada beberapa rumah yang sebagus tempat ini sekarang, tapi bernasib sama. Tak terawat dan ditinggalkan. Usang dan lapuk, tinggal menunggu rutuh. Sementara beberapa rumah lain yang berdiri tak jauh dari rumah ini, berukuran lebih kecil dan lebih menyedihkan. Kerangka atapnya telah ambruk separuh dan beberapa dinding temboknya ambruk dan berlubang. Pohon-pohon tumbuh subur bersama semak belukan tipe rambat yang mengakuisisi bangunan manapun sebagai tempatnya menempel dan tumbuh. Akar gantung pohon beringin muda yang mulai tumbuh dengan tak satupun anak kecil yang bermain di bawahnya. Ya, tak ada seorang pun yang tinggal di sana. Ini desa yang ditinggalkan. Naviza duduk di sana, bersandar di sebuah batur beton yang retak. Dia atur napasnya pelan-pelan. Tubuhnya hampir kebas, karena terlalu sakit di semua titik membuatnya sulit merasai satu per satu. Habis sudah semua energinya, tak bersisa sedikit pun. Segala nyeri meradang dengan luar biasa mulai dari ulu hatinya dan area perutnya yang terasa paling menyakitkan. Dulu ia selalu berpikir apakah dirinya akan mati setiap kali keadaan menjadi begitu kritis. Apakah seperti ini akhir hidupnya? Tapi sekarang, semua asam pahit kehidupan setelah keluar dari Zakaffa menjadikan sosok yang sedikit berbeda. Dia tak ingin mati dengan mudah. Dia tak boleh mati sebab ada seseorang yang terlalu berharga untuk ia tinggalkan tanpa perlindungan. Begitu pun dengan hari ini.             “Aku tak boleh mati!” pekiknya tak bersuara. Pandangannya mulai kabur, matanya makin menyipit ketika oksigen makin sulit ia rengkuh. Saat itulah netra lelahnya itu menangkap siluet seseorang yang ia kenali datang mendekat. Menunggang seekor kuda pacu yang begitu besar nan tinggi, seseorang itu turun dan berlari menghampirinya dengan tergopoh. Berduyun-duyun pria itu mendatanginya dengan wajah cemas, mata memerah dan gestur panik luar biasa. Naviza tak cukup kuat untuk menjawab semua rentetan pertanyaan yang ia layangkan bersamaan. Dia merasakan tubuhnya dikoyak-koyak, dihentak-hentakkan ke depan dan belakang, agar dirinya tetap menjaga kesadaran. Dia merasakan sentuhan lembut di pipinya, lalu belaian penuh kasih di tengkuk belakang kepalanya.             “Hei, kau tak boleh pingsan, Nav! Tetap sadar!” seru Peach dengan suara parau. Mata birunya berlinangan air mata menemukan Naviza dalam keadaan sekarat. Rambut lurusnya jatuh menutupi sebagian mata dan dahinya. Mukanya memerah dan tangannya setengah gemetar. Peach mengangkat tubuh Naviza yang sudah lemah terkulai. Dia membawanya ke tempat yang lebih rata, dekat dengan beringin besar dengan ribuan akar gantungnya. Rumput teki tumbuh subur dengan ketinggian rendah. Peach membaringkan Naviza di sana. Dia periksa detak jantung wanita itu yang makin lemah, dia rasakan denyut nadi lehernya yang makin lambat dan napas di hidungnya yang semakin tak terasa. Peach segera memberi pijat jantung kepada Naviza setelah meluruskan tubuhnya. Dia terus lakukan itu sampai detak jantungnya kembali dan normal. Belum selesai ia mengembalikan kesadaran Naviza, dua penunggang kuda lain terdeteksi mendekat. Peach berdiri, memeriksa siapa yang datang. Baru mengintipnya sebentar, Peach segera kembali untuk menggendong Naviza pergi dari tempat itu dengan buru-buru. Peach mendudukkan Naviza di atas kudanya, lalu dia sendiri naik di belakang Naviza agar wanita itu bisa menyandar kepada dirinya. Sebelum dua penunggang kuda itu sampai ke tempat ini, Peach mulai memacu kudanya pergi. Sebelah tangannya memegangi Naviza agar tidak jatuh, sebelah lainnya memegang kendali tali kemudi. Mereka mengambil arah berputar, arah sebaliknya dari kedatangan Peach. Masuk ke arah hutan trembesi dua ratus meter dari beringin itu dan terus masuk lebih ke dalam untuk mengamankan Naviza.             “Mereka tak boleh membunuhmu, Nav. Kau harus menyelesaikan apa yang kau mulai. Bertahanlah!” ucap Peach penuh penekanan. Peach menoleh ke belakang sesekali. Harus dia pastikan dua orang Varttaka lainnya tidak mengejar mereka. Hutan itu masih begitu perawan, belum terjamah jejak manusia. Tak ada jalan setapak yang terbentuk, hanya kerindangan dan batang raksasa meliuk-liuk dengan lumut dan paku tebal yang tumbuh menyelimuti. Peach terus bergerak maju tanpa ragu. Saat itulah, dia merasakan tangan Naviza menggenggamnya lemah.             “Bertahanlah!” pekik Peach memberi semangat.             “Kita pergi ke Zakaffa,” pinta Naviza dengan suara lemah. ----------------------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD