Apartemen Giselle memang berbeda dengan yang ia huni, tapi ketahuilah, Harvey tak peduli dan tak punya rasa iri. Sudah lebih dari cukup apa yang Justin beri padanya. Toh, ia menikmati malam tinggal di apartemen yang bisa dibilang mewah ini. selera Giselle memang memberi kesan mewah juga elegan, persis seperti apa yang Justin bangun untuk image-nya.
Juga apartemen ini sering kali dijadikan tempat untuk membagikan aktifitas terbaru mereka di media sosial—dengan persetujuan management SEO tentu saja. tak sembarangan mereka bisa memosting suatu hal tanpa agency ketahui.
“kau yakin belum ingin tidur?” tanya Giselle sekali lagi. gaun malamnya sudah berganti dengan piyama yang jauh lebih nyaman. Wajahnya juga sudah luntur dari make up yang tadi cukup glamour dikenakan. Rambutnya yang semula dikuncir tinggi mengimbangi gaun yang dikenakan, sudah tergerai begitu saja. meski agak berantakan tapi rasanya Giselle tak terlalu peduli lagi.
Jam di ruang tamu sudah menunjuk hampir tengah malam. Untungnya jadwal mereka esok tak ada. sama sekali. Yang ada mereka gantikan dengan menjemput Ruby di bandara. Mereka sepakat memaksa wanita itu untuk mampir dan menginap beberapa hari di aparteme Giselle. Selain menyepakati ingin makan masakan Ruby, mereka juga penasaran dengan perjalanan Ruby kali ini.
Setelah statusnya berubah menjadi seorang istri Justin, pasti ada banyak cerita yang bisa dibagikan Ruby padanya. Dan mereka penasaran, oh tentu saja. Kisah cinta mereka berdua layak untuk ditunggu.
“Belum.” Harvey tertawa. “Wajahmu jelek sekali, Giselle. Tidurlah lebih dulu, aku menyusul segera.”
“Kau seperti tengah menyembunyikan sesuatu,” Giselle mendekat, sedikit merapatkan tangannya di d**a berusaha untuk mengenyahkan rasa dingin yang menerpa. Angin malam ini cukup dingin dan berembus kuat. “Iya, kan?”
“Sok tahu.” Harvey tertawa jadinya. “Tak ada yang kusembunyikan darimu, Giselle.”
Apa Giselle percaya? Sama sekali tidak. sejak kepulangan mereka dari perjamuan, ah tidak. sejak mereka bersama ke perjamuan tadi, Giselle sudah merasa ada yang mencurigakan. Entah apa Giselle belum bisa mencari tahu. ketika niat untuk mencari tahu begitu menggebu, Giselle merasa tindakan itu salah. Seolah ia tak memercayai apa pun yang Harvey katakan. Sementara selama ini harvey lah yang menemaninya.
Bahkan menguatkan hatinya untuk mengambil sikap dan keputusan besar.
“Baiklah,” kata Giselle sembari tersenyum tipis. “Aku tahu kau bisa mengandalkanku untuk berbagi. Apa pun, Harvey. jangan pernah sungkan. Aku selalu ada untukmu.”
Harvey tersenyum hangat. “Kau memang sahabat terbaik.”
“Tentu saja.” Giselle tergelak tapi kemudian menyingkir lantaran kantuknya memang tak tertahankan. Salahkan semua jadwal yang mereka jalani tapi semua sebanding dengan apa yang masuk ke rekening. Serta kemasyuran yang mereka dapatkan.
Sementara itu sepeninggalan Giselle, Harvey kembali menghidu aroma malam yang cukup menenangkan. Meski ia tahu bercampur dengan asap polusi yang tak kentara, tapi setidaknya karena tindakannya ini, ia merasa jauh lebih tenang.
Ia tak memikirkan sama sekali ucapan Jacob. Andai pria itu melakukan ucapannya, Harvey tak peduli. Menjadi pengemis cintanya pun Harvey tak akan menggubrisnya kecuali untuk beberapa hal tertentu. Ehm ... sepertinya itu cukup layak dipertimbangkan.
“Seberapa penting posisi Jacob sekarang?” ia bergumam pelan, tangannya sibuk mengutak atik ponselnya. Dan tampilan yang sekarang ia nikmati adalah berita mengenai Jacob Desmond beserta pencapaiannya.
Di berita ditulis, jika pria itu termasuk pengusaha muda yang cukup berani mengambil risiko besar. Ia sering mengambil proyek dengan keuntungan kecil tapi disulap sedemikian rupa menjadi aset yang berguna dan layak untuk dimiliki. Sepeninggalan Johan Desmond, ayah Jacob yang meninggal beberapa tahun lalu—saat mendengar berita itu, Harvey hanya tersenyum sembari menikmati colanya. Lantaran di sana, ada wanita yang pernah akrab tapi membuangnya hanya karena keluarganya jatuh.
Tersedu di peti mati suaminya, sementara sang putra kebanggaan, hanya bisa menunduk dengan kepasrahan. Seolah tak memiliki taring lagi untuk menghadapi dunia.
“Kurasa karena pengaruh namanya, makanya Jacob masih bisa memegang kendali.” Ia pun terus menggulir layar ponsel dan sampai pada berita penyerahan Hotel Alden, hotel yang dikenal bentuknya yang futuristik dan kemewahan yang ditawarkan. Bukan pada Jacob, tapi pada nama yang terngiang di kepalanya sampai detik ini.
Bryan Desmond.
“Ini ... pamannya?” matanya tertuju pada sosok pria yang menurut pandangan Harvey, tak cocok dianggap paman oleh Jacob. Apa berselisih usia tak terlalu jauh? tapi ... “Tak mungkin.” Harvey terkekeh jadinya. “Kalau saat itu usianya tiga puluh delapan, artinya tahun ini empat puluh? Wajahnya tak menyiratkan usia segitu. Aku tak percaya berita ini.”
Tapi tangan Harvey berkhianat. Justru ia mengetikkan tanpa sadar, nama Bryan Desmond pada pencarian di beberapa media sosial sampai ia mendapatkan akun yang bisa dibilang, akun pribadi seorang Bryan.
Lengkap dengan keluarga kecilnya. Memiliki istri yang rupawa bak model serta putri yang rasa-rasanya serupa dengan boneka. Terlalu menggemaskan dan cantik untuk gadis berusia lima tahun.
“Tapi aku tak pernah kenal Bryan ini.” Ia pun memilih duduk sembari terus menggulir banyak foto Bryan beserta kegiatannya. Termasuk kegiatan sang putri yang terkadang dibagikan. “Apa kami pernah berkenalan?”
Harvey berusaha menggali ingatannya mengenai keluarga Desmond. Selain Jacob si putra tunggal dari Johan dan Mariah Desmond, ia mengenal beberapa sanak saudara lainnya. Termasuk Bibi Muriel yang terkenal cerewet tapi menyenangkan, yang sering berkunjung sekadar membawakan pie apel buatannya. Dan kebetulan sekali, harvey menyukai pie tersebut.
“Acara makan malam bersama keluarga munafik itu juga tak pernah aku diperkenalkan dengan Bryan.” Harvey mengisap ujung dagunya. “Aku jadi penasaran, siapa pria ini.”
Meski ada satu keanehan yang tertangkap oleh mata harvey, tapi segera tersingkir oleh pemikiran, pada siapa ia mencari informasi? Yang mana dulunya paling mudah ia minta bantuan orang lain. Jika mengingat masa lalu, darah Harvey bergelojak. Hidupnya yang indah, yang tak terusik oleh hujatan dan cibiran, serta ada di kelas strata sosial yang cukup tinggi, membuat ia tak mempersiapkan diri ketika jatuh sejatuh-jatuhnya.
“Aku tak akan menyerah, Harvey! ingat itu baik-baik!”
Ucapan terakhir Jacob sesaat setelah pintu lift tertutup kembali terngiang. Entah kenapa, Harvey merasa pria itu bisa memberinya manfaat. Tak peduli jika ia harus melewati bara yang menyala, selama tujuannya bisa terlaksana dan semua yang pernah menyakitinya merasakan apa yang ia rasa, menjatuhkan sedikit harga dirinya jelas bukan hal yang sukar.
Toh, ia sudah membuang nama belakangnya. Memilih hidup dengan cara yang ia mau, sampai dirinya memercayai apa yang disiarkan di hampir seluruh stasiun televisi dan berbagai surat kabar mengenai tindakan sang ayah.
“Pertama ... Desmond harus tahu, jika aku bukan wanita yang seenaknya bisa dibuang begitu saja. Ah, semua pria yang seenaknya membuang wanita hanya karena keadaan dan merasa sudah paling hebat di atas kekuasaan.” Harvey menyeringai licik. Ia pun bangun dari duduknya, membiarkan angin semakin mengacak rambutnya lantaran angin semakin kuat berembus. Tangannya terkepal kuat, tekadnya semakin bulat. “Kedua ... aku yakin, Langham tahu kisah sebenarnya mengenai ayahku. Dulu aku tak memiliki daya, sekarang aku bisa menjungkir balikkan semuanya.”
Matanya terpejam kuat. Kenangan manis bersama ayah dan ibunya kembali menyeruak.
“Tunggu aku menyelesaikan apa yang kumulai, Papa, Mama. Kupastikan kalian tenang di sana.”