Prolog
“Kau yakin?” tanya si pria dengan sorot tak percaya.
Matanya entah sudah berapa kali memindai keindahan tubuh yang tampak menggoda di depannya ini. Mulai dari wajahnya yang sering menghiasi aneka majalah. Di media sosial pun ramai membicarakan prestasi sang gadis yang kini menatapnya tanpa jeda. Serta bagaimana pengaruh dan akibat jika banyak yang tahu, apa yang mereka lakukan di ruang ini.
“Kurasa pertanyaan itu untukmu, Paman … Bryan? Haruskah aku memanggilmu seperti itu?” kata si gadis dengan kikikan geli. Rambutnya yang tergerai pun ia sibak. Memperlihatkan lehernya yang jenjang, yang hanya mengenakan kalung berbandul inisial namanya; HP.
“Tidak.” Si pria tertawa. “Kau bukan calon istri keponakanku lagi, kan?” Ia pun membelai helai rambut Harvey dengan lembutnya. “Tak kusangka kau tumbuh begitu cantik seperti sekarang.”
“Apa sebelumnya aku tak secantik ini?” Satu langkah Harvey membuat jarak mereka kian tipis. Pun saat ia mendekatkan wajahnya, berbisik lirih sembari menggoda bagian d**a sang pria. “Aku sedih jika memang seperti itu.”
“Kau cantik, Harvey,” kata si pria sembari menggeram tertahan. Inginnya menahan gerak memutar yang ujung jemari Harvey lakukan di atas dadanya. Tapi ia tak sanggup. Yang ada malah ia nikmati tiap sentuhan yang Harvey beri. “Cantik sekali.”
Dan karena kedekatan mereka, Bryan bisa melihat dengan jelas betapa mulus dan tanpa noda tubuh Harvey meski masih dibalut blouse yang belum benar-benar terlepas dari tubuh indah itu.
Bahu sang gadis sudah tak lagi tertutupi blouse yang tadi dikenakan untuk perjamuan. Mungkin dalam satu kali tarikan, pakaianya sudah meluncur jatuh di lantai marmer yang mereka pijaki ini. napasnya menderu menggoda. Wajahnya juga tampak memerah menahan hasrat.
“Kalau kau ragu, aku lebih baik kembali dengan timku saja.” Harvey mempertipis senyumnya. Tak ingin berlama-lama ada di sini jika si lawan, tampak ragu untuk bertindak. Kendati begitu, hatinya berdoa … semoga saja si pria tergoda.
“Baiklah.” Bryan Desmond, nama pria itu akhirnya menyerah. Ia pun menghela panjang sembari memegangi bahu sang wanita. Seolah ingin memberi keyakinan penuh, jika mereka melakukan di atas kesadaran masing-masing. Ah, bukan. tapi untuk memperteguh keputusannya.
“Jadi?” tanya Harvey dengan senyum penuh memikat. “Apa yang kau inginkan sekarang?”
Mata mereka kembali bertemu. Manik mata Harvey memang menyesatkan. Entah dari mana Harvey mendapatkan manik mata secantik itu, yang jelas … Bryan tak bisa mengalihkan matanya ke mana pun. Termasuk saat jemarinya mengusap pipi sang wanita. Menuntunnya untuk tak mejauh kala ia mendekatkan bibirnya.
Menyapa permukaan lembut bibir Harvey yang merekah menggoda.
“Membuatmu meneriaki namaku semalam suntuk,” kata Bryan di sela ciuman mereka yang begitu lembut. Saking lembutnya, saat ia berkata barusan, masih tersisa jejak saliva di antara keduanya. “Dan karena kita sudah ada di sini.” Dalam satu gerakan yang cukup cepat, Bryan menggendong Harvey. Membuat gadis itu terpekik dan mengalungkan tangannya pada leher sang pria.
Lantas … ia tertawa.
“Aku tak mau ada penolakan.” Perlahan tubuh Harvey diturunkan tepat di tengah ranjang.
“Aku tak berniat menolakmu.” Harvey tersenyum riang. Sedikit bergeliat untuk menyamankan posisi, menyangga tubuhnya dengan kedua tangan. Membiarkan rambutnya agak berantakan. “Tapi lakukan dengan lembut. Aku menyukai kelembutan.”
Seringai tipis terbit di sudut bibir Bryan. “As you wish, Baby.”
“Dan matikan ponselmu. Aku tak ingin ada gangguan, apalagi dari istrimu.”