[6]

1465 Words
“Siapa yang kau temui tadi?” tanya Giselle begitu mereka masuk ke dalam mobil. sejak ditinggal sahabatnya itu, yang pergi dengan cara agak mencurigakan, Giselle tak berhenti khawatir. Kejahatan bisa terjadi di mana pun, kan? apalagi mengingat, nama Harvey yang kian melambung. Kejahatan bukan hanya melukai fisik, tapi juga menjatuhkan mental dan ancaman. Walau hal itu bisa segera ditindak lanjuti. Justin tak akan tinggal diam andai itu terjadi di antara mereka. Harvey menoleh tapi kemudian terkekeh sembari bersandar. “Kau bersenang-senang?” Giselle mengerucut sebal. “Kau ini, ditanya apa dijawab apa. aku butuh jawaban darimu. Kau membuatku khawatir.” “Aku tak ke mana-mana. lagi pula hanya duduk di kafe yang disediakan oleh Hotel Alden.” Giselle masih belum terima jawaban dari Harvey barusan. “Kau tahu maksud pertanyaanku apa.” “Hanya bertemu kawan lama.” Harvey kembali menyamankan duduknya. “Aku agak lelah, Giselle. Bisakah aku tidur sejenak? kau tahu, dua hari lalu aku benar-benar hidup tanpa istirahat.” “Kau bisa berlebihan rupanya.” Giselle tertawa tapi kemudian mengangsur satu selimut yang tersedia di mobil pada sahabatnya itu. “Nanti kubangunkan jika sudah sampai.” “Pergunakan waktumu untuk kembali berkencan, Giselle,” kata Harvey sembari mengerling jahil. Mendapati Giselle yang lagi-lagi mencebik tak terima, membuatnya tertawa. Sedikit menutupi bagian bawah gaun yang agak terbuka. Ia kembali menyamankan dirinya dan memejam, meski ia yakin tak akan tertidur tapi setidaknya Giselle tak akan mengajaknya bicara. Ingatannya diseret pada percakapan yang belum berlalu dua puluh empat jam itu. terutama saat Jacob yang entah sudah berapa kali meminta maaf padanya. Apa katanya? menyesal? “Aku benar-benar pria yang bodoh, Harvey.” Ia menggusak rambutnya. Agak berantakan tapi sepertinya pria itu tak peduli. Yang menjadi fokusnya adalah Harvey yang masih menatap dengan sinis. “Sejak hari itu, hidupku diselimuti penyesalan.” “Bukan urusanku,” kata Harvey dengan nada enggan. “Hanya itu yang ingin kau bicarakan?” Ia pun bersiap untuk beranjak dari obrolan yang menurutnya tak berguna. meski ia bisa menduga hal seperti ini terjadi tapi setidaknya, ia menuntaskan rasa penasaran. juga … ada satu hal yang ingin ia ketahui. “Aku membatalkan pernikahan kami,” kata Jacob seraya berdiri. “Kumohon, duduk dulu. Aku masih ingin bicara.” Bola mata Harvey terputar kesal. “Apa aku ingin tahu hal itu?” “Ta-tapi, Harvey.” Gadis itu menyibak gaunnya agak kasar, pun duduknya tak lagi dengan lemah lembut. Keanggunannya ia tanggalkan sebentar. Matanya kian sinis menghujam Jacob yang tampak lega lantaran Harvey mengurungkan niatnya. “Aku merasa menjadi seseorang yang begitu pengecut di hadapanmu. Seharusnya aku malu, itu benar. tapi sungguh, aku ingin sekali bertemu dengnmu.” Harvey melipat tangannya di d**a. Lantaran gadis itu masih belum mau bicara, Jacob kembali berkata. “Mungkin terdengar seperti bualan tapi sejak hari terakhir kita bertemu, aku menyesal menuruti apa permintaan ibuku.” “Bukankah kau dijanjikan sesuatu?” tanya Harvey dengan mimik enggan. “Kau tahu, aku kehilangan sosok Jacob Desmond yang tegas dan memiliki prinsip di hari itu.” Ia menyeringai tipis. Memori mengenai hari di mana dirinya direndahkan karena kasus yang melibatkan orang tuanya, yang tak pernah beranjak dari hidupnya, serta menjadi bayang kelam dalam hidup yang ia jalani ini. “Aku tak tahu apa yang ibumu katakan mengenai diriku saat itu. aku sudah coba jelaskan tapi kau anggap, suaraku hanya angin lalu.” Jacob tertunduk perlahan. “Tiga tahun kita menjalin hubungan. Semuanya memberi restu dan hanya tinggal selangkah lagi kita menikah tapi kau …” tunjuk Harvey tanpa ragu. “kau membuatku kecewa.” Ia berdecih. “Aku dijanjikan hotel ini jika memutuskan pertunangan kita,” Melihat ada keterkejutan di wajah Harvey, Jacob kembali bicara. Jangan sampai penjelasannya ini dijeda karena sungguh, melihat harvey dengan wajah kecewa saja hatinya sudah sakit. Andai bisa ia kembalikan kebodohannya dan terus ada di sisi Harvey, ia yakin hidupnya jauh lebih berbahagia. Tak seperti sekarang yang diliputi perasaan bersalah serta hal-hal menyesakkan lainnya. Termasuk … “Tapi semua itu hanya sebatas kata-kata ibuku.” Jacob menarik sudut bibirnya tipis. “Aku tak mendapatkan apa pun selain penyesalan.” Harvey terkesiap tak menyangka. “Kau … apa? menyesal?” “Iya, aku sangat menyesal mematuhi ibuku. Meninggalkanmu dengan obsesi konyol tapi sayangnya tak bisa dipenuhi karena satu dua hal. Dan hatiku yang masih tertaut padamu, harvey.” Ia pun memberanikan diri untuk mendekat, tidak … hanya mencondongkan diri pada harvey dan menarik tangan gadis itu agar ada di genggamannya. Sayangnya, Harvey menepis dengan segera. “Kau gila?” matanya mendelik penuh emosi pada pria yang tak tahu diri ini. astaga, kenapa dulu ia bodoh sekali pernah jatuh cinta pada pria yang tak memiliki keteguhan di hatinya. “Aku tak gila.” Jacob tak jadi soal untuk sekarang tangannya ditepis. Tapi nanti, ia pastikan gadis itu akan kembali. Jacob yang sekarang bukanlah seperti pria pengecut dan terombang ambing antara tujuan dan apa yang diinginkan untuk hidupnya. Pengalaman memberi banyak pelajaran berharga baginya. “Kau putuskan aku atas dasar dua hal, kan? yang aku tahu hanya satu saat itu; masalah yang melibatkan orang tuaku dulu. Sudah kukatakan mereka difitnah, kau tak memercayainya. Meski sampai detik ini aku belum bisa buktikan, aku aku bersumpah, orang tuaku tak senista itu melakukan tindakan kecurangan. Kau … orang yang paling kupercaya setelah orang tuaku justru menyingkirkan aku demi ibumu.” Harvey meremas tangannya dengan kuat. tak peduli rasa sakit akibat ujung kuku yang mengenai telapak tangannya. “Dan sekarang? Aku makin paham kenapa kau meninggalkanku saat itu. aku ditukar dengan janji manis yang kau manfaatkan untuk kepentingan pribadi? Hotel ini?” Ia pun tertawa. Jenis tawa yang begitu mengerikan. “Astaga, ya Tuhan. Betapa bodoh aku pernah mencintaimu dulu.” “Tapi aku sangat menyesal,” potong Jacob segera. “Bukan karena tak kau dapatkan hotel ini?” Harvey tertawa penuh remeh. Jacob yang mendengar sindiran itu hanya bisa menghela pelan. “Hotel ini sudah dikelola dengan sangat baik oleh pamanku. Kau tahu, Bryan Desmond.” “Aku tak peduli dengan keluargamu. Memangnya kita masih memiliki hubungan?” Harvey melipat tangannya di d**a. Tawa yang tadi ia keluarkan sudah bisa dikendalikan. “Mungkin ini terdengar menjijikkan untukmu tapi aku benar-benar kehilanganmu. Tak ada kaitannya dengan hotel atau pun permintaan ibuku.” “Oh, jelas ada.” Harvey terkekeh sekali lagi. “Sekarang kau menyesal lantaran tak kau dapatkan impianmu. Mengemis maaf padaku karena kebodohanmu di masa lalu. Untuk apa?” Jacob terdiam. “Karena aku ada di puncak?” “Itu tak benar. tuduhanmu membuatku tak terima.” Harvey lagi-lagi melipat tangannya di d**a. “Lantas, aku semudah itu menerima perlakuanmu? Menganggap semuanya tak pernah terjadi?” “Tidak,” sela Jacob dengan segera. “Aku mohon beri aku kesempatan sekali lagi. kali ini, akan kulakukan dengan benar selayaknya seorang pria yang pantas untukmu.” Harvey berdecih tak suka. “Meski hotel ini belum jatuh ke tanganku, tapi suatu saat nanti, Bryan pasti memberikan padaku. Ini peninggalan Papa. Tak akan mungkin aku rela ada orang lain lama berkuasa, meski beliau adalah pamanku sendiri.” “Apa peduliku?” “Kau pasti peduli, Harvey. Kau memiliki kelembutan hati yang berbeda dengan wanita lain. seharusnya sejak tadi kau tinggalkan aku, kan?” Jacob kembali mengisi kepercayaan dirinya. Ia pun kembali meraih tangan Harvey yang kini ada di meja. mencoba peruntungannya sekali lagi. Dan … Harvey tak lagi menepis meski matanya menatap tautan tangan itu dengan sorot tak suka. Tapi tak jadi masalah, seperti ini saja sudah merupakan awalan yang bagus untuk Jacob. “Beri aku kesempatan sekali lagi untuk menebus kesalahanku. Akan kupastikan, semua kekecewaanmu terhapuskan.” “Bisakah?” tanya Harvey dengan nada penuh meragukan. Tangan satunya yang bebas, ia pergunakan untuk menyingkirkan tangan Jacob yang menggenggam erat. Tangan yang tadi kena sentuh, segera ia besihkan dengan tisu seolah sentuhan itu penuh dengan lumpur. Kotor. Dan tak ingin lagi ia rasakan bagaimana Jacob menyentuhnya. “Bagiku, apa yang kau katakan sejak tadi tak ada gunanya. Harvey yang kau kenal sudah mati. Aku datang dan bersedia bicara denganmu, bukan lantas membuatmu besar kepala. Oh … ayolah. Kalau kau memang bukan pria yang sama, yang sudah jauh lebih pintar dan mengerti bagaimana kejamnya dunia, kau akan mengerti jika aku hanya ingin mendengar alasan yang sesungguhnya.” Jacob terperangah. “Setelah aku tahu, aku makin bersyukur kau campakkan aku di masa lalu.” Ia pun berdiri dan kali ini tak akan sudi kembali duduk di tempat yang sama. “Aku masih mencintaimu, Harvey!” Jacob pun turut bangkit. Tapi gadis itu tak peduli, terus melenggang menjauh darinya. “Aku tak akan menyerah! Camkan itu!” Sebelum lift yang Harvey masuki menutup, pria itu masih juga mengejarnya. terengah tapi harvey tak peduli. Ia menekan terus tombol agar pintu tertutup tapi masih bisa Harvey dengar kata-katanya, “Kali ini, kupastikan kau akan kembali menjadi milikku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD