[14]

1316 Words
Tak ada yag tahu, kapan hari sial akan muncul. Biasanya datang tanpa permisi, serta sering kali dibarengi dengan kejadian memalukan. Tergantung individu yang akan membuat kejadian itu benar-benar memalukan atau menguntungkan. Bagi Harvey, bisa keduanya. Sialan sekali kaki serta pijakan yang ternyata serapuh hatinya ini. Saat ia menyudahi duduk serta urusannya bersama Justin, ia putuskan untuk menyusul Jacob. Bukan tak ingin di sini terlalu lama, selain angin berdebu, rasa panas yang cukup menyengat dan membuatnya tak nyaman, ia juga mendadak menjadi pusat perhatian. Sebenarnya tak jadi soal, tapi kebanyakan pekerja di sana membuat ia tak nyaman. Ketimbang dirinya melempar sepatu yang ia kenakan pada kumpulan orang-orang itu, lebih baik Harvey menyingkir. Naas, saat kakinya menapak pada area berbatu, kakinya tergelincir. Membuat tubuhnya limbung dan terjatuh ... namun. “Kau tak apa-apa?” tanya seseorang yang tak melepas kacamata hitamnya. Batu yang Harvey pijaki itu cukup untuk membuat bokongnya sakit. Tapi hal itu tak terjadi dalam hidupnya sekarang. sebagian tubuhnya ditahan demikian kuat. Dan dalam satu gerakan dari si penahan, Harvey ada di dalam jangkauan yang sangat aman. “Aku ... “ “Hampir saja kau terjatuh.” Si pria tadi melepas kacamatanya, memicing segera lantaran terik matahari memang mengganggu penglihatannya. Lantas tersenyum tipis begitu kembali menatap Harvey. “Kau sungguh tak apa-apa?” tanyanya sekali lagi. Entah karena terkesima atau karena sangat terkejut, membuat Harvey hanya bisa mengerjap. “Kurasa kau baik-baik saja Nona Manis.” Si Pria pun sedikit membuat jarak. Sembari mempertahankan perlindungannya siapa tahu, Harvey masih belum bisa berdiri normal. Dan di saat yang bersamaa, gadis itu malah memekik. “Ada apa?” Harvey benar-benar merasa kakinya nyeri sekali. Ia sampai berbungkuk demi mengusap bagian kaki yang terasa sakit sekali. “Ugh!” “Kau terkilir,” kata si pria dengan tenangnya. “Bisa berjalan sedikit? Sampai ke bangunan di sebelah sana?” tunjuknya pada bangunan yang terlihat kokoh serta sepertinya dijadikan tempat sebagai kantor di dalam proyek ini. “Kurasa di sana ada beberapa obat-obatan pereda nyeri.” “Tapi ini sakit sekali,” kata Harvey menggigit bibir bawahnya. Ia tak beralasan, sungguh merasa kesakitan mungkin karena langkah tadi yang begitu mendadak serta tak stabil bebatuan di sana. “Jika kau mengizinkan, aku bisa mengendongmu sampai di sana?” tawar si pria. Harvey memejam kuat, berpikir. Di depannya, si target begitu dekat. Tapi tak mungkin ia memanfaatkan moment memalukan seperti ini. tapi rasa nyerinya ... Tuhan! kenapa ini harus terjadi pada Harvey? “Bantu aku saja. kurasa aku bisa berjalan meski perlahan,” kata Harvey sembari menahan sakit. Berulang kali ia memijat lembut pangkal kakinya. Berusaha untuk menepis nyeri yang terasa menyiksa. “Baiklah.” Bryan tersenyum tipis, membantu Harvey berdiri meski tampang gadis itu pastinya menahan sakit. Andai ia terlambat berlari dan menyangga tubuh gadis itu, entah apa yang terjadi. Mungkin bukan hanya terkilir, tapi kepalanya bisa terluka. Lagi pula kenapa gadis ini ada di proyek? Ah ... Jacob! Pasti Jacob yang mengajak kekasihnya ke area berbahaya seperti ini. apa ia tak tahu tempat ini tak cocok untuk kenca? Apa yang ada di kepala keponakannya itu? “Kau yakin?” tanya Bryan yang kini mulai membantu Harvey untuk melangkah. Pelan tapi setidaknya gadis itu berusaha untuk terus bergerak. Tertatih serta sesekali Bryan dengar ringisan dari si gadis. “Tidak,” kata Harvey pelan. Ia menarik napasnya pelan, menatap bangunan yang rasanya berkali-kali lipat jarak yang terbentang. “Maafkan aku jika tak sopan. Kau butuh pengobatan segera.” Bryan pun menunduk, mengangkat tubuh Harvey dengan mudahnya. Menyelipkan dengan mantap, kedua tangannya di paha Harvey yang terbalut jeans ketat. Mengabaikan pekikan tak percaya dari gadis yang kini ada di gendongannya. “Turunkan aku,” bisik Harvey dengan geraman kesal. “Kita diperhatikan banyak orang!” ‘Sejak tadi juga hal itu sudah terjadi, Nona Manis.” Bryan tak lagi memasang senyum di bibir. Wajahnya terlihat kaku dan dingin. Sorot matanya juga tak lagi ada kehangatan seperti saat bersemuka dengan Harvey tadi. Melihat perubahan ekspresi Bryan, membuat Harvey memilih untuk bungkam. Inginya bertanya tapi sepertinya pria itu tak ingin ada yang bicara sampai tiba di tempat tujuan mereka. lagi pula Harvey juga merasa nyerinya makin jadi meski sudah digendong. Pada akhirnya Harvey sadar, jika jalan yang tadi ia lalui memang cukup berbahaya jika tak memerhatikan langkah. Ck! Sial sekali dirinya! Jika nyeri ini tak kunjung sembuh hingga esok, entah apa yang akan terjadi. Kepalanya teringat betapa banyak jadwal yang harus ia tuntaskan setelah dari Yazeran. “Harvey!” Itu suara Jacob dan pria itu setengah berlari menghampiri Harvey yang ada di gendongan Bryan. “Apa yang kau lakukan?!” kata Jacob dengan nada berang. “Aku?” Bryan mencibir sinis. “Seharusnya kau berterima kasih padaku, Anak Muda. Ini bukan tempat yang tepat untuk kencan! Apa kau tahu apa yang terjadi dengan kekasihmu?” Jacob menggeram kesal jadinya. “Berikan Harvey padaku.” Harvey yang merasa seperti piala bergilir, mengambil suara. “Tolong bawa aku ke ruangan yang terdapat obat pereda nyeri. Aku tak ingin memperpanjang urusan di sini. dan Anda, Tuan baik hati. Terima kasih sudah membantuku tapi koreksiku masih jelas, aku bukan kekasih keponakanmu. Dan aku tak tengah berkencan di sini.” Bryan menatap Harvey denagn sorot tak percaya. Yang mana mata mereka beradu agak lama, tak memedulikan masih ada Jacob di dekat mereka. sampai suara deham Jacob yang cukup besar, membuat tatapan itu akhirnya terpisahkan. “Aku akan membawamu ke sana, Harvey,” kata Jacob sembari membantu Harvey untuk turun. “Tidak.” Harvey menolak. Ia justru melingkarkan tangannya pada leher Bryan. “Tuan baik hati ini harus membantuku sampai akhir sebagai permintaan maaf telah menuduhku macam-macam.” Jacob terperangah, sementara Bryan menghela pelan. “Lagi pula jika aku turun dari gendongan ini, kakiku bisa semakin sakit. Kau tahu, agensiku bisa menuntut banyak uang atas apa yang terjadi.” Bryan terkikik jadinya. “Baiklah jika itu keinginanmu, Princess.” Mata Harvey terbeliak. “Kau! Jangan sembarangan!” “Namamu Harvey Princessa, kan?” Rasanya jika tak ingat siapa yang ada di dekatnya, apa tujuannya, serta langkah apa yang harus ia lakukan jika bisa dekat dengan Bryan, sudah tentu Harvey layangkan satu pukulan tepat di wajah tampan Bryan. Enak sekali mengganti nama panggilannya! “Lebih baik kau bersamaku, Harvey,” kata Jacob yang membuat langkah Bryan terhenti. “Aku bisa membawa Harvey dengan aman.” “Tidak perlu,” kata harvey sembari tersenyum tipis. “Kau selesaikan dulu pekerjaan yang ada. aku tunggu di ruang pengobatan saja.” Jacob menggeram kesal, menatap Bryan dengan raut tak senang. Sementara pria itu benar-benar tak peduli dengan Jacob. Bahkan setelah mereka menjauuh pun, Bryan tak menurunkan sorot sinis dan penuh dengan kekesalan itu. Hingga langkah besar Bryan tiba di ruangan yang tertera papan Ruang Kesehatan. “Tolong bukakan pintunya,” kata Bryan yang segera dipatuhi Harvey. Dua ranjang serta satu meja khusus di mana seseorang berpakaian jas putih menyambut mereka. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada panik. “kakinya terkilir,” kata Bryan mendahului suara Harvey. langkahnya pun mengarah pada ranjang dan mendudukkan harvey penuh hati-hati. “Di kaki sebelah kiri.” “Astaga!” Pria berjas putih itu pun segera menghampiri mereka. “Anda bisa meninggalkan kami sekarang, Tuan Bryan. Saya pastikan Nona ... “ Pun matanya menatap Harvey seolah meminta bantuan. “Harvey,” sahut Harvey segera. yang mana tatapan itu berubah menjadi pelototan terkejut. “Harvey ... super model itu?” Harvey tersenyum tipis. “Senang bertemu Anda.” Ia pun sedikit menggoyang kakinya. “Bisa tolong diperiksa? Nyeri sekali.” “Oh tentu saja!” Berbeda dengan Bryan yang segera sibuk dengan ponselnya. Begitu sedikit punya waktu untuk bicara dengan Harvey, ia pun berkata, “Akan kuminta Jacob untuk ke sini. Dan jangan pernah ke tempat berbahaya seperti ini. Paham?” Entah kenapa, perkataan yang penuh dengan nada perintah serta tak suka yang kentara, membuat Harvey mengangguk patuh. “Bagus.” Bryan pun mendekat. “Segera pulih, Princess.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD