"Jika tak ada lagi hal penting yang ingin kau bicarakan padaku, sebaiknya aku pulang saja. Pekerjaan di kantorku masih banyak," ucapku dengan nada datar bahkan kini dengan berani aku menatap tajam Restu. Sungguh, mendengar Restu yang mengucapkan permintaan maaf padaku membuat d**a ini semakin sesak saja. Aku takut jika kebencian pada Restu seperti dulu kala akan kembali menguasai hatiku. Padahal mati-matian aku berusaha menghilangkan dendamku pada lelaki di hadapanku ini.
"Tunggu, Zi! Jangan pulang dulu. Ada hal lain yang ingin aku tanyakan padamu. Ini mengenai Gladis. Tadi kau mengatakan padaku jika kau sedang mengatur rencana pernikahanku dengan Gladis. Itu apa maksudnya, Zi?"
Aku tentu bingung dengan apa yang Restu tanyakan. Bagaiaman mungkin lelaki itu tidak tahu menahu mengenai rencana pernikahannya sendiri. Sebenarnya aku curiga sejak Gladis yang mendatangi kantor seorang diri dan meminta acara pernikahannya di percepat tiga bulan lagi.
"Sebentar Restu. Kenapa jadi aku yang bingung. Kapan hari Bu Gladis datang ke kantor. Mengatakan jika tanggal pernikahan kalian kurang dari tiga bulan lagi. Bahkan Bu Gladis sudah membayar tujuh puluh lima persen dari total budetnya."
Restu tampak membulatkan matanya. Lalu menghela napas kasar. Meraup wajahnya berkali-kali. Aku menyaksikan bagaiman Restu galau mendengar ceritaku.
"Sebenarnya ada apa ini? Jangan membuatku bingung. Jika memang rencana pernikahan kalian belum pasti, lebih baik aku berhenti sampai di sini. Sebelum semuanya terlambat," jelasku. Sungguh aku tak tahu apa-apa dalam hal ini. Restu dan Gladis ini sangat misterius menurutku.
"Jadi ... Gladis sudah membayar pada WO kalian?" tanya Restu kembali memastikan
Aku mengangguk mengiyakan."Tujuh puluh lima persen itu tidak sedikit Restu. Dan waktu yang Bu Gladis berikan hanya tiga bulan. Oleh sebab itulah aku segera bergerak cepat jika tidak ingin semua kacau."
"Zi, maafkan aku. Sebaiknya aku akan menemui Gadis dulu. Jujur, sebelumnya tanggal pernikahan itu masih aku perdebatkan dengan Gladis. Oleh karena itulah saat kami menemui WO kalian, aku dan Gladis belum bisa menetapkan tanggal pastinya. Tapi jika sekarang Gladis sudah memastikan sendiri, maka aku bisa apa selaij menurutinya." Restu mengedikkan bahunya.
"Jadi, aku harus bagaimana sekarang? Tetap menjalankan semua atau berhenti sampai di sini?"
Restu menggelengkan kepala. "Karena Gladis susah membayar sebagian jasa wedding planner, memang sudah menjadi tugasmu untuk melaksanakan apapun yang Gladis inginkan. Dan mengenai Gladis sendiri, aku nanti yang akan bicara dengannya. Sangat mengejutkan memang." Gerutuan Restu masih bisa aku dengar.
Tapi aku tak mau mencampuri urusan pribadi mereka. Benar apa yang Restu sampaikan jika sebagai Wedding Planner tugasku hanyalah menjalankan apa yang klien minta.
"Baiklah, jika demikian. Aku akan tetap melanjutkan apa yang harus aku kerjakan."
Restu mengangguk. Wajah Restu tak secerah tadi. Sepertinya Restu sedang berpikir sesuatu. Apalagi jika bukan mengenai Gladis. Aku mengangkat pergelangan tanganku. Menatap jam yang melingkar di sana. Sudah sore saja rupanya.
"Restu ... Aku harus kembali ke kantor sekarang," ucapku dan Restu mengangguk setuju.
"Baiklah, aku akan mengantarmu."
Aku menurut saja. Beranjak berdiri disusul oleh Restu. Jika kedekatan kami seperti ini, pasti tak ada yang menyangka jika aku sangat membenci lelaki di sebelahku ini. Tapi apa boleh buat. Lelaki yang aku benci kini menjadi klienku. Seorang klien yang harus aku turuti apa kemauannya. Demi profesionalitas dalam bekerja.
***
Mobil Restu berhenti tepat di depan kantorku. Kubuka seat belt lalu menoleh kepadanya.
"Terima kasih sudah mengantarku."
Restu tersenyum. Untuk pertama kali ini aku memperhatikan senyumnya, setelah beberapa waktu mengenalnya, hanya ada wajah penyesalan yang selalu Restu tunjukkan.
Teringat akan motor milikku, aku mengurungkan niat untuk turun dari dalam mobil." Restu ... motorku?" tanyaku dengan nada menggantung.
Seolah tahu apa yang aku maksudkan, lagi-lagi Restu tersenyum. Sial, kenapa lelaki ini jadi banyak senyum. Sepertinya aku salah telah berbaik hati padanya hari ini. Seharusnya aku tetap saja bersikap sinis dan menyebalkan jika berhadapan dengannya, agar Restu tak besar kepala menganggap aku telah memaafkannya. Sangat sulit memang memaafkan semua perbuatannya. Terlebih perbuatan yang telah Restu lakukan itu sangat mempengaruhi kehidupanku sampai sekarang. Tapi entah mengapa kebencian di dalam hatiku ini perlahan memudar dengan tidak adanya lagi interaksi diantara aku, Restu, dan Mas Reno. Dan sekarang, pertemuanku kembali dengan Restu, sedikit mempengaruhi hidupku. Tapi rasa benciku pada lekaki itu sudah tak sebesar dulu. Mungkin karena aku selalu mencoba dan berusaha ikhlas menjalani semua ini, sehingga hati ini perlahan semakin membaik dan aku pun semakin mudah mengontrol emosi.
"Kau tenang saja. Motormu sebentar lagi akan di antar ke mari."
Jawaban Restu membuatku mengangguk dan bergegas turun dari dalam mobil. Memilih mengabaikan keberadaannya dan masuk ke dalam kantor.
Begitu aku memasuki kantor, Tari sudah menyambut kedatanganku. Kepalanya melongok keluar menatap mobil yang baru saja kembali berjalan meninggalkanku. Ruang depan kantorku ini memang di d******i dengan pintu dan dinding kaca, sehingga kami yang berada di dalamnya mudah melihat hiruk pikuk di luaran sana.
"Kak Zima, pulang diantar siapa?"
Matilah aku. Pertanyaan yang tak mungkin ku jawab dengan jujur.
"Temen. Oh, ya Tari. Rani ada mencariku tidak?" tanyaku mengalihkan perhatian Tari agar tak banyak lagi bertanya seputar Restu.
"Ada. Tapi aku katakan pada Bu Tari jika Kak Zima sedang menemui pihak hotel."
Aku mengangguk lalu menepuk lengannya. "Terima kasih, ya. Aku masih dulu."
Aku melangkah meninggalkan Tari, tapi detik selanjutnya kembali membalikkan badan. "Eum... Tari!" panggilku.
Tapi menoleh, "Ya, Kak?"
"Jika nanti ada orang yang datang mengantar motorku, tolong kuncinya kamu simpan ya!"
Tari mengangguk. "Baik, Kak. Memangnya motor Kak Zima ada di mana sekarang?"
Kenapa lagi Tari harus bertanya. "Rusak," jawabku asal penuh dengan kebohongan. Segera aku menuju ruanganku karena tidak mau Tari semakin mencercaku.
Masuk ke dalam ruang kerja dan langsung kujatuhkan tubuh lelah ini di atas kursi. Hari ini sangat menguras fisik dan tenagaku. Pertemuan dengan Restu menambah beban pikiranku. Belum lagi mengenai misteri Gladis dan Restu yang tentu saja membuatku bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi pada mereka. Semakin membuatku kepikiran saja. Meskipun itu semua bukan urusanku, tapi yang jelas aku terlanjur tahu. Kegelisahan sempat kurasakan. Bagaimana seandainya pernikahan keduanya bermasalah nantinya. Otomatis itu semua akan berdampak pada pekerjaanku sebagai wedding planner. Terlebih jika sampai acara itu mengalami hambatan atau berujung gagal, maka semua akan direpotkan.
Kugelengkan kepalaku mengusir tanya dalam benakku. Berusaha menghibur diri karena yang aku tahu Gladis sudah membayar jasa kami.