1. Prolog
Aku berteriak sekencang mungkin kala mendapati seorang lelaki yang tak asing di mataku, sedang berbaring telungkup disampingku. Segera menarik selimut yang teronggok di kakiku, menutupi seluruh bagian tubuh polosku. Bagaimana mungkin saat aku terbangun dari tidur, maka sosok Restu lah yang terlihat oleh mataku, karena wajahnya yang persis menghadap ke arahku. Ini tidak mungkin. Seharusnya Mas Reno yang berada di sebelahku saat ini, karena ini adalah malam pengantin kami.
Ya. Tadi pagi Mas Reno telah resmi menikahiku. Setelah prosesi ijab qabul yang dilanjutkan dengan acara resepsi. Hingga semua prosesi pernikahanku dengan Mas Reno baru selesai saat hari menjelang malam.
Dan kini pagi menyapa. Tangisku pecah seketika, meraung tak dapat kukendalikan. Membuat lelaki yang tak lain adalah sepupu suamiku ini, terbangun sambil mengucek matanya dan merubah posisi tidurnya menjadi telentang. Beringsut bangun menegakkan tubuhnya. Matanya memicing menatapku. Tak ada raut kaget di matanya.
Gedoran di pintu kamar mengalihkan perhatianku juga menghentikan tangisanku. Dan ketika pintu itu terbuka, aku terkejut mendapati semua anggota keluarga dengan muka cemas berkumpul di depan pintu kamar.
Ada Mas Reno, Mama dan juga papa Mas Reno, serta kedua orang tua Restu yang tak lain adalah adik dari kedua orangtua Mas Reno. Reaksi yang mereka tunjukkan pun sama denganku. Terkejut mendapati kondisiku yang mungkin saja terlihat mengenaskan.
"Restu....!!" geram Mas Reno, lalu menghampiri adik sepupunya itu. Begitu saja melayangkan satu pukulan tepat di wajah lelaki bernama lengkap Restu Wibisono.
Kegaduhan yang ditimbulkan oleh mereka membuatku semakin menjerit ketakutan. Aku kembali histeris. Dan hal itu tak luput dari perhatian Mas Reno. Setelah puas menghajar sepupunya, lelaki itu mendekatiku dan mendekap tubuhku. Aku semakin sesenggukan melabuhkan wajahku di d**a bidang nya.
Papa dan juga mama Mas Reno yang sama ketakutan nya denganku, kini seolah tersadar dengan apa yang baru saja terjadi, bergegas menghampiri kami. Papa Mas Reno menyeret Restu keluar dari dalam kamar, diikuti oleh kedua orangtua Restu . Sementara Mama Mas Reno memilih mendekatiku, mengusap pelan punggung yang berada di dalam dekapan Mas Reno.
"Ren ... sebaiknya bawa istrimu ke dalam kamarmu."
Jelas aku mendengar perkataan mama. Jadi ... Aku tak berada di dalam kamar Mas Reno semalam? Bagaimana bisa? Lantas ... Ini kamar siapa? Tidak mungkin ini kamar Restu, karena lelaki itu hanyalah tamu yang kebetulan datang untuk menghadiri acara pernikahanku dengan Mas Reno.
Menuruti permintaan mamanya, Mas Reno mengangkat tubuhku dan dibawanya keluar dari kamar itu. Aku yang masih shock juga tak bisa menghentikan tangisku, merasakan jika Mas Reno telah menurunkanku di atas sebuah kasur yang sangat lembut. Menyelimuti seluruh tubuhku dan mengusap rambutku.
Aku tak berani membuka mata, apalagi bersitatap dengannya. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Yang jelas, seluruh tubuhku terasa remuk redam. Nyeri dimana-mana, terutama di tubuh bagian bawahku. Memilih memejamkan mata, merasakan sakit yang luar biasa dalam.
Dan entah berapa lama aku memejamkan mata. Hingga saat aku tersadar, sayup kudengar suara - suara seperti seseorang sedang berbicara.
"Bagaimana kondisi Zima, Ren?"
"Entahlah, Ma. Sejak pagi tadi Zima belum juga mau bangun."
"Apa perlu kita panggilkan dokter?"
"Lebih baik jangan, Ma. Kita tunggu sampai Zima bangun dengan sendirinya."
"Mama takut jika Zima mengalami trauma. Saat mama memasang baju tadi ... sungguh mama tak bisa berkata - kata lagi, Ren," suara mama mulai tercekat.
Aku mendengarnya. Mendengar semua perbincangan mereka. Hanya saja untuk membuka mata ini terasa begitu berat.
" Restu memang brengsek....! " nada suara Mas Reno sarat akan emosi.
" Sabar, Ren. Jangan gegabah dan jangan bertindak anarkis. Mama tahu Restu salah. Dan dia juga sudah meminta maaf."
"Aku tak akan pernah bisa memaafkannya, Ma. Dan satu hal lagi, Restu juga harus meminta maaf pada Zima. Dan aku tak yakin jika Zima akan memaafkan Restu."
Tiba - tiba saja air mataku meleleh di sudut mata.
***
Bagai seorang pesakitan yang sedang menghadapi sebuah sidang. Aku dikelilingi dengan semua anggota keluarga Mas Reno, beserta Restu dan kedua orang tua lelaki itu tentunya. Dan juga kedua orang tuaku turut hadir mendampingiku. Di ruang tamu rumah kedua orangtuaku, aku hanya bisa menyandarkan kepala di bahu Ibu. Tak pernah melepaskan pelukan di bahuku, Ibu berusaha menguatkanku atas semua kemalangan yang menimpaku. Tak mampu menatap satu persatu orang-orang yang kini mengelilingiku.
"Bapak dan Ibu, saya selaku orangtua Restu, ingin meminta maaf yang sebesar - besarnya atas apa yang telah dilakukan oleh Restu, putra kami," ucap papa Restu menyesali perbuatan putranya kepada kedua orang tuaku.
Aku tahu jika sebenarnya ayah serta ibuku sangat murka kepada mereka semua. Bagaimana Ayah dan ibu tidak marah kala mendapati anak perempuan nya yang baru saja menikah sudah kembali ke rumah dalam kondisi yang tidak utuh lagi. Andai Mas Reno yang melakukan semua ini, mungkin tak akan jadi masalah besar. Tetapi ini Restu. Lelaki yang mungkin saja usianya di bawahku yang telah melakukannya. Bagaimana mungkin lelaki itu sanggup bersikap biadab. Sungguh aku sangat membencinya. Jika aku bisa melakukannya, mungkin sudah kuludahi wajahnya.
Karena ayahku hanya diam berusaha menahan amarah yang ingin meledak-ledak, kini giliran papa Mas Reno yang berbicara.
"Besan ... Sungguh ini semua diluar kuasa kami. Maafkaan kami juga yang tak bisa menjaga Zima dengan sebaik - baiknya."
Disaat para orang tua sibuk meminta maaf, kuberanikan diri mendongak menatap Mas Reno, suamiku. Wajah Mas Reno tak terbaca. Terlihat tenang, tapi aku tahu jika Mas Reno tengah merasakan sebuah kekecewaan yang begitu besar. Hanya saja, lelaki itu tak mampu menunjukkannya. Tiba - tiba tatapan kami bertemu. Mas Reno terburu-buru membuang pandangan nya. Itu artinya, dia tak ingin melihatku. Ya Tuhan, aku ingin menangis saat ini juga. Melihat suamiku yang merasa jijik kepadaku. Aku tak kuasa menahan semua beban ini. Ingin aku berlari menjauh dari semuanya. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku tak seberani itu. Dan aku terlalu rapuh karena hanya bisa menyesali serta meratapi semua yang telah terjadi.
"Saya akan bertanggung jawab dengan apa yang telah saya perbuat."
Kompak semua menoleh pada Restu. Terutama ayahku. Ayah yang biasa bermata teduh kini yang terlihat hanya kilat amarah di matanya.
"Apa maksudmu, Restu?" tanya ayahku.
"Saya akan menikahi Zima."
"Itu tidak mungkin, karena Zima adalah istri Reno. Kecuali... Jika Reno menceraikan Zima. Kau baru bisa menikahinya."
"Aku tidak mau ayah...!" seruku.
Dan hal itu mampu membuat mereka semua kini beralih menatap kepadaku. Aku kembali menunduk dengan hati bergemuruh.
"Aku tidak akan menikah dengan Restu." kuulangi perkataanku dengan nada lirih.
Mana mungkin aku sudi dinikahi oleh lelaki b******k seperti Restu, yang telah tega menghancurkan masa depanku. Bagaimanapun juga hanya Mas Reno yang aku cintai. Dan aku tak mau Mas Reno menceraikanku hanya demi Restu. Agar lelaki itu bisa menikahiku. Itu tidak akan pernah terjadi. Dan aku tak akan sudi memaafkan, apalagi menerima pertanggung jawaban lelaki bernama Restu Wibisono itu.