Nabila

2511 Words
"Kita emang sinting." "Yeah, sinting," sahut Echa lalu keduanya terbahak. Sebetulnya ada kesedihan mendalam dibenak masing-masing. Tapi mereka sudah mempersiapkan diri selama beberapa minggu ini untuk kemungkinan terburuk. Ya, pasrah menjadi jalan akhir. Mereka tentunya sempat ditawarkan untuk kembali tapi mereka bertekad menolak meski tergoda mati-matian. Hingga akhirnya kompak bertahan sampai akhir meski harus kehilangan pekerjaan. Keduanya kembali ke apartemen Nabila. Tadi pintu kantor bahkan tertutup untuk mereka. Maksudnya, tidak diberikan izin untuk masuk setelah berhasil membawa kantor mereka segera diaudit oleh kementerian dalam waktu dekat. Padahal mereka berharap kalau bos mereka mengalami hal yang lebih dari itu. Misalnya? Ditutup usahanya. Tapi kasihan pula dengan pegawai lain yang masih butuh pekerjaan. Jadi serba salah ya? Ya begitu lah. "Lo gak bilang Ferril tentang ini?" "Dia siapa?" Nabila terbahak. "Dia kan perhatian sama lo, Cha. Ada orang yang sayang begitu sama lo, kenapa gak dicoba aja sih?" Ia heran. Pasalnya, meski aroma playboy si Ferril itu tercium jelas, menurut Nabila, Ferril masih bisa dipercaya. Yaah kebaikan dan terkadang mau-mau aja disuruh ini-itu adalah pembuktian kalau Ferril itu benar-benar sayang. Meski yah, semua cowok juga begitu kalau ada maunya. Iya kan? "Gue gak mau menyusahkan orang lain." "Lo gak pernah menyusahkan. Lo malah terlalu mandiri sampai-sampai sering berpikir kalau minta bantuan ke orang lain itu seperti sebuah dosa." Echa terdiam. Barangkali mmang benar. Ia sudah terbiasa berdiri di kakinya sendiri. Bahkan sejak kecil pun begitu. Terlebih, bagus ibunya, ia hanyalah mesin uang. Yah sejenis investasi untuk masa depan ibunya. Padahal Echa tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Untuk apa ia dilahirkan jika pada akhirnya malah dijadikan investasi masa depan oleh ibunya? Padahal ia juga manusia dan berhak menggapai mimpinya. "Apa rencana lo selanjutnya?" Echa menghela nafas. "Nunggu pengumuman beasiswa." "Yang Swiss?" Echa mengangguk-angguk. Ia tak punya pilihan lain. Dua beasiswa lain yang ia lamar sudah jelas menolaknya bahkan di tahap pertama, administrasi. Ia gagal dengan essay yang dibuatnya. Kalau dibilang patah semangat? Sangat. Ia bahkan hampir putus asa. Meski demikian, ia tak pernah menyalahkan Tuhan. Ia hanya lelah saja dengan nasibnya yang tak kunjung baik hingga saat ini. Wajar bukan? Karena setiap manusia tidak bisa kuat setiap waktu. Ada di mana hingga akhirnya ia mencapai titik terendah. "Elo?" Echa melempar tanya. "Apalagi kalau bukan nyari kerja?" Gadis itu mengangguk-angguk. "Sahabat lo apa kabar?" "Shadiq maksud lo?" Echa mengangguk. Satu-satunya sahabat lelaki Nabila yang ia tahu hanya cowok itu. Dulu cowok itu kuliah di IPB alias Institut Pertanian Bogor. Kalau Echa, Nabila dan teman-teman lain ke Bogor, cowok itu lah yang kerap kali mengantar dan menjemput mereka. Sejak awal juga Echa sudah memiliki insting kalau cowok itu.... "Dia sedang S2 di Amerika." "Oh yaaa?" Echa kaget. Pasalnya sudah tak pernah mendapat cerita dari Nabila tentang cowok itu. Maksudnya, keduanya kan dekat sekali. Nabila berdeham. "Sudah beberapa bulan sih." "Terus?" "Apanya yang terus?" "Lo gak pernah cerita lagi tentang dia." Nabila menghela nafas. Kemudian gadis itu beranjak dan mengambil gelas. Ia tiba-tiba saja merasa haus. "Gue berantem besar sama dia dan yaaah--" "Berantem?" Nabila mengangguk setelah meneguk semua airnya hingga tandas. "Ya lo tahu lah kalau gue paling males sama yang namanya asmara. Semua bullshit!" Echa terdiam. Ia tahu kalau Nabila tak bisa melupakan trauma keluarganya terkait hal ini. Menurut Echa juga wajar karena yaaah, selama hidup sedari kecil, Nabila terus dikelilingi permasalahan keluarganya. Entah orangtuanya bertengkar hingga hampir saling membunuh, semua itu terjadi di depan matanya. Nabila bahkan pernah depresi karena menahan semua kesakitan dan juga emosinya dikala SMA. Gadis itu cenderung menyakiti diri sendiri. Yah sebagai efek traumatis. Setiap orang memang memiliki kondisi yang berbeda dan tak bisa menyalahkan satu sisi dari Nabila yang dianggap lemah. Karena bisa jadi, saking sudah seringnya kejadian semacam itu di depannya bahkan mampu membuatnya hampir gila. Persoalan kesehatan mental itu memang tidak bisa dianggap sepele. "Dia suka sama lo?" Echa bertanya pelan. Ia hanya ingin memastikan namun malah tak mendengar jawaban apapun dari Nabila. Jadi instingnya benar bukan? Karena cowok bernama Shadiq itu memang terlihat sangat perhatian pada Nabila. "Gue kasarin waktu itu karena dia suka sama gue padahal jelas kalau sedari dulu, kita tuh hanya temen, hanya sahabat. Gue gak mau lebih dari itu." "Lo tahu kalau gak semua hubungan akan berakhir buruk, Babil." "Tapi sejak awal itu sudah buruk." Echa menghela nafas. Nabila memang sering keras kepala sama sepertinya. "Terus dia bilang apa?" "Gak bilang apa-apa abis itu lost contact." "Lo tahu dari mana dia lagi S2?" "Waktu gue pulang beberapa bulan kemarin, gak sengaja ketemu ibunya dan adiknya." Aaah, pantas saja. Echa mengangguk-angguk. Ia jadi ingat kisah di mana Echa terperangkap dalam pertemuan Shadiq, keluarga Shadiq dan Nabila. Saat itu, keluarga Shadiq sedang datang ke Jakarta untuk menjenguk anak perempuannya, adiknya Shadiq yang kuliah di salah satu kampus di Jakarta. Nabila diajak Shadiq untuk sama-sama bertemu adiknya. Lelaki itu tak bilang kalau ada orangtuanya juga. Echa? Saat itu sedang bertemu Nabila dan malah ikut-ikutan ke Jakarta. Eeeeh ternyata malah seperti itu. Shadiq datang menemui ayah, ibu dan adiknya. Nabila kaget karena tak menyangka kalau akan ada orangtua Shadiq. Echa lebih kaget dengan pertemuan itu. Hahaha. @@@ Gara-gara membicarakan Shadiq pada Echa membuatnya galau. Ia bukannya rindu tapi hanya merasa bersalah. Ia tak bermaksud kasar saat itu tapi hanya mengomel. Karena apa? Mereka sudah berteman lama. Rasanya aneh kalau tiba-tiba membicarakan perasaan. Sementara selama ini, Shadiq juga sering berpacaran dengan perempuan lain. Tentunya bukan untuk membuatnya cemburu. Melainkan memang menyukai para perempuan itu. Bahkan berpacaran sangat lama. Lalu putus. Alasannya? Karena katanya Shadiq tak bisa LDR. Menjalani hubungan jarak jauh itu menang sulit. Tapi hello? Perempuan ith hanya pulang ke kampung halamannya di Bali usai lulus kuliah. Jarak Bandung ke Bali tak begitu jauh. Masih bisa ditempuh dengan bus bahkan. Kalau memang Shadiq berniat mengunjunginya sesekali. Saya mendengar curhatan Shadiq tentang itu, Nabila tak paham dengan apa yang ada di kepalanya. Padahal mereka berpacaran dua tahun lama selama masa kuliah. Nabila menggelengkan kepalanya kalau mengingat hal itu. Kini jemari Nabila bergerilya membuka profil Shadiq. Tak ada perkembangan terbaru dari postingannya. Masih postingan terakhir tentang terumbu karang. Ia tahu kalau Shadiq hobi menyelam meski jurusannya jelas bukan itu. Tapi yah terserah Shadiq lah. Kemudian Nabila merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ingin bertanya kabar tapi akan canggung sekali rasanya. Kenapa? Yaaaa karena kejadian terakhir itu. Meski setelah itu, Shadiq masih semapt menanyakan keberadaannya. Maksudnya, dikala menjelang lebaran setelah dua bulan dari kejadian itu. Lelaki itu hanya bertanya apakah Nabila akan pulang atau tidak. Kalau pulang, akan pulang tanggal berapa? Namun Nabila malah memberikan jawaban yang menggantung. Karena pertama, Nabila memang malas pulang. Gadis itu malas bertemu ibunya meski Omanya sangat rindu. "Ammaaaaaaar!" Ia malah menelepon Ammar. Ammar tertawa. Cowok itu sedang asyik mengobrol dengan Bastian. Ia memang masih di Jakarta. "Galau kenapa lagi?" Ia sudah bisa menebak apa alasan Nabila suka sekali mencarinya disaat hatinya sedang mendung. Gadis itu memang paling terbuka pada Ammar. Ia akan menceritakan apapun. Ia tidak seterbuka ini pada Upik dan Chayra. Mungkin karena teman-teman ceweknya juga kadang susah dihubungi. Echa juga. Paling hanya bercerita banyak disaat berada di kantor. Kini mereka sudah tidak bekerja bersama lagi. Rasanya akan jauh berbeda. "Lo ingat Shadiq?" Ammar terbahak. "Temen lo dari SMA itu?" Nabila berdeham. Sementara itu, Bastian bertanya tanpa suara tentang siapa yang menelepon Ammar. Ammr menyebut nama Nabila tanpa suara. Bastian mengangguk-angguk. Sejujurnya, Bastian malah mencurigai hubungan Ammar dan Nabila sejak dulu. Tapi kecurigaannya tak pernah terbukti. Cowok itu memang begitu. Bahkan pada Upik pun sama. "Kenapa lagi dia?" "Gak kenapa-kenapa. Cuma sepi aja. Aneh gak sih?" Ammar terbahak. "Lo suka kali." "KAGAK!" bantahnya cepat. Ia paling tak suka diolok dengan cowok manapun yang merupakan sahabatnya. Karena memang tak ada apapun. "Terus ngapain ngomongin tuh cowok kalo gak ada rasa?" "Ngomongin kan bukan berarti suka, Mar." Ammar terkekeh. Ya memang benar sih. Tapi mendengar Nabila seperti ini justru terkesan aneh. Apalagi ia juga sudah lama tak mendengar nama Shadiq disebut. Dari sekian bulan terakhir. "Terus galau kenapa? Ngomong dong. Gue kan gak bisa menebak isi hati orang." Nabila menghela nafas. Lalu menceritakan kejadian tadi yang jelas-jelas tak ada yang spesial. Ia hanya mengulang kisah yang sama. "Aaaah. Coba sapa lah. Siapa tahu abis itu kalian bisa akur lagi. Kita kan gak pernah tahu kalau gak nyoba." "Tapi gue terlanjur malu." Ia menghela nafas. "Ini gak gampang, Mar." "Ini gampang. Lo yang hanya membuatnya terkesan sulit. Apalagi dia seenggaknya masih berbaik hati menanyakan keadaan lo. Iya kan?" Nabila tercenung. Memang benar. Ini apa ia yang terlalu bawa perasaan atau bagaimana? Ia jadi tak paham. "Ketika gue dengar lo ngomong kayak gini, seketika gue berpikir, jangan-jangan lo naksir dia juga? Atau punya perasaan lebih dari suka?" Terdengar desisan yang membuat Ammar terbahak. Nabila memang keras kepala. Terkadang tak mau mengakui kalau mungkin ia bisa saja terperosok kan? Karena tidak semua manusia peka dengan perasaannya sendiri. Namun Nabila hanya memegang prinsip kalau saat ini memang bukannya memikirkan jalan akhir untuk mengakhiri sebuah persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu sama sekali tak ada di dalam idenya. @@@ Upik terkekeh melihat Nabila datang ke kafenya. Tak lama lagi, Upik memang akan segera pulang. Sepertinya akan bersama Ammar. Tapi tentu saja mereka berbeda tujuan. Karena Upik tidak ke Palembang melainkan ke Padang. Dan gadis pengangguran ini datang dengan berbagai keluhan tentang pekerjaan yang sulit dicari. "Lo gak bilang Oma lo kalo lo nganggur?" Nabila menggeleng. Ia menang enggan menyusahkan orang lain. Saat kuliahnya hampir putus pun Omanya yang membiayainya. Meski Omanya memang orang mampu. Maksudnya, punya banyak usaha dan harta. Kalau pada anaknya, mamanya sendiri, perempuan itu agak pelit. Mungkin tidak bisa menyalahkan sikap Oma sepenuhnya. Karena Mamanya memang tukang penghambur uang. Uang ditangannya selalu habis dan itu selalu menjadi awal pertengkaran dengan Papanya. Kebiasaan belanja yanh tak bisa hilang. Sementara Papanya malah mencari kehangatan perempuan lain. Yang tak bisa Nabila terima adalah karena perempuan lain itu sampai mempunyai anak yang kini sudah SMA. Sudah sangat besar bukan? Tapi Nabila dan dua saudaranya baru mengetahui hal itu saat Papanya ditangkap KPK beberapa tahun lalu. Tahun-tahun terburuk Nabila. "Kakak lo?" Nabila mendengus. Ia tahu kalau perempuan itu tak akan mau perduli kalau ia susah. Tahunya hanya meminjam uang padanya yang kalau tidak Nabila marahi atau mengamuk maksimal, tak akan pernah dikembalikan. Adiknya juga sama. Anak lelaki yang sungguh menyusahkan hidupnya. Kerjaannya hanya pamer harta di media sosial padahal itu jelas bukan miliknya. Sering pula meminta uang Nabila dengan nominal yang tak sedikit seolah-olah Nabila itu bank uang. Seakan-akan uangnya tak pernah habis. Ada suatu kejadian yang sangat membekas dihati Nabila. Ia sedang mengirit bukan itu biar tabungannya bertambah banyak. Tapi adiknya tiba-tiba menelepon sambil menangis. Anak lelaki menangis ya cuma adiknya. Apalagi datangnya mau meminta uang 500 ribu katanya uangnya sudah habis. Takut pula minta ke Oma karena jatah nya akan dikurangi Oma pada bulan berikutnya. Uang sisa bulanan Nabila kebetulan hanya tinggal segitu. Kalau ia berikan, ia tak ada tambahan menabung dan otomatis, untuk makannya sendiri, ia akan mengorek tabungannya. Namun hari itu terpaksa ia ikhlaskan. Karena memikirkan adiknya di Medan sendirian, jauh pula dari keluarga mereka di Bandung. Jadi Nabila terpaksa mengirim sisa uang itu. Beberapa jam kemudian saat Nabila mengecek media sosial adiknya dengan akun palsu, hatinya langsung nyeri. Kenapa? Adik lelakinya yang s****n itu malah makan di hotel dengan pacarnya. Astaga-astaga! Bagaimana mungkin Nabila tidak mengamuk kalau sisa uangnya yang habis malah dipakai untuk foya-foya semacam itu sedangkan ia setengah mati mengirit untuk menambah uang tabungannya yang selalu terkuras oleh kelakuan kakaknya? "Keluarga gue gak akan ada yang perduli. Nyokap juga gak pernah nanyain kabar gue." Upik terkekeh. Sebetulnya ia kasihan. Tapi Nabila setidaknya masih punya Omanya yang masih perduli. "Lo lah yang nanyain kabar duluan. Barangkali kalian bisa saling terbuka." Nabila menghela nafas. Ia sering bertengkar dengan ibunya karena perbedaan pendapat. Beberapa bulan lalu saat ia pulang ke Bandung, perempuan itu malah mengenalkannya pada seorang lelaki tua yang lebih pantas disebut Om dari pada pasangan. Memangnya ia doyan yang setia itu? Apalagi alasannya biar Nabila tak kesepian. Kalau tahu anaknya kesepian ya temani lah. Lah ini masa ditemani orang lain? "Males dan capek." Upik tersenyum kecil. Ia mengambil duduk di depan Nabila kemudian menatapnya. "Lo beruntung setidaknya punya Uda yang bisa lo andelin." Upik tersenyum kecil. Tapi ia punya kakak tiri yang jahat. Namun ternyata setelah ia pikir lagi, Allah sudah baik sekali padanya. Karena ia diberikan orangtua terbaik dan kakak terbaik. "Dan lo masih punya Oma lo yang baik," tuturnya pelan. "Kenapa gak pulang aja dari pada nganggur begini di Jakarta? Kalau datang ke rumah Oma, dia pasti seneng banget." "Yang ada dia bakal curiga dengan kepulangan gue yang ganjil." Upik terkekeh. Benar juga. "Tapi lo kan bisa memberikan alasan kan?" Nabila berdeham. Ya memang benar. "Tapi Oma itu, Pik, orangnya sangat peka. Jadi mau gue sembunyiin kayak apapun pasti tahu." Ia menghela nafas. "Gue pengen punya kehidupan yang normal. Gak kesepian kayak gini." Upik terkekeh. Upik juga menginginkan sesuatu dalam hidupnya. Apa? Tentu saja pekerjaan. Ia hanya belum memiliki itu. Sementara sahabat-sahabatnya yang lain juga pasti memiliki keinginan yang ingin digapai saat ini. "Echa apa kabar?" "Paling mendekam di kosan." "Tuh orang gak dikejar-kejar ibunya lagi?" Nabila terkekeh. Ia ingat kalau Upik pernah melihat kejadian itu. Echa kan kabur dari rumah sejak kuliah. Ia kuliah sendiri dan dulu sering pindah-pindah kosan. Tapi semenjak lulus dan bekerja, setahu Nabila, Echa gak pernah pindah-pindah kosan lagi. Alasannya? Karena ia sudah bisa mengirim uang untuk ibunya dan adik-adik tirinya. Kalau sekarang? Dengan mereka dipecat, Nabila juga tak tahu apa yang akan dilakukan Echa. Nabila tak yakin kalau Echa hanya akan diam saja. Gadis itu pasti mencari cara untuk mencari pekerjaan lagi. "Kalau gue ngeliat hidup Echa, tiba-tiba gue jadi bersyukur." Upik tertawa mendengarnya. "Echa itu kayak investasi bagi ibunya. Cuma sapi perah untuk mencari uang. Ibarat kata, kalau jadi anak yang sudah dibesarkan sedemikian rupa maka itu adalah waktunya untuk membalas budi orangtua dengan menghidupi mereka. Ya akan wajar kalau tidak membebankan semua urusan ekonomi keluarga pada Echa tapi kenyataan itu lah yang terjadi. Disaat dipecat ini pun, gue lebih mikirin nasib Echa dibandingkan dengan gue sendiri. Tapi gue sakit karena dia berani dan gak patah arang meski dipecat." "Kalian kan bisa cari kerja lagi. Udah punya pengalaman gitu pasti gampang," hibur Upik. Nabila menghela nafas. "Persoalannya bukan itu, Pik. Yang jadi masalah adalah bos gue gak akan tinggal diam. Dia pasti menelepon semua teman-temannya yang punya konsultan kayak dia untuk memasukkan nama kami ke dalam daftar hitam jadi susah cari kerja." "Cari kerja di bidang lain kalo gitu. Kan gak harus selurus jurusan karena kita gak tahu rejekinya ada di mana." Nabila mendongak. Tiba-tiba mendapatkan ide. "Lo pinter!" Upik terkekeh. Ia menopang dagunya. "Kepikiran buat nyari kerja?" Nabila mengangguk. Ia fokus pada ponselnya. Seingatnya kemarin-kemarin itu ada salah satu temannya di salah satu grup yang mengirim sebuah lowongan pekerjaan. Meski bukan di bidangnya tapi apa salahnya mencoba? "Gue coba dulu. Kita mana tahu rejekinya kan?" Upik tersenyum kecil. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD