"Jadi?"
"Apaan sih, Mar!"
Ammar terkekeh. "Sekedar usul aja. Siapa yang dulu pengen nge-trip ke Amerika?"
Nabila segera mengangkat tangan. Chayra terkekeh.
"Kenapa?"
"Ya kan gue anak metropolitan," jawabnya yang mengundang tawa. Nabila tampak cantik dengan kacamata hitamnya, rambutnya yang berterbangan dan gaya kasualnya hari ini. Usai menggali lobang lalu menutupnya, mereka duduk di Starbucks yang berada di dalam perpustakaan.
"Jakarta kalii aaah," sahut Upik.
"Beda lah. Di sana kan ada New York City."
Teman-temannya tertawa. Sementara Ammar menoleh pada Bastian.
"Why?"
Bastian bertanya terlebih dahulu sebelum ditanyakan. Ammar tertawa.
"Lo bukannya pernah bilang mau ke Seoul?" tanya Ammar. Ia pernah mendengar impian Bastian kala itu. Meski sudah terwujud. Karena beberapa kali Bastian dikirim untuk datang ke sana.
"Ngapain, Bas? Mau nyamar jadi Oppa Korea? Jatohnya nanti malah jadi Aki-Aki!" canda Nabila yang tentu saja mengundang tawa. Bastian kan bukan tipe cowok berkulit putih. Ia juga kecoklatan seperti Ammar. Tapi dengan fitur badan yang lebih tinggi. Yeah terlihat lebih maskulin dan berwibawa lagi dibanding Ammar. Hanya saja, kalau Bastian terlihat cool sementara Ammar terlihat humble.
"Seoul itu keren aja. Apalagi kalau kita spring di sana. Gak kalah sama Sakuranya Jepang."
Itu alasannya. Selain karena ia memang menyukai budaya Korea Selatan. Teman-temannya mengangguk-angguk. Sejujurnya, mereka sedang membicarakan mimpi mereka untuk pergi ke luar negeri. Ada yang sudah terwujud seperti Bastian. Sementara yang lain masih bergulat dengan kenyataan. Istilahnya, masing-masing orang memiliki rezeki yang berbeda-beda. Tapi begitu lah keadilan Tuhan. Karena dibalik itu semua pasti ada masalah juga yang ditemui.
"Lo?"
Ammar bertanya pada Chayra. Perempuan itu mendadak jadi fokus perhatian.
"Turki."
Malah Upik yang menjawab. Chayra terkekeh. Itu mimpinya sejak dulu.
"Karena Istanbul?" tanya Ammar.
Chayra menggeleng. "Karena Muhammad Al Fatih dan Hagia Sophia. Gue dengar sekarang Hagia Shopia kembali menjadi masjid. Kayaknya bakal seru ke sana," tuturnya yang diangguki kencang oleh Upik. Ia juga setuju. Meski tidak berminat-minat amat untuk ke sana.
"Lo, Pik?"
"Akhirnya giliran gue," keluhnya yang mengundang tawa. Selalu ada celetukan kalau hubungannya dengan Upik. Si gadis ramah namun menyimpan sejuta kepedihan di hatinya. "Australia of course!"
Teman-temannya terbahak. Tidak perlu bertanya alasannya karena tentu saja mereka tahu ada rencana dibalik keinginannya untuk ke sana.
"Perasaan dulu lo pengennya ke Jepang deh," tukas Nabila yang tentu saja disangkal dengan cepat oleh Upik.
"Berubah sejak tiga tahun lalu."
Teman-temannya tertawa. Ammar menggelengkan kepala.
"Dasar bucin!" seru Nabila. Kadang jengkel melihat Upik yang memeletkan lidah. Meledeknya yang masih betah menjomblo. Ya baginya, asmara itu sungguh tidak penting.
"Kenapa gak nyusul aja, Pik?" tanya Bastian. Dari tadi hanya ikut tertawa saja.
"Lo gak perlu mikir panjang untuk menemukan jawabannya, Bas," jawabnya yang membuat Bastian terkekeh.
"Lo kan bisa nyari kerja di sana, Pik. Kalo mau."
"Yaa gak segampang itu kan, Mar. Nyari kerjaan di sana yang layak untuk hidup. Di Indonesia aja, gue susah nyari kerja."
Ammar mengangguk-angguk. Memang benar.
"So, lo, Mar? Belum menyebutkan tujuan negara yang pengen lo kunjungi," tutur Chayra yang mengalihkan semua pembicaraan pada tujuan obrolan ini. Semua mata menatap ke arah Ammar. Sejak duku, Ammar adalah orang yang sama sekali tak pernah memikirkan keinginannya sendiri. Cowok itu memang selalu fokus pada keinginan orang lain dibandingkan dengan keinginannya sendiri. Hasilnya? Tentu saja jawaban pada perkebunan di kampung halamannya.
Ammar memejamkan mata. Mencoba untuk menjadi seseorang yang misterius. Sejak dulu, ia memang kerap menyembunyikan perasaannya meski mudah terbaca bagi Nabila dan Upik. Melihat Ammar bertingkah menyebalkan seperti itu, Upik, Nabila dan Bastian kompak menoyor kepalanya. Hal yang tentu membuat tawa. Mereka memang sangat bahagia karena berhasil berkumpul dengan semua personil hari ini. Tidak seperti saat menjemput Ammar.
"Jawab buruan!" tukas Nabila. Ia mengibaskan rambutnya ke belakang.
Ammar terkekeh kecil. "Maroko."
Tentu saja mata Chayra membulat besar. Ia jarang mendengar nama negara itu disebut sebagai daftar negara tujuan favorit. Biasanya kan yaaa apa yang ada di benua Amerika atau negara-negara populer di Eropa.
"Kenapa?"
Chayra tertarik dengan alasan dibaliknya. Ia kira kalau Ammar akan menyukai Jepang karena cowok itu memang berniat kuliah di sana.
"Why not?"
Ia hampir mendapat toyoran lagi andai tak mengangkat kedua tangan sambil tertawa. Teman-temannya sangat serius menyimaknya kali ini.
"Pertama, rata-rata dari kalian telah menyebutkan negara-negara populer yang memang disukai untuk dikunjungi."
Teman-temannya mengangguk. Itu masuk akal.
"Kedua, Maroko itu berada di benua Afrika di mana posisi geografisnya sebagai salah satu negara bergurun. Dibandingkan dengan Korsel, Australia, New York dan Turki?"
Chayra mengangguk-angguk. Benar juga.
"Ketiga, negara muslim."
Upik mengangguk-angguk. Benar juga. Ia juga baru berpikir.
"Terakhir, terkenal sebagai negara matahari tenggelam. Gue rasa akan seru kalau kita ke sana?"
"Kita?" ulang Nabila.
Ammar mengangguk-angguk dengan yakin. "Lo kira, gue bertanya hanya sekedar untuk basa basi? Kan sudah lama kita pengen jalan-jalan ke luar negeri bareng? Kenapa gak kita realisasikan?"
"Tunggu-tunggu," tutur Bastian. Ia tentu keberatan. Ammar sudah tawa karena tahu respon teman-temannya. Tidak seperti Ammar yang tak terikat waktu untuk bekerja, Bastian, Chayra dan Nabila tentu sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Kita gak punya waktu banyak, Mar."
"Gue tahu. Tapi kan gak harus sekarang, Bas. Bisa diwaktu nanti atau yaah dalam waktu dekat. Yang penting niat dulu," tuturnya dengan percaya diri. Ammar memang tipe lelaki yang percaya diri dengan semua hal kecuali satu. Apa? Persoalan beasiswa. "Kalau ada niat, pasti ada jalan. Kita coba aja obrolin ini dengan rencana panjang. Apa sih yang gak mungkin? Iya gak?"
@@@
"Lo seyakin itu?"
Pembicaraan ini tentu saja masih menuai perdebatan antara Ammar dan Bastian.
"Apa yang gak mungkin?"
Ia membalik pertanyaan juga dengan pertanyaan.
"Kan gak harus dilaksanakan secara bersamaan, Bas. Siapa tahu ada rejeki lain yang membuat kita bisa saja pergi secara terpisah atau bersama."
Bastian mengangguk-angguk. Memang benar. Tapi ia terus terang saja, sangat sulit melepas posisinya. Ia sudah naik ke jabatan ini dengan tidak mudah. Ammar juga mengerti. Ia tidak terlalu memaksakan idenya tapi mungkin bisa dipikirkan dengan kepala jernih.
"Gue hanya melihat kesempatan yang mungkin ada. Kita gak pernah tahu akan seberapa lama kita hidup tapi gue harap, ada banyak pengalaman menjajah dunia untuk melihat dunia yang sesungguhnya belum pernah kita tahu. Berjalan-jalan ke luar negeri memang akan membuka wawasan yang jauh lebih luas."
"Kalau nih ya, gue tiba-tiba dikirim ke suatu negara yanh mungkin dekat dengan Maroko, lo bakalan datang ke negara itu untuk menyusul gue dan kita lanjut jalan ke sana?"
Ammar mengangguk mantap. "Mumpung masih muda dan jomblo."
Bastian tertawa. Itu memang alasan yang bagus. Sementara ketiga perempuan lainnya yang berada di tempat masing-masing tak terlalu mengambil hati rencana Ammar. Sejak dulu, Ammar memang selalu seperti itu. Selalu semangat dengan apa yang disebut impian. Impian tinggi itu tak masalah asal memang punya kemampuan untuk mencapainya. Istilahnya memang tidak ada yang tak mungkin untuk digapai kecuali jika itu sesuatu yang teramat mustahil.
"Ngomong apa kamu sama Udamu?"
Tahu-tahu pintu kamar Upik terbuka lebar dan muncul kakak iparnya yang galak bagai ibu tiri. Meskipun Upik hampir membereskan semua barangnya, perempuan ini sepertinya masih tidak terlalu senang-senang amat dengan keputusannya untuk pulang kampung. Mungkin karena pertengkaran yang cukup besar dengan Udanya semalam. Upik juga mendengar dan ia sudah mengirimi Udanya pesan untuk tidak memarahi kakak iparnya untuk alasan yang menyangkut dengan kepergiannya dari rumah ini. Karena akan berujung seperti ini.
"Gak ada, Kak," sahutnya. Sebetulnya ia juga kerap kehilangan kesabarannya tiap berhadapan dengan perempuan ini. Lelah juga karena emosinya memang kerap dipancing dan fisiknya kerap dijadikan babu.
"Kalau gak ada, mana mungkin aku datangin kamu kayak gini? Kamu senang ya kalau aku bercerai sama Uda?"
Kalaupun mereka bercerai, Upik tidak pernah menginginkan hal sejahat itu. Maksudnya, ia masih punya otak dan nurani lah. Bagaimana pun, Udanya memiliki tanggungan anak. Kasihan keponakannya kalau harus kehilangan fogur orangtua yang bercerai. Apalagi masih sangat kecil dan belum tahu apapun.
Upik menghela nafas. Ia tak menjawab dan berpura-pura sibuk dengan barang-barangnya. Karena tak diladeni, perempuan itu pergi dengan membanting pintu. Upik sudah biasa dihina atau dikatai kasar oleh perempuan yang seharusnya mengayomi. Ia juga sangat sabar menerima semua perlakuan itu selama hidup di sini. Memang tidak mudah. Karena orang yang dulu memperlakukannya dengan baik ternyata hanya topeng agar dapat menikah dengan Udanya. Begitu sudah dinikahi, perlakuannya berubah drastis. Bahkan pada orangtua Upik dan Udanya. Ia memang tidak kasar tapi rasa pelitnha ketika Udanya membagi pendapatannya untuk Upik dan kedua orangtua mereka. Upik merasa jika itu adalah hal wajar. Karena bagaimana pun, Udanya memang bertanggung jawab sedari dulu untuk keluarga. Kakak iparnya juga tanggung jawab Udanya tapi Upik tak pernah menemukan kalau Udanya tidak mengayominya. Udanya bahkan baik sekali pada keluarga istri dan mertuanya. Lantas apa yang salah pada perempuan itu? Hal ini juga sulit dimengerti oleh Upik.
Sejujurnya, perempuan itu hanya iri karena suaminya terlihat sangat memerhatikan Upik dan ibunya. Tapi bukan kah itu sangat lah wajar? Karena Upik dan ibunya adalah dua wanita yang selama ini menemani Uda dari nol. Yang tahu perjuangan Uda. Yang selalu bertanggung jawab akan kehidupan rumah. Sepatutnya, perempuan itu harusnya memang menyayangi Upik dan ibunya seperti saudara dan ibu kandung. Bukannya malah berlaku sebaliknya dengan alasan kalau yang lebih pantas dinafkahi dan didahulukan adalah istri dan keluarga kecil mereka. Tapi Uda berpikir kalau gajinya cukup dan berimbang. Ia bisa membaginya untuk istrinya dan keluarga ibunya. Termasuk memberikan Upik uang jajan bulanan. Sementara istrinya hanya ingin meraup semua gaji itu untuknya.
"Kalau tahu bakalan begini, gak bakalan aku setujui dia sama Uda. Mending sama Uni Melati," gerutunya pelan.
Dulu, Udanya berpacaran cukup lama dengan perempuan bernama Melati yang juga berasal dari Padang. Tapi sayang, tidak jodoh. Kini perempuan itu sudah menjadi istri dari bupati di salah satu daerah di Sumatera Barat. Mungkin memang lebih tajir dibandingkan dengan Udanya. Namun karena mengenal Melati telah lama dan tahu keluarganya seperti apa, Upik percaya kalau Melati tidak matre. Ia bahkan menikah dengan lelaki yang berusia tak berbeda jauh dengan Udanya namun karir politiknya memang lebih melejit. Mungkin karena memang masih keturunan dari sang kakek yang dulu sempat menjadi gubernur Sumatera Barat.
@@@
"Gue kira, lo gak serius," tutur Chayra. Ia kaget saat masih berada di kelas tadi karena tahu-tahu ada penyusup masuk ke dalam kelasnya. Penampilannya yang dibuat semua mungkin dengan tampilan modis ala anak kuliahan tentu saja mengundang banyak mata untuk menatapnya. Apalagi Nabila memang cantik. Chayra menggelengkan kepala. Gadis ini baru bercerita kalau di-skors dari kantor. Sudah tidak digaji dan bisa saja dipecat dalam waktu dekat.
"Menurut lo gimana? Kalau gue bertahan, gue juga gak sanggup menahan beban nurani. Meski yaah lo bisa bilang kalau gue ini cewek bebal."
Chayra terkekeh.
"Gue kira semua konsultan dan laboratorium itu jujur."
"Jangan pukul rata. Gue juga percaya kalau masih banyak yang jujur. Ini tergantung sama orang-orang yang ada di perusahaan. Sialnya, kebanyakan orang di kantor gue udah mati nuraninya."
Chayra mengangguk-angguk. Benar juga. Ia kan tak pernah bekerja di dunia nyatanya. Maksudnya praktik lingkungan dari segi industri. Ia hanya bekerja sebagai seorang akademisi yang tentu membawa teori. Akan terasa berbeda dengan dunia praktisi di mana orang-orang yang terlibat di dalamnya langsung mengalami. Seperti Nabila. Terkadang ia iri dengan posisi mereka karena Chayra menganggap kalau pengalaman mereka lebih mumpuni. Ketika harus mengajar di depan kelas, Chayra juga kerap nemenukan kebingungan dalam menerapkan sebuah ilmu karena bagaimanapun, mahasiswa dididik untuk mendapatkan ilmu agar bisa mereka terapkan di dunia pekerjaan.
"Terus rencana lo kalo benar-benar didepak?"
"Pasrah."
Chayra terkekeh. "Gak pulang ke rumah Oma aja?"
"Itu rencana selanjutnya." Ia menarik nafas dalam. "Tapi selama gue bisa berdiri di kaki gue sendiri, gue paling ogah bergantung sama orang lain. Sekalipun keluarga gue sendiri."
"Gak ada salahnya berbagi beban dengan keluarga lo, Babil. Karena manusia sejatinya memang tidak bisa hidup sendiri."
"Gue seneng ke sini karena lo bijak," pujinya yang tentu saja mengundang tawa. "Kalau sama Upik, gue pasti dihasut macam-macam."
"Tapi Upik lebih mengutamakan logikanya. Dia pasti dengan semangat menggebu menyuruh lo keluar."
Nabila tertawa. Itu benar sekali. Bagaimana pun, Upik itu masih punya nurani yang tinggi.
"Kalau untuk kebaikan hidup jangka panjang, lebih baik lepas pekerjaan itu. Dari pada lo bertahan tapi dibayang-bayang rasa bersalah. Mau sampai kapan lo mengalami itu? Yang ada hanya stres berkelanjutan. Untuk urusan mereka yang memilih menutup mata dan nurani ya biarkan saja. Apa yang ditanam maka itu lah yang dituai."
"Berarti gue harus benar-benar keluar," ucapnya pasrah.
Chayra tertawa.
@@@
"C'mon guys! Hidup hanya sekali, mati harus berarti!"
Entah mengutip dari buku mana yang ia baca, Ammar juga lupa. Ia masih semangat memberikan berbagai wejangan kepada teman-temannya. Sementara ia sendiri sibuk dengan urusannya. Orang yang hendak ia temui masih terlampau sibuk. Meski kesannya sempat dibalas sekali namun belum bisa memberikan jawaban kapan waktu tepatnya. Ammar datang jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk memastikan diri selalu siap kapanpun lelaki itu bisa ia temui.
"Terus apa rencana lo?"
Mereka hanya bisa berkumpul via virtual melalui sambungan panggilan video. Ammar dan Bastian dalam satu frame yang sama. Karena Ammar memang masih menginap di tempat Bastian.
"Kalau ada kesempatan untuk menjelajahinya secara bersama-sama. Kenapa tidak?" tuturnya. Kemudian ia berdeham-deham. "Rute pertama kita bisa ke Australia. Ke Sydney seperti keinginan Upik."
Upik mengangguk-angguk. "Omong-omong gue dapat duitnya dari mana ya, Pak?" tanyanya yang membuat teman-temannya tertawa. Bastian menepuk-nepuk bahu Ammar seolah mengatakan kalau Ammar yang akan menanggung semua perjalanan ini. Mereka terbahak bersama.
"Urusan dana, belakangan. Kita kan bisa kumpulkan itu."
Teman-temannya bertepuk tangan. Memang paking salut dengan Ammar sama dulu karena sikap optimisnya terhadap sesuatu hal.
"Nah, dari Australia, kita bisa lanjut ke Korsel. Seperti keinginan Bas."
Teman-temannya mengangguk setuju. Yaa bermimpi saja dulu, siapa tahu mereka bisa benar-benar berangkat. Meski ini ide yang agak gila. Saat awal Ammar menelepon tadi, rencananya perjalanan ini akan dimulai beberapa bulan lagi. Tentunya saat libur mahasiswa agar Chayra bisa ikut. Namun yang jadi masalah justru Bastian. Cowok itu kan bekerja di kantoran. Kalau Nabila kan sudah berencana untuk keluar saja meski belum mantap. Sementara Upik hanya permasalahan uang yang menurut Ammar masih bisa diakali.
"Dari Korsel, kita bisa lanjut ke Turki terus ke Maroko." Ammar masih berujar dengan semangat. Ia memang satu-satunya orang yang tidak mempunyai beban apapun kecuali persoalan mimpi hidup. "Terakhir ke New York."
"Lo yakin, Mar? Biayanya gak sedikit loh. Apalagi gue bisa bilang ini satu negara satu benua. Kita lompat-lompat gitu."
Ammar terkekeh. Ia menjentikkan jarinya. Ammar memang punya segudang akal untuk mengakali semua hal itu.
"Pasti ada jalan. Tiket murah misalnya? Gue gak keberatan mencari sampai ke akar-akarnya kalo kalian bener-bener mai ngerealisasiin perjalanan ini."
Teman-temannya langsung mempertimbangkan dengan matang. Walau Upik jelas merasa keberatan namun setidaknya ia masih percaya kata-kata Ammar yang mengatakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Jadi sedikit ke-optimis-an masuk ke dalam kepalanya. Ini masih masuk akal.
"Gimana?" tagih Ammar. Ia hanya perlu satu kata persetujuan dari teman-temannya. "Persoalan dana, nanti kita cari dan pikirkan."
Teman-temannya tertawa. Memang itu yang paling berat. Mungkin ada untuk membeli tiket pesawat tapi biaya hidup lah yang lebih berat.
Bastian menepuk-nepuk bahu Ammar. "Gue saranin untuk jual satu perkebunan lo aja untuk bisa tampung kita semua. Gue gak keberatan jadi babu lo selama tiga bulan setelah itu."
Teman-temannya terbahak. Itu jelas ide yang masuk akal meski konyol.
@@@