Ia sebetulnya cemas. Cemas setengah mati. Ia tidak percaya diri dengan tes speaking tadi. Tiba-tiba saja ia kehilangan pikirannya hingga tak satu pun kata-kata bahasa Inggris muncul di kepalanya. Ia bahkan sulit menghubungkan kalimat demi kalimat dan entah nyambung atau tidak yang ia katakan tadi, Ammar sudah tak bisa berpikir apapun lagi. Ia bahkan ingin berteriak. Pikirannya kalut seketika tapi raganya harus berlari lagi mengejar janji yang terlanjur dibuat dan hanya datang pada hari ini. Tapi setibanya di gedung salah satu pemerintahan...
"Wah maaf, Mas. Bapak baru saja pulang. Sangat terburu-buru karena ada penerbangan."
"Penerbangan?"
Padahal mereka sudah berjanji akan bertemu siang ini.
"Iya, Mas. Agak mendadak memang. Baru semalam dikabarkan. Mungkin Bapak lupa kalau ada janji dengan Mas."
Ammar tentu saja kecewa. Ia sudah capek-capek berlari mengejar ojek. Lalu disambung naik kereta karena dalam pikirannya lebih cepat dibanding naik mobil atau motor. Tapi eh ternyata masih percuma juga. Mana tak enak hati pula kalau dilanjutkan dengan meminta rekomendasi melalui pesan. Ia mau tak mau harus mengobrol langsung biar ada etikanya. Jangan terkesan seperti hanya berharap maunya saja tapi tak ada kesan baik yang tertinggal. Dan lagi, Ammar juga ingin dinilai jujur.
"Kira-kira kapan kembali, Mba?"
Perempuan itu tampak berpikir. "Biasanya akan lama. Bisa satu sampai dua minggu."
Jawaban itu jelas membuat Ammar menghela nafas. Akhirnya, ia hanya bisa pamit pulang dengan tangan kosong. Tiba di apartemen Bastian, wajahnya muram. Belum apa-apa, ia sudah merasa gagal. Padahal ini bahkan baru masuk tahap awal. Deadline-nya tidak lama lagi. Hanya persyaratan sertifikat bahasa Inggris yang dilonggarkan waktunya. Ini kegagalan yang ke sekian kali. Jika dulu-dulu ia gagal pada tahap kedua. Lah ini? Ia berkecil hati.
Bastian pulang ke apartemen dan tentu saja mengerutkan kening melihat Ammar yang termenung. Cowok itu tak seperti biasanya. Maksudnya, Ammar yang memiliki semangat mengejar mimpi dan apapun yang dicita-citakannya. Kali ini? Tampak berputus asa.
"Lo kenapa?"
Ammar menghela nafas. Ia masih diam. Sementara Bastian sibuk menaruh tas. Lalu kembali masuk ke kamar untuk mengganti bajunya. Tak lama, ia keluar dan sibuk di dapur. Teh hangat akan terasa menyegarkan tubuh disaat pulang dari kantor begini. Hanya kurang satu. Apa? Ammar yang menemaninya di sore ini adakah kekurangan. Hahaha.
"Apa gue menyerah aja?"
Bastian terkekeh pelan mendengar pertanyaan itu.
"Setiap tahun lo ke sini dan sepertinya membawa aroma kegagalan tapi baru kali ini lo ngomong kayak gitu. Kayak bukan Ammar yang gue kenal. Ammar yang gue kenal itu--"
"Ada kalanya orang lelah, Bas. Gue juga manusia."
Bastian terdiam. Ia menaruh dua teh manis di atas meja kemudian bertatapan dengan Ammar.yang menghela nafas berat. Mungkin berat beban yang ditanggung hidupnya. Tapi mau bagaimana lagi?
"Kenapa lagi? Gagal? Bukannya lo bahkan baru tes tadi?"
Ammar menggetuk-getuk jemarinya. "Dalam setiap tindakan, gue selalu bisa memperkirakan apa yang seharusnya gue kejar atau hentikan. Karena meraba sesuatu yang gak mungkin gue capai itu hanya akan sia-sia."
Bastian mengangguk-angguk. Bisa juga dibilang sebagai membuang-buang waktu. Ammar menghela nafas. Wajahnya tampak frustasi.
"Kali ini apa yang menurut lo akan gagal?"
"Tes gue dan surat rekomendasi."
Bastian terdiam. "Tes ulang?"
"Lo lucu," tuturnya yang membuat Bastian tersenyum kecil.
Bastian menggaruk tengkuknya. "Terus gimana? Kalo surat rekomendasi kenapa bisa gagal?"
"Gue gagal ketemu beliau."
"Bukannya udah janji?"
"Ko kayak gak tau pejabat aja."
"Besok gak lo samperin?"
"Kalo bisa gue gak akan ngomong begini."
"Lewat email dan lainnya? Kan bisa gak datang."
"Gak sopan. Setidaknya gue harus punya etika. Beliau belum begitu mengenal gue. Mana mungkin tiba-tiba mau ngasih rekomendasi begitu aja buat gue kan?"
Bastian terdiam. Memang benar.
"Terus rencana lo?"
"Gak ada rencana."
"Seorang Ammar?"
Ammar menghela nafas. "Gue udah nyoba hampir semua jenis beasiswa. Segala kampus gue lamar. Ada yang menolak, ada yang menerima. Tapi beasiswa? Selalu gagal. Sampai gue gak ngerti harus gimana lagi."
"Berapa kali lo gagal dapetin beasiswa?"
Ammar menghela nafas panjang. Kalau menghitung jumlahnya, ia sendiri akan kecewa. Enam tahun terakhir bergelut dengan beasiswa dan mencoba segala jenisnya. Totaonya bisa mencapai....
"Ada kali tiga puluh kali."
Bastian melongo laku hanya bisa terkekeh kecil saking kagetnya.
"Gue gak paham kenapa Tuhan segininya sama gue."
Bastian terdiam. Ia tidak mau berkomentar apapun jika Ammar sudah membicarakan hal ini. Ia paham kalau Ammar mungkin berada pada titik terendah dalam keimanan agamanya sendiri. Tapi menyalahkan Tuhan juga tidak ada korelasinya. Karena semua hal itu terjadi pasti ada hikmahnya. Kalau dipikir-pikir, Bastian justru ingin berada di posisi Ammar. Meski belum begitu besar usahanya, tapi bukan kah Ammar sudah keren? Cowok itu memiliki UMKM, memiliki perkebunan sendiri dan berpenghasilan lebih banyak dibandingkan dengannya yang bekerja di kantoran. Tak ada jam-jam kerjanya pula, tak ada yang mengawasi. Bukan kah terasa menyenangkan?
Ini terdengar menyedihkan sekali bukan? Ironi yang tak disadari. Karena Amamr justru berpikir sebaliknya. Malah ingin berada di posisi Bastian agar mudah mendapatkan rekomendasi.
"Lo gak berpikir untuk pindah jurusan, Mar? Maksud gue, dengan usaha yang lo punya, pindah jurusan lebih dimungkinkan. Dibandingkan membautnya agar selaras. Karena siapa tahu rejekinya lo justru memang disitu."
Ammar menghela nafas. "Yang gue tahu, untuk jadi dosen di Indonesia dan kebanyakan lowongan kerjanya harus selaras dengan jurusan sarjananya."
Kening Bastian mengerut. Tak mengerti dengan pola pikiran Ammar.
"Kenapa mau jadi dosen? Enakan jadi pengusaha kali ah."
"Cita-cita, Bas," tuturnya pelan. "Gue lebih suka jadi ilmuwan ketimbang praktisi."
Bastian terdiam. Ia tak ingin berkomentar apapun. Menurutnya, ada yang salah dengan Ammar. Sementara Ammar? Hanya ingin memperjuangkan apa yang ia cita-citakan sejak dulu. Apakah salah?
@@@
"Lo gak nanya atau ngehibur atau apa gitu, Bas?"
Bastian menggaruk tengkuknya. "Serba salah gue. Ya lo pasti paham lah, Bil. Siapapun yang punya mimpi pasti kepengen mengejar mimpinya. Selama ini, Ammar udah mengalah pada keluarganya. Ngorbanin waktu untuk tinggal di kampung halaman. Pegang tanggung jawab sebagai keluarga meski bokapnya masih hidup. Dia yang harusnya menopang hidup pada ayahnya justru dijadikan sandaran. Usianya masih muda, sudah dianggap mampu. Tapi terkadang, orangtua lupa kalau Ammar juga hanya seorang anak. Yang pasti punya mimpi dan segala hal yang pengen ia capai dalam hidup."
Nabila mengangguk-angguk. Ia kebetulan saja mampir di kantor Bastian. Mau bertemu temannya yang juga bekerja di gedung ini tapi tentu saja berbeda perusahaan dengan Bastian.
"Terus Ammar di mana sekarang?"
"Kayaknya nyari Kucay."
"Mau minta surat rekomendasi dari Kucay?"
Bastian tertawa. Ia juga tak tahu. Ammar tak bilang detilnya tapi cowok itu berangkat pagi-pagi sekali.
"Kalau gue jadi Ammar juga berat sih, Bas. Maksudnya, abis lulus, dia dihadapkan dengan drama keluarga. Ngurusin ayahnya yang yaaah kekanakan menurut gue. Kabur dari masalah dan gak mampu menyelesaikannya. Lalu tiba-tiba disuruh Ammar yang menghadapi semua masalah itu. Diusia yang segitu muda. Meski gue juga gak heran karena pola pikir Ammar sungguh keren. Maju sekian langkah dibandingkan dengan kita."
Bastian mengangguk-angguk. Nabila benar. Ammar itu cerdas karena sering muncul dengan ide briliannya. Meski bukan nilai terbaik di jurusannya tapi Ammar cerdas untuk urusan lain.
"Dia dipaksa bertahan di kampung. Mengerjakan hal yang sudah pasti familiar sejak dulu. Tapi beban yabg dipikulnya bukan sekedar nafkah tapi juga tanggungan keluarga secara utuh. Tanggung jawab yang seharusnya dipikul seorang kepala rumah tangga dengan figur ayah tapi malah Ammar yang dinisbatkan. Jelas, Ammar menjalaninya dengan setengah tidak ikhlas mungkin? Yaaa menurut gue itu wajar. Karena sejak awal, itu memang bukan keinginan Ammar tapi keadaan." Nabila mendongak. "Tapi dia gak benci bokapnya kan?"
"Sepertinya."
Nabila menghela nafas. Ia juga benci orangtuanya. Bahkan bukan hanya Papa tapi juga Mamanya. Nabila mengangguk-angguk. Sesuatu yang wajar terjadi untuk anak-anak sepertinya. Tapi setidaknya, keluarga Ammar masih utuh. Tidak terpisah sepertinya.
"Dan sepertinya lagi bukan cuma marah sama bokapnya."
Nabila mendongak. "Sama siapa lagi?"
Bastian hanya menunjuk ke atas. Nabila mengangguk-angguk. Pantas saja, Chayra sampai berkomentar aneh saat mereka kumpul kemarin. Karena saat ia, Chayra dan Upik pergi solat, Amamr malah asyik duduk dengan Bastian.
"Dia resmi atheis?"
"Gue gak pernah lihat dia solat lagi."
Nabila menghela nafas mendengarnya. Ia tak begitu memerhatikan Ammar selama ini.
"Lo gak menasehati atau apa gitu, Bas?"
"Dari tahun-tahun lalu pun gue udah bilang. Tapi lo tahu sendiri lah Ammar kayak gimana."
Nabila cuma bisa menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Coba lo yang kasih tahu. Barangkali dia mau dengerin elo."
"Yang ada entar gue yang disuruh pakek jilbab," keluhnya yang membuat Bastian terbahak. Ia jadi teringat persoalan ini. Nabila memang bebal kalau urusannya menutup aurat. Tapi yaaah, didoakan saja. Tak ada yang pernah tahu kapan waktunya kembali pada Allah. Maksudnya, kembali mengingat-Nya dengan jalan yang lebih baik untuk menghindari banyak dosa. "Kucay deh Kucay!" putusnya. Mumpung katanya Ammar menghampiri Chayra di kampus. Jadi ia mengirimi Chayra pesan untuk memarahi Ammar agar mau solat. Setidaknya, meski jalan hidup terasa suram seperti ini, Ammar harus tetap punya Tuhan yang mendampingi hidupnya. Iya kan?
Karena tidak ada satu pun manusia yabg bisa sendiri tanpa ada Tuhan di dalam kehidupannya.
Kucaaaayyy! Suruh si Ammar solat nooh! Kasihan nanti, takut meninggoy tiba-tiba!
Itu pesan yang ia ketik lalu beralih pada Bastian yang menatapnya dengan sangat serius.
"Kucay mau nikah katanya?" tanyanya. Ia hanya mendengar segerintil kisah dan tidak pernah tahu detilnya. Nabila tersenyum kecil.
@@@
"Ayoo lah, Caaay. Sekali ini doang, pliiss! Lo penyelamat gue!" pintanya mengiba-iba. Beberapa mahasiswa yang lewat mungkin terheran-heran melihat kelakuan keduanya. Chayra yang biasanya berwibawa jadi agak-agak gimana gitu. Mana yang diladeni model Ammar begini. Bah! Ia memutar bola matanya meski masih duduk seraya menenangkan diri. Tadi tentu saja ia kaget melihat Ammar ikut masuk ke dalam ruang kelasnya. Oke, memang Ammar pernah kuliah di sini tapi bukan berarti bisa seenaknya masuk kelas bukan? Apalagi titelnya bukan lagi mahasiswa. Kalau ingat kejadian tadi, Chayra ingin sekali menggetuk-getuk kepalanya.
"Kata lo, lo udah dapat rekomender bagus kemarin-kemarin."
"Itu sih kemarin-kemarin. Mumpung gue semangat lagi ini. Cuma seminggu lagi penutupannya. Gue gak punya waktu banget pliis!"
Chayra mendengus. Ia mau membantu sih tapi kenapa harus meminta ke Adamas? Ini jelas berat. Karena ia saja sedang menghindari lelaki itu karena belum bisa menjawab lamarannya. Lah ini?
"Pliiisss!"
Ammar terus mengiba. Kalau bukan demi Ammar dan keibaannya, ia tak akan mau menghubungi Adamas. Rasanya berat saja. Dengan segala gejolak batin dan ia harus menghadapi semua hal ini. Pelik dan rumit dalam satu waktu. Tapi butuh juga. Jadi harus bagaimana?
"Sekali doang ya," ingatnya. Ammar nyengir. Ia juga tak enak hati merepotkan. Tapi menyerah terlalu dini. Akhirnya ia mau tidak mau melakukan ini. Kalau dibilang malu sih sudah pasti. Tapi yang namanya memperjuangkan sesuatu itu memang harus ada hal-hal yang dikorbankan bukan?
Sementara Chayra sebetulnya tampak ragu untuk menghubungi Adamas. Gadis itu hanya berputar-putar di layar ponsel sembari menghela nafas. Setelah beberapa menit dan p********n dari tatapan Ammar, mau tak mau ia mencoba menelepon Adamas. Adamas? Cowok itu sesungguhnya sedang sibuk. Ada banyak laporan yang harus ia periksa. Ia juga sedang memantau pekerjaan para timnya. Tapi begitu melihat nama Chayra muncul di layar, ia tak ragu untuk mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Ay! Ada apa?"
Sapaan itu jelas terdengar ceria karena ia berharap ada kabar gembira yang dibawa Chayra untuknya. Meski tak mau berharap terlalu muluk. Karena urusan asmara ini memang tidak mudah. Bukan hanya tidak mudah bagus Chayra tapi juga siapapun.
"Waalaikumsalam," jawabnya. Chayra berdeham. "Eung, Daeng sedang sibuk?"
Senyuman Adamas semakin lebar. "Lumayan. Tapi kalau mau bicara sesuatu, aku masih bisa mendengarnya, Ay. Mau bicara apa?"
Chayra melirik Ammar yang tentu sangat antusias. Rasanya tinggal sedikit lagi cita-citanya tergapai. Meski ia lupa juga persoalan tes bahasa Inggris yang hasilnya entah apa kabar. Kalau tes ulang dalam waktu dekat itu mustahil karena memang tidak diperbolehkan. Paling cepat ya sebulan kemudian. Tapi setidaknya, ia masih bisa mengejar itu. Yang penting, berkas-berkas ini ia kirimkan dulu. Urusan tes nanti ia pikirkan lagi.
"Euung," Chayra tampak ragu sebetulnya. "Ada temen yang pengen kenalan sama Daeng."
Aaaah. Jelas saja wajah Adamas brubah kecewa. Ia mengira kalau Chayra membawa sesuatu yang membahagiakan untuknya. Misalnya? Tentu saja kabar lamaran yang diterima dan tidak menggantung seperti saat ini.
"Ah ya, boleh. Ada keperluan apa memangnya, Ay?"
"Anu, kalo Daeng gak keberatan, ngasih dia rekomendasi begitu untuk beasiswa."
Aaaah. Adamas mengangguk-angguk. "Apa pertimbangannya memilihku?"
Chayra berdeham. "Dia ada di sebelahku. Boleh bicara kan sama Daeng?"
"Ya."
Chayra memberikan ponselnya pada Ammar. Ia biarkan saja Ammar berbicara dengan Adamas. Ia senang sebetulnya melihat Ammar bersemangat seperti ini. Tidak seperti beberapa tahun lalu saat mereka usai lulus. Ia sempat bertemu Ammar dan melihat Ammar sangat kurus, kantong matanya menghitam, badannya seperti mayat berjalan dan tak ada semangat hidup. Ammar pernah sampai di titik putus asa yang mungkin tak banyak temannya tahu. Meski tak bercerita apapun, Chayra sungguh tahu bagaimana kehidupan Ammar hingga bisa dititik sekarang. Mungkin yang lain akan menilai Ammar sebagai seseorang yang tak bersyukur. Tapi sebetulnya, cowok itu hanya ingin mengejar mimpi. Apakah salah? Tentu tidak. Karena sejak awal, apa yang ia genggam saat ini bukan lah dari mimpinya melainkan dari keterpaksaan. Keterpaksaan yang sebetulnya membuka jalan baginya untuk lebih sukses dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Tapi cowok itu masih tak sadar. Masih berpikir kalau ada jalan lain yang bisa membuatnya lebih bahagia. Karena menganggap ini bukan mimpinya. Yaah apapun itu, Chayra hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Ammar.
"Thanks," tukas Ammar. Ia mengembalikan ponsel Chayra usai Chayra mengisi kelasnya. Chayra tersenyum tipis. Sepertinya Ammar lama sekali mengobrol dengan Adamas. "Gue akan ketemu dia besok sore. Lo gak mau ikut?"
Chayra menjulingkan matanya. Ia tahu kalau Ammar sedang meledeknya. Buktinya cowok itu malah tertawa.
"Dia sepertinya baik, Cay. Kenapa belum diterima juga?"
Chayra menghela nafas. Kali ini keduanya berjalan di koridor. Chayra hendak kembali ke departemen sementara Ammar bersiap-siap pulang. Tapi tentu saja bersama Chayra hingga ke depan fakultas.
"Menurut lo, gue pantas sama dia?"
"Apa yang membuat seorang Chayra gak pantas sama dia? Chayra yang gue kenal itu, pintar, sedikit cantik dan visioner."
Chayra mendorong bahunya dengan buku-buku ditangannya. Ammar tertawa. Ammar berbicara jujur termasuk urusan sedikit cantik itu. Yeah, meski Chayra bukan yang cantik-cantik amat kan bukan berarti ia tak pantas dengan seorang lelaki yang berwajah tampan seperti Adamas?
"Kenapa lo berpikir seakan lo gak pantas buat dia?"
Chayra menghela nafas. Ketika pertanyaan itu dibalik, ia punya banyak jawaban untuk menjadi seseorang yang sangat tidak percaya diri dengan dirinya sendiri.
"Si sedikit cantik, si insecure, si minim prestasi, si sederhana untuk hidupnya, si bukan siapa-siapa dibandingkan dengan mantannya."
Ammar tergelak. Ia juga tentu tahu bagaimana sepak terjang Adamas dan perempuan di sekitarnya. Adamas terlalu sempurna untuk seorang lelaki karena seolah memiliki segalanya. Sementara Chayra justru berpendapat kalau ia masih sangat kurang dan lambat dibandingkan dengan yang lain. Tapi inj hanya lah persepsi Chayra pribadi. Karena dimata Ammar, Chayra itu perempuan yang keren.
"Justru itu yang membuat lo berbeda dari mantannya, Cay. Kekurangan lo yang gak mereka punya. Emangnya masalah? Enggak kan? Toh Kak Damas kayaknya cinta sama lo. Ini persepsi gue loh," tutur Ammar. Ia hanya bicara jujur. "Kalo kata gue, lo perlu mengulik diri lo sendiri lebih dalam untuk bisa...," ia terdiam sesaat. Tiba-tiba terketuk dengan kata-katanya sendiri. "Lebih mengenal diri. Barangkali potensi yang ada pada lo saat ini--"
Chayra menepuk-nepuk bahunya. Cewek itu memberi kode untuk berbelok ke arah departemen sekaligus melapangkan hati Ammar untuk tak meneruskan kata-katanya kalau sulit.
@@@