Stres yang Dipendam

2477 Words
"Thanks, Bang," tuturnya. Tentu sangat berterima kasih karena sudah mau membantunya. Walau yaah, instingnya mengatakan kalau bantuan ini semata-mata bukan karena kredibilitasnya tapi bantuan dari Chayra. Ya tak apalah. Toh ia sudah harus memutuskan bukan? Untuk menyerah saja jika masih saja gagal dan pasrah dengan hidup yang tak pernah ia inginkan. Menjadi petani? Ya katanya keren. Istilah kerennya, petani berdasi. Anak muda lagi yang melakukan. Sudah banyak contoh anak muda yang menjadi petani keren. Salah satu lulusan Universitas Padjajaran Bandung, juga menjadi petani berdasi berkat perkebunan paprikanya yang maju pesat. Mungkin pekerjaannya tak terlihat keren karena berurusan dengan cangkul, ranah, kotoran. Tapi penghasilannya? Jauh lebih besar dibandingkan manajer di Jakarta. Yaaa kalau perkebunannya lumayan luas. Sekelas Ammar yang bukan lulusan pertanian saja bisa sukses menjadi petani. Dan ia sudah berhasil meraup untung puluhan juta per bulannya. Padahal luas perkebunannya belum seberapa dibandingkan yang punya perkebunan sawit tentunya. Tapi keren kan? Usianya masih muda. Ia tidak hanya mengembangkan perkebunan tapi juga UMKM (Unit Mikro Kecil Menengah) dan sering mendapat bantuan dari Dinas Sosial setempat. Kece kan? Meski hidupnya masih mencari jati diri hanya karena tidak sesuai dengan impian sebenarnya. Ammar masih merasa kalau jiwanya adalah sebagai peneliti atau pengajar. Sementara Tuhan menunjukan jalan lain yang lebih sesuai dengan kondisi hidup dan kebutuhan. Ya, di sini lah letak rencana Tuhan itu. Letak kelebihannya. Di mana Allah memberikan seusai dengan apa yang dibutuhkan Ammar. Sementara Ammar menginginkan apa yang menjadi impiannya bukan kebutuhannya. "Santai aja lah." Adamas berdeham. "Abis ini ada acara?" Ammar melirik jam tangannya. "Tadinya sih mau ke mall." "Ke mall?" Ammar mengangguk-angguk. "Bareng aja kalau begitu." Ammar tertawa. "Bakal senang nih si Kucay ketemu Abang." Adamas terkekeh. Ia harap sih begitu. Keduanya berjalan menuju parkiran. Mobil Adamas diparkir di halaman gedung kantornya. Ammar mengira kalau gedung kantornya tak besar-besar amat karena penampakan dari luarnya memang tak begitu besar. Namun ternyata saat masuk ke dalam, ia salah. Gedung ini justru sangat luas. Benar-benar luas. Terlebih suasana kantornya tak terlalu kaku. Para karyawan bebas bekerja di mana saja. Mau di ruang gym? Ada. Mau sambil bermain billiard? Ada. Mau sambil main PS? Ada. Mau sambil makan juga bisa. Terlihat sangat asyik. Ini loh yang dulu juga sempat diimpikan Ammar. Bekerja di kantoran kece dan bersenang-senang dengan teman-teman satu kantor. Tidak sepertinya di kantor yang hanya duduk di gubuk reyot, mengobrol dengan petani lain dari beragam usia, banyak yang tidak sekolah. Pembicaraannya lebih menyerong ke arah hidup, keluarga, anak-anak, kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan petani kecil. Misalnya, impor ugal-ugalan dari pemerintah yang jelas merugikan petani. Karena harga pangan akan turun, untung mereka jadi turun bahkan mungkin tak bisa menutupi modal. Ammar jadi berangan-angan. Andai ia bekerja di kantor seperti ini, sepertinya akan menyenangkan ya? Meski sepertinya akan riuh setiap berangkat dan pulang kantor. Tapi suasananya akan menyenangkan karena ada banyak teman. Masih dari usia muda sampai tua. Tapi obrolan bisa lebih meluas, misalnya tentang tempat tongkrongan terbaru, mall baru, kopeli terenak atau bahkan mengobrol tentang para perempuan. Rasa-rasanya, Ammar banyak menghilangkan bagian itu. Menyedihkan sekali menurutnya. Ya tapi menurut Tuhan, kondisi terbaik untuknya justru membuatnya melewatkan apa-apa yang ia inginkan untuk terjadi itu. "Lo tahu soal mantannya Chayra?" Ammar menoleh dengan senyuman tipis. Mobil sudah melaju ke jalanan raya. Jarak mall-nya hanya dua puluh menit mumpung jalanan masih lengang karena memang belum jam pulang kantor. "Chayra gak cerita?" Adamas berdeham. "Dia tertutup untuk beberapa hal." Ammar terkekeh. Kalau Ammar teman sejurusan Chayra semasa kuliah, harusnya tahu tentang hal ini. Karena katanya, kenangan Chayra dengan lelaki itu paling membekas. Adamas mendapat bocoran ini dari salah satu sepupu Chayra. Ia hanya ingin sekedar tahu. Karena perempuan itu tak bercerita banyak. Katanya, sisanya harus ditanyakan langsung pada Chayra. "Dia emang begitu, Bang. Tapi," Ammar berdeham. "Segala sesuatu yang terjadi dimasa lalu itu udah berakhir. Kucay juga pasti memikirkan hal itu." "Gak ada kemungkinan balikan? Atau yaa mungkin dengan jalur lain? Misalnya mantannya tiba-tiba melamarnya untuk menikah." Ammar tertawa. "Kalau untuk saat ini, gue bisa bilang itu gak mungkin." "Kenapa?" Ammar berdeham. "Masing-masing udah tahu tujuan hidupnya apa. Kucay juga pasti begitu. Kalau ada yang tidak sesuai atau seseorang yang mungkin tidak bisa bersama dengannya dalam sesuatu hal, Kucay pasti memilih untuk merelakan, Bang. Kucay itu orangnya berprinsip. Ketika dia sudah memegang sesuatu, maka gak akan dilepas. Tapi ketika dia sudah memutuskan untuk melepas, maka gak akan ada kemungkinan kembali." @@@ Mata Chayra hampir lepas usai mendengar kabar. Saking kagetnya. Padahal ia masih sibuk di kampus. Tapi semua itu ia tinggalkan dan membatalkan dua kelas terakhir. Di atas motor, ia mencoba menghubungi Upik. Siapa tahu Upik mengangkat. Mumpung gadis itu masih di Depok. Telepon yang ketiga, baru diangkat Upik dan gadis itu juga sama kagetnya. "Oke-oke...lo tenang ya, Caay. Nanti kita ketemu di sana aja!" Chayra mengiyakan. Setelah itu, ia mengirim pesan di grup agar Ammar dan Bastian tahu. Beberapa menit lalu, Echa meneleponnya. Katanya Nabila dilarikan ke rumah sakit karena epilepsinya kambuh. Padahal sudah lama sekali epilepsinya tak kambuh. Bahkan Chayra hampir lupa dengan penyakit Nabila yang satu itu. Ia jadi was-was dan berpikir banyak hal. Sepertinya Nabila stres kehilangan pekerjaan. Iya kan? Tak ada alasan lain lagi yang membuat Nabila stres selain satu hal itu. Tiba di rumah sakit, ia bertemu Echa. Kebetulan sekali, Upik tiba hanya berselang satu menit. Cewek itu juga terburu-buru bernagakt ke sini dari rumah Udanya. Kebetulan memang tak begitu jauh. Lalu ketiganya pergi ke ruang rawat Nabila. Gadis itu sudah sempat sadar tadi tapi sudah tiduragi. Akhirnya, Chayra mengajak untuk mengobrol di luar saja. Karena takut menganggu Nabila yangs sedang tidur. "Dia gak ada cerita apa-apa sama kalian?" tanya Echa. Echa tahu kalau Chayra dan Upik ini kan sahabat terdekat Nabila. Teman satu jurusan pula. Kalau Echa dan Nabila memang bersahabat sejak satu organisasi di kampus dulu. Chayra menggeleng. Ia bahkan sudah berdrama sejak di atas motor tadi. Menangis memikirkan Nabila. Gadis itu masih punya ibu, tapi tak satu pun dari mereka yang punya kontaknya. Ponselnya sih ada tapi tak ada yang tahu pola kuncinya. Menyedihkan memang. Disaat seperti ini justru membutuhkan dukungan keluarga tapi malah tak ada. "Gue juga gak tahu sih," tuturnya. Ia ikut merasa bersalah. Karena ia juga stres dengan keadaannya sendiri. Chayra sedih melihatnya karena tahu bagaimana cerita mereka didepak dari kantor. Nabila mungkin terlihat tegar dan menggebu-gebu saat menceritakan segalanya. Tapi hati? Siapa yang tahu? "Ammar belum baca kayaknya," tutur Upik. Ia baru keluar dari ruang rawat Nabila untuk sekedar mengecek keadaan Nabila. "Eh, Cha. Katanya tadi mau balik?" "Ah-eh iya," Echa tersadar. "Titip Nabila ya?" tuturnya. Chayra dan Upik kompak mengangguk. Tak curiga sama sekali kalau setelahnya, mereka tak melihat gadis ini lagi. Setengah jam setelah Echa pergi, Bastian muncul dengan terburu-buru. Kebetulan sekali. Cowok itu sedang ada pelatihan di Cibubur jadi tak begitu jauh ketika menyusul ke sini. "Ammar udah di jalan katanya," tutur cowok itu. Upik menyuruhnya memelankan suara karena ini rumah sakit bukan mall. Lelaki itu berdeham lantas ikut duduk. Nabila masih tidur. Tampak pulas sekali. "Dokter bilang apa?" Chayra tadi sempat bertemu dokter. Kebetulan sekali dokter itu berkunjung sekali lagi. Mungkin hanya ingin tahu perkembangan Nabila. "Mau di-rongent besok. Katanya takut kumat dan obatnya gak mempan gitu. Yaa lebih baik di-rongent sekalian." Bastian mengangguk-angguk. "Udah hubungi Omanya atau nyokapnya?" Chayra menggeleng. Tak ada yang tahu kontaknya. Sementara Upik malah menyodorkan ponsel Nabila. "Mungkin lo bisa buka kuncinya. Gue gak tahu caranya." Bastian mengangguk. Ia mengutak-atik ponsel Nabila. Keningnya mengerut tampak serius sekali mengotak-atik ponsel untuk mencari kontak keluarga Nabila. Bagaimana pun keluarganya harus tahu. "Nanti hubungi aja nyokapnya, Bas. Jangan neneknya. Bisa bahaya kalau jantungan gara-gara ini." Bastian hanya berdeham. Ia tampak fokus sekali dengan ponsel Nabila. Chayra hanya menatapnya sekilas kemudian menoleh ke arah Nabila. Rasa-rasanya mereka berteman lama. Akhir-akhir ini sering bersama. Tapi tak semua kepiluan bisa ditumpahkan begitu saja. "Kira-kira selain karena stres gak ada kerjaan. Kenapa ya?" Chayra mengendikan bahu. Keduanya menitipkan Nabila pada Bastian yang masih mengutak-atik ponsel Nabila. Mereka pergi ke minimarket yang ada di samping rumah sakit. "Entah kenapa, kalau soal kerjaan kayaknya gak seberapa besar deh. Lo tahu Nabila kan? Nabila masih punya uang meski gak kerja. Omanya baik banget." Chayra mengangguk-angguk. Setuju dengan analisis Upik. Ia juga berpikir ke arah lain saat ini. Karena merasa terlalu ganjil. Ia juga teringat saat dulu mereka liburan ke Bandung dan menginap di rumah Omanya. Nabila diperlakukan seperti puteri raja. "Terus apa? Pacar? Mana punya." Upik terkekeh. "Kalau gue yang stres berarti kemungkinannya lebih besar ya." Chayra tertawa. Maksudnya bukan begitu. Tapi kan memang banyak orang depresi karena asmara. "Keluarga?" "Nah ini. Selain curhatin kakaknya sama adiknya yang masalahnya hanya seputar duit. Kayaknya gak seberapa." "Nyokapnya?" "Paling nangis. Gak mungkin sampe stres." "Terus apaan dong?" Upik menghela nafas. "Susah emang," tukasnya. Keduanya tertawa. @@@ Chayra memasang sabuk pengamannya. Gadis itu bersama Upik memutuskan pulang untuk mengambil baju. Baru kemudian kembali untuk menemani Nabila menginap di rumah sakit. Ibunya tak bisa dihubungi jadi mereka terpaksa menelepon Omanya Nabila dan berbicara sepelan mungkin. Chayra yang tadi ditugaskan untuk berbicara, untungnya si Oma tidak jantungan seperti ketakutan mereka. Bagaimana pun mereka kan takut. Rencananya si Oma akan berangkat sekarang. Meski Chayra sudah bilang kalau Nabila tak apa-apa. Hanya perlu kontak keluarga sebagai perwakilan. Rumah sakit mensyaratkan itu. "Rumahnya di mana, Pik?" tanya Adamas. Cowok itu tadi datang bersama Ammar. Lalu bersedia mengantar kedua gadis ini. Ia juga berencana untuk menemani sampai malam. "Dari sini, dekat sih, Kak." Adamas mengangguk-angguk. "Nanti langsung antar Kucay aja. Kalau Upik sih bisa naik angkot lagi kan gak begitu jauh." "Gak ditungguin aja, Pik?" tawar Chayra yang sebetulnya enggan terjebak bersama Adamas hanya berdua. Upik menahan tawa. Tahu kalau Chayra resah ditinggal berdua. "Kelamaan kalo gue ikutan nganterin lo. Kalo Nabila butuh gue gimana? Tuh dua orang kan cowok," tuturnya. Memang benar. Chayra terdiam karena tak bisa menyangkal. Adamas melirik Chayra kemudian tersenyum tipis. "Tadi cuma makan jajanan, Pik?" tanyanya. "Iya tuh, Kak. Si Kucay belum makan karena langsung ke rumah sakit tadi siang." Chayra menoleh sedikit ke arah Upik yang menahan tawa. Chayra melotot sedikit. Adamas tersenyum kecil. Usai mengantar Upik, suasana di mobil berubah canggung luar biasa. Chayra menghela nafas panjang. Berusaha untuk bersikap biasa saja meski sulit. "Kenapa dipanggil Kucay?" Ia baru tahu hal itu. Tadi juga sempat terheran-heran saat mendengar Ammar menyebut Kucay begini dan begitu. Yang dimaksud tentu saja gadis di sebelahnya ini. Chayra menoleh ke arah luar. "Aku juga gak tahu. Tahu-tahu udah jadi gitu. Mereka manggil dan anehnya aku noleh juga." Adamas terkekeh. Ini obrolan kedua setelah kejadian di rumahnya. Adamas hanya menangkap kalau Chayra sepertinya tidak nyaman dengan kehadiran mantannya di sana. Walau yah bagi Adamas, Shania bukan siapa-siapa lagi. Gadis itu hanya seseorang yang pernah ada dimasa lalunya. "Terus jadi kebiasaan sampai sekarang?" Chayra mengangguk. Ia sebetulnya masih merasa canggung dengan keadaan ini. Adamas melirik lagi untuk ke sekian kali. Ia sedang menghitung-hitung kondisi. "Daeng boleh bertanya?" "Apa?" Firasat Chayra tak enak. Ia punya feeling kalau.... "Ay merasa terganggu dengan kehadiran Shania kemarin?" tanyanya. Tapi Chayra hanya diam. Itu sudah cukup menjadi jawaban sebetulnya. Namun saat Adamas hendka bicara, Chayra sudah angkat suara. "Enggak." Jelas bohong. Tapi sebetulnya ia bukan terganggu dengan kehadiran gadis itu namun kisah yang pernah ada di antara Adamas dan gadis itu. Kisah yang tak mungkin bisa hilang atau terhapus hingga tak ada siapa pun yang mengingat. "Daeng udah gak ada hubungan apapun. Daeng juga kaget dia datang. Kayaknya Mita gak sengaja ngundang. Ay marah?" "Aku gak ada hak untuk melakukan itu, Daeng." Adamas mengangguk-angguk. "Tapi Daeng kepengen Ay melakukan itu." Chayra terdiam. Adamas menatap jalanan di depan. "Bagi Daeng, Ay itu spesial. Jadi apapun yang pernah terjadi antara Daeng dan perempuan-perempuan lain, itu sudah berlalu," tuturnya kemudian melirik ke arah Chayra. "Daeng harap, Ay melakukan yang sama." Ia jadi teringat obrolan panjang dengan Ammar tentang Chayra dan sang mantan. Sepertinya Chayra masih memiliki perasaan yang mungkin tidak disadari. Atau mungkin disadari tapi menyangkal? Atau menyembunyikan? Bisa jadi kan? Chayra terpaku mendengarnya. Ia sama sekali tak berpikir kalau Adamas sedang mengingatkannya pada masa lalu. Ia justru berpikir kalau Adamas hanya menekankan bahwa Adamas hanya akan fokus padanya. Tidak lagi melirik perempuan lain apalagi mantan. Semua sudah tinggal di belakang. Jadi untuk apa mengungkitnya? Chayra berdeham. "Tapi, Daeng," ia menghela nafas. Adamas langsung menoleh. Baginya, kalau Chayra mau bicara, itu lebih baik. Dari pada mendiamkannya tanpa kejelasan. Lamaran nya terus digantung tanpa alasan pula. Ia tahu kalau tak boleh ada paksaan di dalam asmara. Tapi menjalani sesuatu yang tidak jelas itu sangat tidak nyaman kan? "Apa?" "Ada banyak perempuan di bumi yang bisa mene--" "Banyak. Kalau kita berpikir seperti itu," potongnya. Ia takut mendengar kelanjutan dari ucapan Chayra. Khawatir kalau gadis itu tiba-tiba memutuskan untuk menolaknya. "Tapi hanya satu yang seperti Ay. Dan lagi, Daeng tak mencari yang sempurna, Ay. Tapi yang seiman dan mau hidup bersama Daeng, menjadi istri yang baik untuk Daeng dan mencintai keluarga Daeng. Itu sudah terasa cukup." Lelaki itu menghela nafas. "Apakah itu orangnya Ay atau bukan, Daeng juga tak tahu. Tapi sebatas ini lah kemampuan Daeng untuk mencari yang terbaik bagi hidup Daeng." Dan terbaik bagi Adamas adalah Chayra. Tapi bagi Chayra? Entah lah. Chayra bahkan masih bingung dalam meraba hatinya. "Daeng bersedia menunggu lebih lama kalau Ay mau." Ia bersedia mengalah. Kalau memang itu akan membuka jalannya untuk bisa masuk ke dalam hati Chayra dan menjadi orang yang spesial juga untuknya. Bukan masa lalu melainkan masa depannya. @@@ Nabila terbangun tepat disaat Upik baru saja tiba. Teman-temannya terkejut. Mereka lega seketika dan langsung mengabarkan pada Oma diam-diam. Takut Nabila marah kalau mereka sebetulnya sudah terlanjur mengabarkan Omanya. Tapi demi keberlangsungan rongent besok, hanya itu yang bisa mereka lakukan. Karena mereka tak akan bisa menandatangani perizinannya. Setidaknya Nabila harus tahu pasti bagaimana kesehatannya. "Mendingan?" Gadis itu berdeham. Ia sudah tahu apa yang terjadi karena Echa yang memberitahu tadi. Padahal sudah sekian lama tak pernah kumat lagi kecuali sejak terakhir ayahnya masuk penjara. Tak dapat dipungkiri kalau ia cukup stres saat itu. Tidak bisa menerima keadaan. Lalu sekarang, apa masalahnya? "Lo kalau ada masalah jangan dipendam sendirian. Kita ini temen lo," tutur Bastian yang justru membuat Nabila terkekeh pelan. Ia senang karena sejak dulu, teman-temannya ini selalu hadir untuknya. "Apalagi masalah lo? Cerita sekarang biar lega," tutur Ammar. Ia memberikan bubur pada Upik agar gadis itu bisa menyuapi Nabila. Gadis itu berupaya menegakan tubuhnya. Tapi ditahan Ammar. Akhirnya kedua cowok itu membantu menaikkan sisi atas tempat tidurnya sehingga Nabila bisa berbaring dengan nyaman. Kemudian Ammar mengelus kepalanya dan kembali duduk. Ketiga pasang mata itu sudah menunggu kesiapannya untuk membuka suara. Mereka menatap dengan serius seolah-olah persoalan ini paling pelik. Nabila menghela nafas. Ia tak berpikir kalau ini yang akan terjadi. "Gue malu sebenarnya," tuturnya pelan. Ammar menepuk lengannya. "Kita temen lo. Sahabat lo. Bagian dari keluarga meski gak sedarah. Apa yang harus bikin lo malu?" Nabila tersenyum getir kemudian menarik nafas panjang. "Nyokap terlibat video p***o. Mungkin lagi viral sekarang." "HAH?!" @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD