Tak susah untuk Yana menemukan Antita. Gadis itu seperti biasa tampil sederhana. Namun wajahnya terlalu cantik dan terlalu eye cathing.
"Lama ya?" Sapa Yana.
Antita menggeleng sembari menampilkan senyum manisnya. "Enggak kok. Kamu mau minum apa?"
Yana kemudian memesan. Pilihannya jatuh pada jus jeruk. Minuman paling gampang dan paling cepat yang bisa dibuat.
"Ada apa ya? Ngajak aku ketemu.."
Antita menatap Yana tenang. "Hm, sebenarnya aku nggak berhak ikut campur. Ini urusan kamu dan Bram."
Yana langsung paham arah pembicaraan ini begitu nama Bram disebut.
"Bram mungkin emang kadang suka bertindak tanpa berpikir, tapi percaya sama aku, dia itu laki-laki yang baik."
"Tunggu deh. Aku nggak ngerti nih kenapa jadi bahas Bram. Apa kamu ngajak aku ketemu emang mau bahas dia?"
Antita terlihat agak merasa bersalah. "Yana, aku tau kamu gadis yang baik. Oleh karena itu aku yakin kamu bisa bantu Bram."
"Maksudnya?"
"Sebenarnya Tante Nora kemaren sempat sakit. Tante Nora pengen kalau Bram cepat menikah, biar ada yang ngurus. Tapi Bram nggak mau nikah. Setelah dibujuk, baru dia mau. Terus tante Nora minta bantuan Fuji buat nemuin Bram sama perempuan. Aku nggak tau gimana ceritanya, tapi dari yang Fuji ceritain, katanya Bram sendiri yang milih perempuannya. Yaitu kamu."
Yana sudah mendengar ini dari Bram.
"Bram mungkin terlihat labil, tapi dia serius sama kamu Yana."
"Tunggu. Tadi kamu bilang cuma aku yang bisa bantu. Emang bantu apa?"
Antita menghela napas. "Tante Nora sakit karena khawatir sama Bram. Soalnya Bram sekarang tinggal sendiri. Nggak sama mama atau papanya."
Kening Yana mengerut. "Maksud kamu?"
"Mama dan Papanya sudah bercerai enam tahun lalu. Papanya menikah lagi. Awalnya semua baik-baik aja. Tapi satu tahun lalu mamanya juga menikah lagi. Bram yang tinggal bersama mamanya memutuskan keluar dari rumah. Ya meskipun Bram sudah besar, tapi mamanya tau kalau dia kesepian. Mamanya nggak mau Bram sendirian."
"Kenapa nggak cari cewek lain?"
"Nggak mudah buat bujuk Bram. Cuma kamu cewek yang Bram sebut sendiri namanya ke Tante Nora."
"Tapi aku nggak tau. Aku nggak yakin.."
"Nggak usah buru-buru. Pedekate dulu. Aku yakin kalian cocok.."
Yana mengernyit.
"Please Yana. Cuma kamu yang bisa bantu Tante Nora dan Bram.."
***
Kepala Yana pusing. Ingin mengabaikan tapi tetap saja terpikirkan. Jika yang Antita katakan benar berarti Bram memang sudah menargetkan dirinya kan? Atau bisa disebut Bram memilihnya?
Yana menatap lurus ke depan.
"Tapi kenapa aku?" tanya lagi pada dirinya sendiri. Pertanyaan ini yang tak berhasil Yana jawab. "Nggak mungkin yang Bram bilang itu benar kan? Masa iya dia masih punya perasaan sama aku?"
Yana menggeleng, mengacak rambutnya. "Lupakan, lupakan. Astaga, lama-lama aku jadi gila sendiri. Udahlah, ngapain aku pusing-pusing mikirin? Orangnya aja nggak ada usaha sendiri.." Yana menstarter mobilnya, melaju membelah jalan raya.
***
"Loh Ama, mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" Yana menguap. Gadis itu kemudian duduk di meja makan sembari mengikat rambutnya asal.
"Ih kok belum siap sih kamu."
Keningnya mengerut. "Siap? Emang mau ke mana?" tanyanya bingung.
"Rumah sakit. Jengukin mamanya Naka.."
Yana tersedak roti yang digigitnya. "Ama bilang apa barusan? Eh, kenapa nih tiba-tiba mau jengukin tante Nora? Ih nggak usah ah Ma, ngapain sih?"
"Ya ampun ini anak. Ini tuh iktikad baik, sekaligus menjalin silaturahmi."
Yana melongo. Ia yakin ibunya sudah salah makan sesuatu. Tak lama Apa-nya muncul. "Kok belum siap, dek?"
Yana menghela napas. "Duh Apa, ngapain sih pake ke sana segala? Ngg, nggak enak sama keluarga Bram. Masa nggak kenal tiba-tiba ke sana," ujar Yana beralasan.
Ama menggeleng. "Itu makanya ke sana buat kenalan. Lagian ama sama apa itu kenal baik sama Naka. Masa iya ibunya masuk rumah sakit tapi nggak di jenguk."
"Tapi—"
"Buruan kamu siap-siap," potong Ama membuat Yana hanya bisa menghela napas, pasrah.
...
Yana mendengus kesal. Dia benar-benar tak habis pikir. Dari mana kedua orang tuanya itu dapat ide untuk menjenguk mama Bram. Lagipula Yana merasa ini akan sangat aneh. Apa yang akan mama Bram pikirkan?
Sepanjang perjalanan Yana sama sekali tak bicara. Ia hanya memainkan ponsel atau sesekali menoleh ke luar jendela. Hujan turun lebih awal hari ini.
...
"Hai," sapa Antita. Yana mendongak, lalu tersenyum seadanya. Antita duduk di kursi tunggu. "Mama sama Papa kamu lagi ngobrol sama tante Nora di dalam. Makasih ya udah ajak mereka jenguk tante Nora. Tante kayaknya seneng ada yang jengukin."
Yana kembali tersenyum tipis. Tanpa sadar kepalanya bicara, "kenapa Antita yang harus berterimakasih? Rasanya sedikit aneh dengan keakraban keluarga ini."
Yana memang memutuskan menunggu di luar setelah bertemu sebentar dengan Mama Bram. Sementara kedua orang tuanya tinggal dan bercengkrama dengan mama Bram. Sedangkan Bram sendiri tak terlihat sejak tadi.
"Bram lagi keluar, kayaknya pergi beli minuman," tambah Antita.
Yana menoleh sebentar. Saat ia hendak bicara bertepatan dengan kedatangan Bram. Pria itu memakai kemeja yang ia lipat sampai siku. Pakaian yang sama dengan yang ia kenakan tadi malam. Wajahnya juga agak lusuh, seperti kurang tidur. Yana memilih membuang pandangan ke arah lain saat Bram menatapnya.
"Kamu istirahat dulu. Kamu belum makan, kan?"
Antita menggeleng. "Aku nggak apa-apa kok. Masih belum terlalu lapar."
"Ntar kamu sakit. Ini makan roti ini dulu. Aku beli air putih sebentar di kantin depan," ujar Bram. Antita mau tak mau menerima roti yang Bram ulurkan. Pria itu berlalu.
"Kamu mau?" Tawar Antita. Yana menggeleng.
Ponsel Yana bergetar. Ia melirik si penelepon. Jika di akhir minggu seperti ini Yana memang selalu mensilent ponselnya. Dia malas jika diganggu untuk urusan pekerjaan.
Yana menghela napas. "Hallo, kenapa?" tanyanya langsung. Tak lama Bram kembali. Yana langsung beranjak, sedikit menjauh. Tapi meski begitu Bram dan Antita masih bisa mendengar suaranya.
"Kenapa sekarang sih? Astaga. Udah berapa kali sih gue kasih tau? Lo nggak kapok-kapok."
"Duh An, gue nelpon lo bukan mau denger elo ngomel. Gue mau lo nemenin gue," rengek suara di sebrang.
Yana memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam. "Ughh, untung aja lo. Lo di mana sekarang? Iya iya. Iya gue otewe ke sana," sungutnya kesal. "Hm.." sambungan terputus.
Antita memandangi saat Yana kembali. Sekali lagi Yana mengoper senyum. Masih menolak bertemu tatap dengan Bram, Yana langsung ngacir ke dalam ruangan. Entah apa yang dikatakannya, tak lama kemudian ia sudah keluar.
"Eh mau ke mana?" tanya Antita. Ia bangkit dari duduknya.
"Oh, aku ada urusan, sorry ya, nggak bisa lama-lama."
"Hah, hmm," Antita melirik Bram. Tapi tak ada pergerakan apa-apa dari Bram. Antita memaksa senyumnya. Terasa kaku.
"Aku duluan ya.." Yana berlalu.
...
"Lo udah minum berapa botol sih, Ray? Astaga ini masih pagi buta!!" Omel Yana. Ia merebut botol yang masih berisi sedikit Jack Daniels.
Rayga menoleh, tersenyum. "Kangen gue sama lo.." pria itu bersiap memeluk Yana tapi langsung ditepis gadis itu,
"Lo bauk, jangan peluk-peluk gue!!"
"Ih galak amat, buk. Untung aja manis," goda Ray sambil tertawa.
Yana memukul lengan Ray membuat pria itu mengaduh.
"Apalagi sih masalahnya sekarang? Sebulan ini lo ngilang ke mana aja hah?"
"Gue ke Lombok."
"Ngapain?"
Rayga tak menjawab. Ia menatap gelasnya nanar. "Sherin minta putus sama gue.."
Yana memutar bola matanya. Cerita lama. "Ini yang ke berapa kali dia minta putus? Tapi tunggu, bukannya tiga bulan terakhir kalian nggak ada masalah. Kenapa dia minta putus? Jangan bilang lo bikin ulah lagi?!!"
Rayga cegukan. Ia memijit keningnya. "Dia megokin gue lagi di Lombok, sama cewek."
"Dia nggak akan minta putus kalau cuma megokin lo lagi sama cewek," timpal Yana. Pasti ada hal lain yang terjadi.
"Dia mergokinnya di kamar hotel."
"Anjir!" Maki Yana. "Elo b*****t!!"
Ray hanya mengernyit pelan mendengar u*****n Yana. Sudah biasa. Mendengar u*****n dan makian itu justru membuatnya sedikit lebih baik. Sebab seperti yang sudah-sudah, Sherin, kekasihnya itu tak pernah mengucapkan kalimat-kalimat makian itu padanya. Sherin adalah gadis yang terlalu baik. Itu juga yang membuat Ray merasa ia sangat-sangat b******n. Tapi ya begitulah—
"Elo emang sialan, ya!! Kurang apa sih Sherin, hah? Ray lo sadar nggak sih, Sherin itu cewek baik, bahkan terlalu baik. Lo nggak akan nemuin cewek kayak dia di luar sana. Kenapa sih lo nggak berubah-berubah juga?" Yana jadi ikutan emosi.
Ray menghela napas. "Lo tau nggak, hampir semua cowok itu b******k. Tapi hampir semua cowok juga suka tantangan. Gue tau Sherin itu baik, bahkan sangat baik, tapi itu dia masalahnya.."
Yana menatap Ray. "Jangan mulai ngebacot. Ray, mau sampai kapan kayak gini? Lo itu dosen, nggak pantas tau kayak gini. Kalau lo nggak mau serius dan nikahin Sherin, lepasin dia! Setelah itu lo bisa puas mau main sama cewek mana aja.."
Ray menggeleng.
"Kenapa lo geleng kepala?"
"Gue gak bisa lepasin Sherin."
"Lo nggak bisa nikahin dia, tapi lo masih terus aja main cewek, dan lo nggak mau lepasin dia. Lo sadar nggak sih betapa egosinya lo?!" Yana rasanya amat geram. Tapi ini bukan kali pertama hal ini terjadi. Setidaknya ia sudah memakan ini sejak 3 tahun lalu. Yana hanya harus pandai mengontrol emosi setiap kali Ray menelponnya. Atau jika ia tak bisa menahannya maka tulang kering Ray akan jadi pelampiasan. "Si Sherin juga kenapa bodoh banget masih bertahan sama lo?!"
Ray tersenyum, menatap Yana dengan kondisi setengah sadar.
"Lo nggak pernah sih ada di posisi kayak gini. Iya sih lo jatuh cinta berat, tapi akhirnya selalu jelas. Lo pasti ditinggal."
"Anjir!!"
"Kalo lo di posisi ini, lo pasti akan lakuin hal yang sama kayak dia. Saat lo jatuh cinta seberat-beratnya tapi juga sakit-sesakit sakitnya. Sayangnya dalam kondisi itu lo nggak bisa lepasin orang itu, meskipun nggak ada kejelasan untuk melangkah maju. Percaya sama gue, lo akan jalan di tempat."
Yana rasanya ingin menghajar Ray, tapi sayang pria itu keburu tak sadarkan diri. Yana menghela napas.
"Kenapa sih cowok sekalinya nggak bisa dimengerti itu susah banget?"
...
Yana kesusahan membopong tubuh Ray. Ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk membawa Ray sampai di apartemen pria itu.
Yana menekan password apartemen. Pintu terbuka.
"Remuk bahu gue." Yana memijit bahunya. Ray sudah berbaring di kasur. Pria itu tampak tidur pulas. "Lo bukan hanya nyakitin Sherin, tapi juga diri sendiri." Yana geleng-geleng kepala.
Yana geleng-geleng kepala melihat isi kulkas Ray. Kosong dan hanya ada makanan cepat saji yang entah sudah sejak kapan. Yana membuang napas.
"Dasar si bocah b**o banget.."
Yana kemudian memesan makanan. Menunggu 15 menit, makanan yang ia pesan pun datang. Yana tengah membayar di depan pintu saat kehadiran seseorang membuatnya sangat terkejut.
Bola mata Yana membulat. Bram berdiri tak jauh darinya. Kehadiran yang tiba-tiba ia tentu sangat mengejutkan Yana. Bram pun terlihat cukup kaget mendapati Yana di sana.
"Kamu ngapain di sini?"
Yana mengerjap beberapa kali. Bram menatap Yana dari atas sampai bawah. Ia menyadari bahwa pintu di belakang Yana berada dalam kondisi terbuka.
Ekspresi Bram masih sama, nyaris datar. Yana belum melihat ekspresi selain itu sejak pagi tadi di rumah sakit.
"ANAAAAA!!!" Yana tersentak kaget. Tanpa mengatakan apa-apa ia langsung berbalik, masuk ke dalam apartemen Ray. Mengabaikan Bram yang menatapnya tanpa berkedip.
...
Yana mengambil tasnya. Membalas chat Adira. Awalnya Yana minta jemput, tapi Adira sedang tidak di Jakarta.
Setelah memastikan makanan untun Ray tersedia, Yana segera pergi. Ia membuka pintu. Namun saat ia sudah di luar, Yana kembali dikejutkan dengan kehadiran Bram. Pria itu berdiri di depan pintu salah satu apartemen. Kemungkinan itu pintu apartemen Bram. Yana tak sempat bertanya tadi. Lagipula ia malas bertanya. Tak ada urusan.
Yana berlalu melewati Bram begitu saja. Tapi menghentikan langkah saat pria itu bicara padanya.
"Kamu ada waktu? Aku mau ngomong."
Kening Yana mengerut, ia balik badan. Menatap Bram. "Kayaknya nggak ada 'hal' yang perlu kita omongin."
Ekspresi Bram masih sama. "Ada. Kalau kamu nggak mau bicara di luar, kita bicara di sini aja. Di apartemen aku."
Yana membuang napas pelan. Bram membuka pintu, mau tak mau Yana masuk.
***